Saturday, December 12, 2020

Perjalanan PAUD Si Kentul, Bermain-Main dalam Fandom dan Refleksi Terhadap Sistem Pendidikan Kita

 Beberapa tahun terakhir, ikutan sebuah fandom acara televisi AS bikin saya makin sadar banget betapa kurangnya minat membaca dan menulis orang Indonesia. Di fandom luar negeri, ada ribuan essay  yang ditulis secara sukarela oleh para fans, membahas luar dalam cerita, visual, karakter, dan lain sebagainya dari acara televisi atau film yang mereka gemari, dari analisis yang “dangkal” sampai yang sedalam level tesis S3. Dari sebelum ikutan fandom pun saya sudah menyadari sih kurangnya budaya membaca dan menulis di Indonesia. Saya sendiri merasakan babak belurnya mendadak harus ngejar kemampuan menulis essay saat masuk S1 dan lagi saat masuk S2. Hanya saja saat melihat bagaimana seseorang bisa menulis panjang kali lebar kali tinggi mengenai karakter favoritnya dalam fandom lah saya benar-benar bisa melihat betapa sangat mendarah dagingnya kebiasaan untuk analitis, kritis dan kebiasaan mengekspresikan analisis tersebut dalam bentuk tulisan bagi orang-orang di negara lain.

Lalu apa hubungannya dengan PAUD bagi anak saya si Kentul? Well, kalau Anda mengira bahwa belajar menulis essay itu mulai dilakukan di SMA atau kuliah itu salah banget. Kebiasaan membentuk dan mengekspresikan pikiran, membahas dan membuat argumen itu dimulai dari sejak pra sekolah. Ini adalah pembelajaran yang saya dapat sejak mendampingi sendiri pendidikan anak saya yang sekarang berusia 5 tahun.

Sebagai latar belakang, saya biasa tau beres soal pendidikan anak saya karena dari sejak bayi dia masuk sebuah sekolah/daycare yang sangat baik dekat rumah. Dia kami masukan daycare waktu itu hanya karena saya tidak kuat mengurusi dia sendirian 24 jam sehari 7 hari seminggu. Namun ternyata banyak manfaat pendidikan yang didapat. Sejak usia 7 bulan (baby class) hingga 4 tahun (playgroup) dia menikmati pendidikan dari sekolah, sedangkan saya tinggal menikmati aja perkembangannya di rumah. Tapi lalu kemudian setelah Kentul selesai playgroup kami memutuskan untuk pindah rumah dan di tempat baru TK yang tersedia adalah TK negeri. Awalnya sebagai orangtua kami santai-santai saja. Selain ini “baru TK” kami juga ingin egaliter dan tidak ingin menjadi elitis yang anaknya harus masuk sekolah plus-plus-plus. Ada beberapa kekagetan yang harus saya hadapi masuk TK negeri, dari yang ternyata semua ibu menunggui anaknya di sekolah, sementara sekolah Kentul yang dulu agak-agak Montessori yang mengedepankan kemandirian, sampai soal kebiasaan jajan. Namun kekagetan terbesar adalah ketika ada tugas-tugas menulis di buku kotak atau buku garis yang tidak selesai ia kerjakan di sekolah dan harus dikerjakan di rumah. Ketika saya mendampinginya untuk melakukan tugas itu, dia mengalami kesulitan besar.

Dari situ mulai blingsatan lah saya, gugel ke sana ke mari, bahkan akhirnya saya minta sesi konseling psikologi di sekolahnya yang lama. Dan dari situ saya mulai aktif untuk semacam “semi home schooling”. TK ditargetkan hanya untuk sebagai sarana bertemu dan bermain dengan teman sebaya dan saya tidak menaruh harapan apa-apa dari segi “pendidikan” di sana. Tapi lalu masuk semester kedua di TK A datanglah pandemi. Semakin aktif lah kegiatan home schooling si Kentul bersama saya.

Anyway, kembali pada topik. Saya membeli banyak sekali buku PAUD dari toko buku. Syukurlah saya punya cukup privilege untuk mampu melakukan ini. Saya beli buku keluaran lokal, keluaran Cina, dan terakhir dapat keluaran Amrik. Ada satu latihan di buku keluaran Cina yang simply menyediakan gambar-gambar kegiatan sederhana, lalu instruksinya si anak diminta menceritakan apa yang terjadi di gambar itu. Di saat itu saya kayak, wow. Latihan sederhana seperti ini memaksa dia untuk 1) memperhatikan gambar dengan teliti, 2) membentuk pikiran tentang gambar itu, 3) mengekspresikan pikiran tersebut dalam bahasa lisan 4) mendapatkan apresiasi dari kegiatan tersebut. Ini adalah langkah pertama dalam kebiasaan berpikir kritis dan membuat argumen. Kita harus membiasakan diri untuk mampu mendeskripsikan apa yang terjadi dan membentuk pikiran tentang hal tersebut. 

Jujur untuk saya pribadi, ketika menulis saya paling struggling untuk mendeskripsikan secara detail situasi yang hendak dibahas. Saya tidak merasa pikiran saya tentang situasi yang semua orang sudah tau itu penting untuk ditulis. Sehingga saya merasa tidak mampu atau tidak penting untuk mendeskripsikan ulang situasi tersebut. Saya terbeban untuk hanya menulis hal-hal yang “berat” saja, hal-hal yang memiliki “muatan keilmuan”. Padahal bahasan yang menjelaskan detail-detail yang akan kita bahas juga penting, jangan berasumsi bahwa semua orang sudah mengetahui hal-hal yang sedetail itu. Ini saya sadari saat membaca essay-essay dalam fandom. Misalnya: semua orang bisa melihat seperti apa kostum Kylo Ren dalam Star Wars, tapi untuk bisa membuat argumen mengaitkan kostum tersebut dengan Ksatria Templar si pembuat argumen harus mendeskripsikan detail-detail kostum yang membuatnya mirip dengan Ksatria Templar. Detail-detail tersebut tentu saja nampak bagi semua orang dan bisa dilihat sendiri, tapi mungkin mereka tidak perhatikan. Sebagai contoh kalau saya yang disuruh menulis argumen tersebut saya mungkin akan skip bagian deskripsi detail dengan asumsi kan semua orang bisa lihat buat apa dengerin saya mengulang semua itu. Atau saya cuma akan taruh gambarnya saja berdampingan dan mengasumsikan semua orang akan langsung bisa mengaitkan sendiri. Kan bego ya? Bahasan detail tersebut bagian penting dari argumen because it may not be obvious for everyone. Saya tidak terbiasa menghargai pikiran saya dan tidak terbiasa diminta mengekspresikannya.

Dan yep, ini baru saya sadari ketika membahas hal-hal sederhana seperti karakter fandom. Semua pembelajaran-pembelajaran ini tidak bisa nampak ketika terkubur dalam jargon-jargon akademis. Kita melakukan lompatan besar dari sekolah dasar dan menengah ke strata 1. Di sekolah dasar dan menengah tidak terbiasa diminta menganalisa, berargumen dan menulis, mendadak di strata 1 langsung diminta melakukannya dalam jargon keilmuan masing-masing. Tentu saja babak belur. Yang kita diajarkan di sekolah dasar dan menengah dalam hal menulis itu hanya “mengarang”, yang sama sekali berbeda dari menulis essay.

Kemudian belum lama saya juga mendapatkan buku PAUD keluaran Amrik. Selama pandemi ini si Kentul menerima tugas-tugas sekolah untuk dilakukan di rumah, dan sebetulnya di luar pekerjaan non-produktif seperti menulis berulang-ulang di buku bergaris, tugas sekolah TK dia gak jelek-jelek amat. Ada kegiatan fisik motorik seperti main bola dan prakarya, lalu berhitung, mengenal buah-buahan dan tumbuhan, menanam biji, alfabet dan angka. Dan ini kurang lebih sama kok dengan tugas-tugas di buku PAUD Amrik. Tapi ada satu hal yang sama sekali nggak ada di TK sini yaitu tugas membaca buku, dan bukan hanya membaca, tapi juga membahas buku tersebut. Rupanya sejak TK anak di Amrik dibiasakan untuk membaca buku (atau dibacakan buku) dan kemudian ia diminta untuk mengekspresikan pikirannya tentang apa yang dia baca tersebut. Dia diminta menjelaskan ini cerita karakter utamanya siapa, bagaimana sifatnya, apa masalah yang dia hadapi dan bagaimana solusinya, serta apa pelajaran yang bisa diambil dari tulisan itu. Ini lagi-lagi adalah langkah penting dalam membentuk pikiran yang analitis dan pembiasaan untuk mau dan mampu mengekspresikannya. Nggak heran lah kalau fandom luar negeri bisa menghasilkan ribuan essay.

Kemudian sejak saya mulai melakukannya dengan anak saya, saya pun terkagum-kagum dengan banyaknya pembelajaran yang bisa diperoleh dengan kegiatan “sederhana” tersebut. Sebetulnya saya merasa bodoh banget bisa missed kegiatan ini dari awal. Dengan membahas bacaan banyak detail-detail yang terbahas dan menjadi pelajaran bagi si anak. Misalnya saat membahas cerita Kancil saya jadi harus menjelaskan secara detail apa itu artinya “cerdik” dan kemudian membahas perilaku cerdik seperti apa yang etis dan apakah perilaku si Kancil masih bisa diterima atau tidak secara etika. That’s from one story.

That being said, bukan berarti orang Indonesia semuanya nggak bisa nulis lho. Banyak banget yang jago meskipun sistem pendidikan kita nggak kayak di Amrik. Dan itu membuat saya semakin terkagum-kagum pada mereka. Lagian siapa tau ada esai 5.000 kata tentang Dilan yang saya nggak tau kan? Jangan-jangan ada?

Tuesday, August 4, 2020

Nagini: Di mana menurut saya Acha Septriasa lolos dari lubang maut rasisme menjijikan JKR meskipun sayangnya nama Indonesia enggak

Ini adalah postingan teramat kesiangan sebagai lanjutan dari postingan sebelumnya mengenai tokoh Nagini di dalam franchise Harry Potter, khususnya dalam film Fantastic Beasts 2: Crimes of Grindelwald di tahun 2018. Saya membuat postingan yang lalu sebelum saya menonton filmnya dan postingan lanjutan ini adalah semacam tanggapan saya (2 tahun kemudian hahaha) setelah menonton filmnya.

Di postingan terdahulu, saya menyampaikan beberapa kekuatiran terkait adaptasi tokoh Nagini yang diklaim oleh penulis JK Rowling sebagai adaptasi dari mitologi naga Indonesia:

1.) Penggunaan negara-bangsa "Indonesia" sebagai istilah yang memayungi asal-usul mitologi Naga ketika masing-masing suku bangsa di Nusantara memiliki mitologinya masing-masing. Dalam hal ini mitologi yang menggunakan bahasa Sansakerta "naga" secara khusus adalah mitologi yang diadaptasi oleh suku Jawa/Bali dari India melalui Hinduisme.

2) Kalaupun memang Nagini diadaptasi dari naga dari Jawa/Bali, semestinya ada kekhususan tertentu yang tampil. Dalam hal ini, naga Jawa/Bali misalnya digambarkan selalu memakai mahkota, termasuk tokoh-tokoh naga perempuan seperti Nyi Blorong maupun  Dewi Nagagini. Di trailer pun telah terlihat bahwa Nagini tidak menampilkan kekhususan seperti ini. Satu-satunya penanda adalah etnisitas pemeran yang sudah menimbulkan kontroversi habis-habisan, apakah semestinya dia boleh diperankan oleh aktris Korea Selatan, atau harus aktris India, atau aktris Indonesia, atau spesifik aktris Jawa.

3) Kemudian dari sini saya membahas masalah otoritas terhadap representasi tersebut. Nagini yang diklaim sebagai adaptasi dari naga Indonesia, ada sepenuhnya di bawah kuasa kreativitas pembuat film dan cerita yang bukan berasal dari pemilik mitologi tersebut. Tidak ada pelibatan pemilik kebudayaan untuk turut menentukan seperti apa representasi yang mereka (kita) inginkan di dalam film tersebut.

Melihat poin ketiga, sudah jelas jawabannya ketika akhirnya menonton filmnya bahwa hasilnya adalah bencana, yang entah disadari oleh siapapun atau tidak.

Sebelum masuk ke bagian yang paling kacau menurut saya, saya akan bahas dulu seuatu terkait dengan poin no. 1. Kekuatiran saya tersebut semakin tersorot di dalam film. Di postingan sebelumnya saya tidak ingat bahwa film bersetting di tahun 1927, 18 tahun sebelum Indonesia merdeka. Ketika Nagini hendak muncul di sirkus, pembawa acara sirkus mengumumkan bahwa ini adalah mahluk yang berasal dari hutan di Indonesia.

Yep. "Indonesia", belum ada di saat itu. Nusantara masih barangkali disebut sebagai East Indies, atau Hindia Belanda. Mungkin lebih pas kalau disebut Nagini diambil dari hutan di Jawa atau Kalimantan atau Sumatera dsb. Kesalahan yang simpel? Ignorance terhadap sejarah? Keputusan komersial? We'll never know.

Kemudian hal teramat penting lain yang mengganggu saya adalah kutukan maledictus, dan bagaimana Nagini menjadi tontonan sirkus gara-gara kutukan itu. Oke, jadi pertanyaannya adalah kenapa Nagini menjadi tontonan sirkus?

Dari sejarah kita tahu bahwa freak show adalah memang semacam hiburan di Inggris di pertengahan abad ke-16, di mana mereka akan menonton mahluk dengan kelainan yang langka seperti kembar siam. Baik, jadi Nagini adalah semacam freak show? Kelainan apa yang dihasilkan dari kutukan maledictus? Bahwa Nagini bisa berubah menjadi ular. Tetapi bukankah banyak penyihir di dunia Harry Potter yang bisa menjadi hewan dan mereka disebut animagus? Jadi apa menariknya melihat seseorang berubah menjadi ular?

Well, selain freak show, di masa itu orang Eropa juga rupanya senang menonton human zoo. That's right, human zoo. Di mana manusia-manusia yang bukan orang Eropa berkebudayaan Barat dipamerkan sebagai tontonan. Seperti hewan (although for the record, saya juga merasa hewan harusnya juga tidak dipamerkan sebagai tontonan, but we are talking about humans here, not just any humans, but us!). Dan guess what, salah satu pionir human zoo di Jerman waktu itu adalah pedagang hewan liar, yang merasa kegiatan perdagangan hewannya kurang menguntungkan sehingga ia menambahkan manusia ke dalamnya.


Jadi saya menyimpulkan bahwa Nagini dipamerkan bukan karena dia bisa berubah menjadi ular. Apa anehnya buat para penyihir di dunia Harry Potter? Animagus juga bisa berubah menjadi hewan. Tetapi karena dia berasal dari "Indonesia" dengan kutukan eksotis maledictus yang semacam animagus versi KW (karena kita selalu lebih rendah dari bangsa Eropa tampaknya), dia menjadi menarik bagi para penonton Eropa. She's both a freak show and a human zoo object. Dengan demikian sedikitnya representasi orang-orang non kulit putih dalam kisah fantasi Harry Potter, untuk satu-satunya representasi orang dan/atau mitologi Asia Tenggara dia menampilkannya dalam sejarah tergelapnya, sebagai orang yang dianggap hewan tontonan oleh orang kulit putih. Menurut saya ini cukup jelas karena:

- Sebelum munculnya Nagini, pembawa acara harus mengumumkan asal-usul Nagini dari tempat eksotis "Indonesia" yang menandakan bahwa itulah yang membuatnya menjadi menarik dilihat
- Maledictus adalah kutukan yang tidak setara dengan sihir animagus, melainkan seperti yang sudah saya bilang di atas adalah versi KW nya. Maledictus adalah kutukan yang jatuh ke seseorang tanpa dia bisa memilihnya dan kutukan ini merupakan bencana bagi dia  karena dia akan berubah menjadi ular selama-lamanya. Human zoo memang dimaksudkan untuk memamerkan kebudayaan yang dianggap lebih "primitif" daripada kebudayaan bangsa kulit putih Eropa
- Nagini memang akan menjadi hewan untuk selama-lamanya
- Yang kemudian menjadi piaraan Voldemort....

Guys?....

Kesimpulannya, orang Indonesia tidak seharusnya bangga sama sekali dengan tokoh Nagini, malah seharusnya tersinggung. Sebab dasar dari penokohan Nagini teramat rasis dan merendahkan manusia lain yang seharusnya tidak muncul lagi di tahun 2018. Kalau saya bilang, kita semua harusnya bersyukur Acha Septriasa tidak jadi memerankan tokoh tersebut. She dodged a f***in bullet!

 

Monday, October 15, 2018

Apakah Nagini bener-bener dari Indonesia?


Kalau ada yang bilang bahwa rendang itu dari Malaysia, orang Indonesia pasti cepet untuk ngejawab bahwa rendang itu sebetulnya asalnya dari Minangkabau yang letaknya di Indonesia. Nah sekarang bagaimana kalau penulis terkenal asal Inggris yang bikin Harry Potter bilang bahwa mitologi Naga adalah mitologi Indonesia?

Orang India cepat menjawab bahwa mitologi Naga adalah mitologi India, tapi kemudian orang Indonesia cepat juga menjawab bahwa mitologi Naga adalah juga mitologi Indonesia.
Persoalan naga ini belakangan kontroversial banget dan sebetulnya tulisan saya di sini rada-rada kesiangan sih. Tapi nggak apa-apa lah ya, namanya juga cuma blog pribadi, yang baca juga siapa. 

Sebagai ringkasan, jadi gini, trailer  untuk film terbaru dari Harry Potter universe yang berjudul Fantastic Beast: Crimes of Grindelwald mengungkap bahwa Nagini, ular yang selama ini jadi sekutunya Voldemort adalah seorang cewek yang terkena kutukan yang menyebabkan dia bisa berubah bentuk menjadi ular, tapi nantinya lama kelamaan dia akan menjadi ular untuk selama-lamanya. Tokoh Nagini dimainkan oleh seorang aktris Korea Selatan bernama Claudia Kim. Nah pengungkapan ini mengundang banyak kritik dari para netizen di seluruh dunia. Kritiknya antara lain:
  • Kenapa ular yang menjadi peliharaan dan bawahan seorang tokoh pria jahat yang terobsesi dengan kemurnian ras penyihir dibikin menjadi seorang perempuan Asia. Itu rasis banget.
  • Kalaupun emang gitu, Nagini itu kan bahasa Sansakerta, harusnya pun yang meranin bukan aktris dari Asia Timur, tapi Asia Selatan alias ras India. Itu kan rasis banget, nganggep semua orang Asia sama aja dan bisa dituker-tuker.

Belum cukup kontroversi kayak gitu, sang penulis JK Rowling lebih jauh lagi membuat pernyataan bahwa Naga adalah mitologi Indonesia dan Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa. Kontroversi yang ditimbulkan antara lain:
  • Naga itu asalnya dari India kaliii, gila ngasal banget bikin pernyataan Naga itu Indonesia
  • Lalu orang Indonesia ngejawab, yah Naga kan meskipun emang asal-usulnya dari India tapi juga udah jadi bagian dari kebudayaan Indonesia selama ratusan tahun. Jadi JK Rowling ga salah dong bikin pernyataan gitu, kok dengki amat sih Indonesia disebut-sebut, sekali-sekali kita kek yang dapet perhatian.
  • Iya terus tetep aja yang mainin perannya aktris Korea. Orang Korea kan bukan Indonesia
  • Tapi bisa aja lah, orang Indonesia kan emang bervariasi, termasuk yang tampangnya kayak orang Asia Timur. Claudia Kim bisa aja kok dibilang tampangnya kayak orang Indonesia. Lagian sebelum dikasih ke dia, perannya tadinya udah jatuh ke aktris Indonesia yaitu Acha Septriasa, Cuma doski hamil jadi mundur dari peran itu.

Kontroversi yang cukup kompleks dan menarik untuk diurai. Saya akan mulai dengan mengurai "peran" Indonesia di dalam drama ini.

Tanpa bermaksud menuduh apa-apa, menekankan bahwa Naga adalah mitologi Indonesia adalah hal yang teramat menguntungkan bagi JKR. Pertama, memang benar pembelaan netizen Indonesia bahwa Naga adalah juga mitologi Indonesia. Tidak salah juga netizen Indonesia bereaksi memberikan pembelaan karena beberapa pernyataan yang ada cukup ignorant dengan kenyataan tersebut dengan mengatakan bahwa hal tersebut salah dan bahwa mitologi Naga adalah dari India dan bukan dari Indonesia tanpa mengetahui bahwa Indonesia sudah menyerap mitologi naga sejak ratusan tahun yang lalu. Kedua, keputusan casting dapat dibela dengan menyatakan bahwa orang Indonesia sangat bervariasi dan termasuk di dalamnya adalah orang-orang dengan tampang seperti Asia Timur dan keturunan Asia Timur. Apakah ini maksud JKR ketika memasukan dalam tweetnya bahwa Naga adalah mitologi Indonesia dan Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa? Sehingga pemilihan casting aktris berwajah Asia Timur menjadi masuk akal atau fine-fine aja untuk memainkan sebuah peran yang didasarkan pada "mitologi Indonesia"?

Ada beberapa permasalahan dengan hal tersebut yaitu "Indonesia" sebagai negara-bangsa yang baru dibentuk secara resmi di tahun 1945 tidak tepat untuk mewakili kebudayaan etnis-etnis Nusantara. Dalam hal ini mitologi Naga dari India diadopsi dan diasimilasi oleh etnis Jawa/Bali. Motif perempuan ular bisa jadi ada di dalam mitologi-mitologi kebudayaan asli Nusantara yang tidak diadaptasi dari kebudayaan India melalui Hinduisme. Akan tetapi dalam kasus ini, nama Nagini secara spesifik diambil dari bahasa Sansakerta yang diadopsi dan diserap dari India dan maka dari itu mitologi Naga nusantara yang menjadi referensi semestinya adalah yang berasal dari India yang secara spesifik ada pada kebudayaan Jawa/Bali?

Jadi bisakah seseorang dengan penampilan fisik khas Asia Timur menjadi representasi kebudayaan Jawa/Bali? Kita hidup di masa dimana negara-bangsa adalah norma yang dianggap patut dan seharusnya dan orang jaman sekarang mengidentifikasikan diri dengan sangat lekat pada konsep negara-bangsa. Dan demikian, etnis Tionghoa yang tinggal di nusantara masa kini pun sudah mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia dan etnis-etnis asli nusantara pun sudah menerima mereka sebagai sesama "Indonesia". Tapi sudahkah Indonesia menjadi melting pot yang teramat dahsyat sehingga mitologi khas Jawa/Bali dapat direpresentasikan oleh wajah Asia Timur? Dapat dimajukan di sini contoh orang-orang beretnis Tionghoa yang diterima menjadi bagian dari keluarga Keraton Yogyakarta dan adanya orang-orang beretnis tersebut yang mengadopsi dan melestarikan budaya Jawa jauh lebih baik dari orang-orang benar-benar berketurunan dan berwajah Jawa. "Orang Cina tapi Jawa banget" itu memang ada di Indonesia.

Persoalannya di sini adalah, kalaupun Nagini dapat dianggap representasi Jawa, ini adalah representasi yang hanya teramat seuprit saja dari luasnya media Hollywood yang sudah didominasi kulit putih. Orang-orang Asia Timur sedikit demi sedikit sudah mendapat representasi, maka adilkah jika setitik kecil karakter yang (konon) dianggap berasal dari mitologi Jawa direpresentasikan oleh orang Asia Timur? Tanyakan pada orang Indonesia manapun, jika mereka dapat membuat satu tokoh pewayangan Jawa di film Harry Potter, maka mereka pasti akan memilih aktris berwajah Jawa sebagai pemainnya. Race bending mungkin menarik untuk dilakukan jika sudah ada puluhan representasi wajah Jawa di film Hollywood namun ketika tidak ada satupun dan ini adalah representasi pertama, maka mengapa tidak memilih aktris dengan tampilan fisik yang sesuai?

Sekarang kita masuk ke persoalan berikutnya yakni apakah Nagini memang benar-benar merupakan representasi kebudayaan Jawa di luar klaim JK Rowling sebagai penulis, dan di dalam penceritaan Fantastic Beast itu sendiri. Menurut saya, meskipun JK Rowling mengklaim telah mengadopsi Naga dari mitologi Indonesia, namun tokoh Nagini buatannya sama sekali tidak memiliki karakteristik mitologi Naga dalam kebudayaan Jawa.
Pertama tokoh mitologi naga mana persisnya yang menjadi dasar insipirasi bagi Nagini? Beberapa netizen Indonesia berspekulasi apakah Dewi Nagagini ataukah Nyi Blorong yang menjadi inspirasi untuk Nagini. Keduanya adalah merupakan perempuan yang bisa berubah menjadi ular.


Mitologi memiliki motif-motif umum yang serupa di seluruh dunia, hanya ada versi-versi yang berbeda saja dimanapun di seluruh dunia. Motif-motif ini dituliskan dalam katalog oleh ahli-ahli folklor. Contoh untuk menggambarkan motif-motif ini misalnya, Indonesia memiliki versi Oedipus tersendiri yaitu Kisah Tangkuban Perahu, Indonesia memiliki versi Cinderella sendiri yaitu Bawang Merah Bawang Putih, Indonesia juga memiliki versi Beauty and the Beast sendiri yaitu Lutung Kasarung. Motif perempuan ular juga merupakan mitologi yang ada di seluruh dunia termasuk Jepang dan Korea, darimana Claudia Kim berasal. Ada dua teori yang berusaha menjelaskan terjadinya persamaan-persamaan motif ini yaitu monogenesis yang penjelasannnya adalah sebuah motif ditemukan di satu tempat lalu disebarkan dan poligenesis yaitu bahwa motif-motif yang serupa ini ditemukan sendiri-sendiri di tempat-tempat yang berbeda (Danandjaja 56). Versi paling ekstrem dari monogenesis adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh mitologi yang ada di dunia berasal dari India. Sementara poligenesis antara lain dijelaskan dengan psikoanalisa yang mengatakan bahwa mite adalah perlambangan dari kesadaran bersama yang terpendam dari manusia (collective unconscious) maka dari itu muncul mite-mite yang serupa di seluruh dunia (Danandjaja 57, 59).

Dalam hal ini cukup jelas bahwa mitologi Naga orang Jawa/Bali datang dari India namun dalam proses adaptasinya muncul detail-detail yang membedakannya dari versi India. Ini terjadi terhadap setiap mite dan variannya. Tentu saja kisah Dayang Sumbi dan Sangkuriang memiliki kekhasan jika dibandingkan dengan kisah Jocasta dan Oedipus. Maka untuk mengklaim bahwa insipirasi datang dari versi tertentu dan bukan yang lain tentu detail yang membedakan ini harus muncul. Apa yang membuat rendang menjadi rendang dan bukan kari India?

Saya harus menunggu filmnya keluar dulu sih untuk mendapatkan kisah lengkap Nagini, namun dari apa yang kita ketahui sementara ini, tidak ada satupun elemen dari Nagini yang menunjukan ciri khas Jawa/Bali. Dari tampilan saja ia tidak mengenakan mahkota yang merupakan tampilan spesifik dan selalu ada dalam naga khas Indonesia. Lihat saja di ukiran-ukiran yang ada di gamelan, ukiran di candi dan ilustrasi-ilustrasi tokoh naga di pewayangan seperti Antaboga. Lihat juga ilustrasi-ilustrasi terhadap Dewi Nagagini dan Nyi Blorong, keduanya selalu mengenakan mahkota. Dari segi cerita, kutukan maledictus tidak sesuai dengan karakter Dewi Nagagini maupun Nyi Blorong. Kutukan maledictus adalah kutukan yang menurun dari ibu ke anak perempuan, yang menyebabkan anak perempuan tersebut dapat berubah menjadi binatang, dalam kasus Nagini binatannya ular, namun nantinya ia akan berubah menjadi binatang tersebut untuk selama-lamanya dan tidak dapat berubah menjadi manusia lagi. Dewi Nagagini adalah perempuan yang bisa berubah menjadi ular jika marah besar, sedangkan Nyi Blorong adalah panglimanya Nyi Roro Kidul, berbentuk setengah perempuan, setengah ular, dapat berubah menjadi perempuan dan akan berubah menjadi ular sepenuhnya di bulan purnama. Kisah Nagini tidak cocok sama sekali dengan kisah Dewi Nagagini maupun Nyi Blorong.

Bisa aja sih saya yang kurang pengetahuan dan ternyata ada tokoh perempuan ular Indonesia yang pas dengan Nagini namun yang jelas JK Rowling sendiri tidak menyebut tokoh mitologi yang spesifik sebagai inspirasinya. Ia hanya mengatakan adopsi nama yaitu Naga (yang sebetulnya adalah bahasa Sansakerta) dan kemudian mengambil wajah "Asia" yaitu Claudia Kim. Saya sempat berpikir mungkin ia tidak mau menyebut secara spesifik karena takut dituduh cultural appropriation. Apa yang ia lakukan sekarang pun sudah bisa banget membuat dia dituduh cultural appropriation, apalagi kalau ia jelas-jelas menyebut tokoh "Nyi Blorong" misalnya. Saya ingin berbicara sedikit soal cultural appropriation ini karena persoalan ini sering menjadi subyek kontroversi. Kapan suatu karya masuk ke dalam ranah "cultural appropriation" dan kapan suatu karya hanya "diinspirasi" atau "diadopsi". Jika kita orang Jawa dan memakai jeans dan t-shirt seperti orang Barat apakah kita melakukan cultural appropriation? Jika orang Barat menciptakan desain fashion dengan kain sari India, atau batik atau tenun ikat apakah itu cultural appropriation? Apakah orang Jawa yang mengadopsi kebudayaan dan mitologi Hindu ratusan tahun lalu melakukan cultural appropriation?

Satu hal yang selalu tertinggal dalam diskusi saat orang membicarakan ini adalah power relations diantara pihak-pihak yang dituduh melakukan atau terkena cultural appropriation dan seringkali juga keterlibatan ekonomi kapitalis dalam hal ini. Apakah ada power imbalance yang signfikan diantara keduanya? Ketika sebuah pihak yang jauh lebih powerful mengambil elemen-elemen kebudayaan dari pihak yang jauh lebih lemah dan mengambil profit atau benefit daripadanya, maka kemungkinan besar itu adalah cultural appropriation. Dalam hal ini misalnya, orang-orang Jawa yang "mengambil" kebudayaan India ratusan tahun yang lalu kemungkinan akan sulit untuk masuk ke kategori cultural appropriation, karena pertama tidak ada power imbalance yang signifikan diantara keduanya, yang satu tidak menguasai yang lainnya dan orang Jawa tidak mengambil kebudayaan India untuk membuat profit bagi dirinya sendiri atau komunitasnya.

Bagaimana dengan Rowling yang mengambil elemen-elemen kebudayaan lain untuk memperkaya kisah franchise Harry Potter yang dimilikinya? Saya rasa pembaca bisa mengambil kesimpulan sendiri dengan mempertimbangkan betapa dominannya persebaran kebudayaan Eropa dan kulit putih dalam media dan berapa banyak profit yang dapat diraup Rowling dari konsumsi media tersebut.

Baiklah, jadi apa yang semestinya dilakukan JKR? Apakah kreativitas harus dibelenggu, dan bukankah dengan memasukan budaya-budaya lain ke dalam franchise yang sudah begitu powerful pengaruhnya seperti Harry Potter merupakan kesempatan untuk budaya-budaya lain itu memperoleh kehadiran di dalam dunia mainstream dan menyebarkan pengaruhnya sendiri? Masalahnya begini, representasi budaya lain yang ditulis oleh orang kulit putih dibandingan dengan yang ditulis sendiri oleh pemilik budaya tersebut biasanya terasa bedanya.

Belakangan mulai muncul film mengenai orang Asia yang ditulis orang Asia sendiri di media mainstream Hollywood. Sebagai penyuka rom-com Hollywood saya sangat menikmati To All The Boys I've Loved Before dan juga Crazy Rich Asians. Tak lama setelah saya menonton kedua film tersebut saya menonton serial Iron Fist dan jujur terasa banget jumplangnya bagaimana orang Asia ditulis di kedua media itu. Okay, mungkin perbandingannya agak nggak adil ya, tapi poin saya di sini adalah sangat penting untuk mempertimbangkan bagaimana orang Asia (atau orang apapun) ingin direpresentasikan di media. Crazy Rich Asians menunjukkan bahwa ia ingin dunia tau bahwa orang Asia tidak melulu orang miskin, ada juga orang yang kaya gila-gilaan, juga bahwa tidak semua cowok Asia itu adalah kutu buku yang tidak seksi, ada juga cowok-cowok Asia yang ganteng dan seksi, dan di saat yang sama juga film tersebut menceritakan konflik kekeluargaan yang khas Asia.

 "Solusi" yang ingin saya ajukan di sini terinspirasi dari sebuah postingan Tumblr yang tidak dapat saya temukan lagi (biasa lah) tentang museum-museum Eropa atau Amerika yang menyimpan artefak-artefak kebudayaan lain. Bukan rahasia lagi bahwa mereka menyimpan banyak sekali harta artefak dari berbagai belahan dunia. Lalu di masa pascakolonialisme dan bangkitnya political correctness dalam berperilaku, apa yang semestinya mereka lakukan terhadap artefak-artefak tersebut? Apakah mereka harus mengembalikan semua artefak tersebut? Apakah negara pemilik artefak memiliki cukup sumber daya untuk menyimpan dan memanfaatkan artefak-artefak tersebut? Apa nanti nggak malah rusak? Jadi yang mereka lakukan adalah mengundang orang-orang pemilik kebudayaan darimana artefak tersebut berasal untuk mengkurasi dan memamerkan artefak tersebut, sesuai keinginan mereka, sesuai dengan bagaimana mereka ingin diri mereka direpresentasikan.
Ini adalah sebuah bentuk kolaborasi, dimana pemilik power menyediakan space bagi mereka yang less powerful untuk dapat hadir dan membentuk narasi mereka sendiri. Ini adalah sharing of power dalam bentuk yang lebih tulus. Saat orang kulit putih memasukan kebudayaan Other ke dalam medianya namun tetap memegang power terhadap narasi, ini bukanlah sharing of power yang tulus namun merupakan bentuk ko-optasi. Namun dengan kolaborasi seperti contoh di atas, power terhadap narasi dibagi terhadap mereka yang berhak.

Bayangkan misalnya seperti ini. Anggaplah JKR betul-betul kepengen ada "naga dari Indonesia" di dalam cerita Harry Potter-nya sebagai tokoh Nagini. Maka ia bisa berkolaborasi dengan seniman Indonesia yang kompeten untuk menulis seperti apa Nagini kalau dia memang benar-benar tokoh ular mistis dari Indonesia, apa latar belakang ceritanya, seperti apa tampilannya dan apa yang mungkin akan dilakukannya? Saya ragu hasilnya akan sama dengan Nagini yang sekarang ditampilkan oleh JKR.
That being said, saya malah jadi penasaran ingin membuktikan seperti apa tokoh Nagini dalam film Fantastic Beast dan sejauh apa klaim "keIndonesiaan"nya bertahan di dalam film :)


Works Cited

Danandjaja, James. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994.






Thursday, September 13, 2018

Wiro Sableng (2018)


Ketika akhirnya Wiro Sableng tayang di bioskop setelah lama dipromosikan saya masih nggak tau apa yang seharusnya saya harapkan. Konon ini produksi yang sangat epik dengan dukungan studio Hollywood, Cing! Soal cerita Wiro Sableng sendiri saya pun tidak begitu familiar. Serial televisinya saya hanya ingat samar-samar. Waktu itu rasanya hampir tidak mungkin untuk tidak menonton paling tidak 1-2 episodenya di televisi karena waktu itu kan belum ada netflix. Selain dari itu, seorang teman yang sudah menonton duluan terdengar tidak begitu terkesan dengan filmnya dan mengatakan ia bosan ketika sampai di tengah film.

Demi mengetahui sendiri dan demi agar tidak ketinggalan film yang epik ini, akhirnya menontonlah saya film Wiro Sableng ini di bioskop dengan mood nggak jelas dan harapan yang nggak jelas juga.

Ternyata, cukup mengejutkan bahwa saya benar-benar menikmati film ini dari awal sampai akhir. Salah satu faktor penting yang berperan membuat saya bisa asik padahal teman saya bosan adalah berkat keterlibatan saya dalam sebuah pojokan fandom Game of Thrones yang suka membuat analisa-analisa terhadap serial tersebut. Gara-gara sering membaca analisa mendalam terhadap adegan-adegan di GoT saya jadi terbiasa untuk menonton film dengan super atentif dan dengan lensa pembesar 1000x. Setiap adegan saya memperhatikan benar dialog, setting, musik, kostum dan lain sebagainya, dan hasilnya ternyata saya sangat asik menonton Wiro Sableng. Meskipun banyak kekurangannya tapi film ini betul-betul indah. Ini adalah apa yang saya harapkan untuk bisa dilakukan terhadap materi-materi dongeng, cerita dan sejarah milik nusantara, yaitu memproduksi film atau serial televisi dengan nilai produksi yang tinggi. Untuk membahas apa yang saya maksud, di sini saya akan membuat catatan-catatan tentang hal-hal yang saya sukai dan hal yang saya kurang sukai dari film tersebut.

Hal-hal yang saya suka

  • Soundtrack. Soundtrack. Soundtrack. Mungkin saya emang tipe yang gampang dibikin seneng sama soundtrack kali yah. Contohnya film King Arthur yang dihina dina semua orang saya suka banget dan salah satunya adalah karena soundtracknya keren. Begitupun di film Wiro Sableng ini, soundtracknya sungguh keren dan bikin adegan perkelahiannya jadi sangat nikmat ditonton.

  • Tim penjahat. Saya amat sangat suka bahwa tim penjahat terdiri dari jago-jago silat dengan bentuk dan karakter yang amat berbeda-beda. Si iblis bentuknya beda banget dengan si feminin yang agak mengingatkan pada salah satu jago silat di serial Condor Heroes yang dulu saya suka banget (berambut panjang warna merah dan suka ngisep darah, lupa namanya siapa). Dan tentu saja Kala Ijo. Ya Awloh Kala Ijo! Tidakkah adegan perkelahian dengan Kala Ijo itu paling keren sepanjang film dengan keterampilannya yang unik (sebuah mantra yang hanya mempengaruhi laki-laki) dan kejagoannya yang luar biasa (dia sendirian melawan 4 jagoan kita)? Ya memang sih kita tidak disediakan kisah latar belakang maupun karakterisasi yang matang dari tokoh-tokoh ini. Tapi buat saya itu tidak penting. Bahwa adanya variasi-variasi unik seperti mereka yang hadir di film saja sudah cukup keren buat saya di titik ini.

  • Setting. Perhatikanlah pemilihan setting untuk setiap adegan-adegan perkelahian. Menurut saya settingnya sangat indah dan artistik.

  • Dialog. Menurut saya dialognya menghibur dan dilafalkan dengan sangat natural oleh para pemainnya. Saya nggak peduli soal adanya dialog-dialog yang "kekinian" karena ini bukan film sejarah yang harus tepat akurat. Justru itu adalah suatu bentuk kreativitas yang harus dihargai.

  • Kostum. Mungkin apresiasi saya terhadap kostum di sini ada hubungannya dengan kekecewaan saya terhadap kostum dalam film Sultan Agung yang saya tonton sebelumnya. Kostum di Sultan Agung terlalu amat sederhana dan tidak merepresentasikan keagungan kerajaan Jawa. Padahal Geertz bilang, bagi kerajaan-kerajaan Jawa, power served pomp, not pomp power, maka dari itu kostum kerajaan haruslah super grandeur. Kostum dalam film Wiro Sableng menyampaikan hal itu dengan lebih baik.

Soal editing atau camera angle dan sebagainya saya nggak bisa komentar sih ya karena itu hal teknis banget yang saya nggak tahu. Bagi saya sih kelihatan apik-apik saja. Begitupun dengan koreografi, tampak apik saja di mata saya dan saya cenderung percaya pada keahlian Kakang Mad Dog The Raid. Penggemar-penggemar action coreography mungkin akan jauh lebih fussy daripada saya mengenai ini.

Dari poin-poin di atas terlihat bahwa keindahan film ini baru terasa jika kita memperhatikan benar hal-hal yang terkait dengan nilai produksinya dan jika kita melihat film ini sebagai film silat, dengan tribute-tribute terhadap film-film klasik silat dan kesetiaan terhadap source material yang barangkali memang di mata penonton jaman now bisa dianggap agak "sinetron". Sebagai film silat, bintang utama dari film ini juga adalah adegan-adegan perkelahiannya (padahal saya baru bilang bahwa saya anaknya ga gitu ribet sama koreografi ya hahaha). Maka film ini paling bersinar jika kita melihat dalam potongan-potongan adegan perkelahian silatnya yang bagi saya udah sangat keren meskipun mungkin kurang keren buat para action junky yang fussy soal koreografi (barangkali yah...saya nggak tau sih).

Untuk plot-nya memang ada permasalahan dan buat saya, permasalahan utama datang dari banyaknya Chekov's gun yang tidak ditembakkan dalam cerita film. Ini amat disayangkan karena terbukti plot adalah yang paling utama mempengaruhi kepuasan penonton. Teman saya bosan dan banyak reviewer di luar sana yang mengeluhkan plot bahkan sampai di tingkat mereka merasa film ini nggak ada bagus-bagusnya sama sekali.

Anton Chekov bilang jika ada senapan tergantung di dinding di babak pertama, maka di babak kedua atau ketiga, senapan tersebut tidak boleh tidak harus ditembakkan, kalau nggak, itu namanya ngasih janji palsu. Chekov's gun hampir serupa dengan foreshadowing, yaitu sebuah alat plot yang bertujuan untuk memberi petunjuk terhadap apa yang akan terjadi berikutnya, fungsinya untuk menggoda ketertarikan pembaca/penonton dan selain itu yang penting adalah untuk menjaga agar mereka tidak kecewa nantinya. Intinya, jangan menaruh sebuah foreshadowing jika tidak akan terwujud nantinya. Saya merasa, film Wiro Sableng ini banyak sekali "senapan tergantung di dinding" yang tidak pernah ditembakan, yaitu:

  • Hubungan antara Mahesa Birawa dengan Suci, ibunya Wiro serta Ranaweleng. Ini adalah senapan kaliber terbesar yang tergantung di dinding dan tidak pernah ditembakan. Fakta dari hubungan tersebut tidak mempengaruhi cerita dari segi apapun. Ada sebuah review yang bilang bahwa dia menunggu-nunggu momen seperti "Luke, I am your father" di akhir cerita. Ealah, sama banget mas, aku pun bener-bener terlintas seperti itu persis pas nonton saat-saat terakhir Mahesa Birawa. Selain tidak mempengaruhi cerita, penonton pun tidak diberikan jawaban apapun atas latar belakang cerita Mahesa dengan Suci.

  • Hubungan Wiro dengan Anggini. Di awal pertemuan, guru Anggini langsung menyuruh Wiro dan Anggini untuk menikah. Line ini dinyatakan sampai dua kali. Terlepas dari apa maksud sebenarnya dari penulis naskah (yang mungkin masukin line ini hanya untuk comedic relief), line ini menyetel hubungan antara Wiro dengan Anggini ke arah hubungan percintaan dengan trope yang sangat klasik favorit yaitu hate to love, enemies to lover. Namun kita tidak melihat sama sekali hubungan mereka berjalan ke arah sana, kecuali di beberapa menit pertama. Yang paling konyol, adanya foreshadowing ini jadi mengacaukan plot dengan love interest Wiro yang tersebenarnya yaitu Rara Murni. Rara datang setelah Anggini dan di otak saya yang terpikir adalah apakah akan terjadi cinta segitiga diantara mereka, atau apakah Rara nantinya yang akan membuat Wiro menyadari bahwa Anggini lebih pas untuknya dan lain sebagainya. Adanya foreshadowing ini jadi membuat saya tidak melihat atau tidak mau melihat chemistry diantara Wiro dengan Rara. Apalagi ada shot dimana Wiro dan Rara sedang genit-genitan sedangkan kita melihat ada Anggini di belakangnya, sebuah shot yang menjeritkan cinta segitiga. Akan tetapi saya juga tidak melihat bahwa cerita menuju ke arah hubungan romantis atau seksual antara Wiro dengan Anggini. Entah apakah memang ceritanya tidak menuju arah sana atau ada kegagalan dari para aktor dan sutradara untuk menyampaikan hal tersebut. Tidak ada chemistry, unresolved sexual tension dan ketertarikan diantara mereka dan ini menyebabkan adanya Chekov's gun yang lagi-lagi tidak diletuskan sehingga mengecewakan penonton, atau minimal menghilangkan rasa ketertarikan penonton pada plot.

  • Oke mungkin yang ini amat sangat petty dan pengamatan saya agak keterlaluan, tapi sumpah saya nunggu-nunggu apa yang akan terjadi pada bajunya Wiro Sableng. Soalnya ada pembicaraan yang cukup panjang mengenai baju baru yang putih bersih antara Wiro dengan gurunya ditambah dengan penjelasan simbolik dari baju putih bersih tersebut. Pertama, ada perhatian yang berlebihan diberikan pada baju sebagai simbol padahal yang menjadi foreshadowing semestinya adalah kebersihan hati dan yang lebih penting lagi, hubungan antara kapak naga geni dengan kebersihan hati penggunanya. Jadi semestinya perhatian diberikan pada kapak dan bukan baju sebagai simbol. Kapak naga geni yang tiba-tiba menghilang tidak mau muncul karena Wiro mendendam sama sekali tidak ada foreshadowingnya. Kemampuan kapak menghilang di tengah-tengah perkelahian karena penggunanya mendendam seakan-akan datangnya ujug-ujug saja karena kita tidak diberi tahu sebelumnya mengenai itu. Pun ketika perkelahian terjadi, tidak jelas juga kapan dendam Wiro datang di hatinya dan kapan serta bagaimana ia mampu untuk menghilangkan rasa dendam tersebut sehingga si kapak kembali datang. Selain itu ada juga batu saktinya yang tidak dipakai sama sekali sampai akhir film sebagai tambahan senapan yang tidak ditembakkan.

  • Salah satu foreshadowing yang sebetulnya sudah terjadi tapi kurang sukses buat saya adalah soal "menjadi satu". Ketika ada omongan-omongan soal harus menjadi satu, yang pertama terpikir adalah manunggaling kawula gusti namun ternyata omongan itu adalah soal bersatu dengan teman-teman pendekar lain untuk mengalahkan Mahesa Birawa. Pemelesetan prophecy atau nasihat adalah hal yang lumrah dalam penceritaan dan bukan itu masalah saya. Bagian ini semestinya bisa lebih sukses jika lebih ditekankan dari awal preferensi Wiro untuk sendirian dan keengganannya untuk membentuk tim dengan orang lain. Ini semestinya sudah dieksplorasi dari sejak Wiro masih bersama gurunya, sehingga nasihat dari gurunya tersebut memiliki dasar yang kuat karena gurunya sudah mengamati preferensi Wiro untuk bekerja sendirian.

  • Satu pistol kecil yang tidak tertembak tapi bagi saya cukup mengganggu dan menambah bacaan saya terhadap pola kebiasaan penulis film untuk menggantung Chekov's gun adalah saat sang raja memberikan pedang kepada pangeran dan memintanya untuk menggunakan pedang tersebut meliindungi ibunya. Pedang tersebut dan putra mahkota akhirnya tidak melakukan apa-apa

Mungkin masih ada lagi pistol-pistol lainnnya yang tidak saya perhatikan. Akan tetapi dengan beberapa yang saya identifikasi di atas pun rasanya dinding bangunan plot film ini sudah cukup berat dengan senapan-senapan yang tergantung tersebut. Tidak heran banyak penonton bosan atau tidak puas ketika menonton film ini. Selain hal di atas yang menjadi permasalahan utama, ada beberapa hal lain yang, yah, mungkin tidak esensial dan lebih ke preferensi saya pribadi tentang apa yang ingin saya lihat di film ini tetapi tidak muncul atau muncul secara berbeda.

  • Dialog dan persahabatan antara tokoh-tokoh perempuan. Ketika sebelum ini saya menonton film Sultan Agung, saya sempat meributkan soal bagaimana film tersebut tidak lolos Bechdel test padahal dibiayai oleh seorang perempuan yang mendapatkan kekayaannnya dari perempuan. Tentu saja seorang laki-laki kemudian berkomentar bahwa ya film Sultan Agung ini kan tentang seorang laki-laki, kenapa harus lulus Bechdel test segala. Saya hanya bisa menarik napas. Apakah sang sultan tinggal di sebuah era di mana perempuan tidak ada? Apakah semua perempuan di era sultan bisu? Apakah saat itu para perempuan dilarang untuk berbicara satu sama lain? Apakah dialog antara tokoh-tokoh perempuan begitu tak lazimnya sehingga harus dimaafkan ketika tidak muncul di sebuah film tentang laki-laki?

Bechdel test mungkin terdengar sangat petty dan mungkin saja tidak akurat tapi faktanya begitu banyak film yang tidak lulus terhadap permintaan amat sangat kecil yaitu melihat dua tokoh perempuan saling berbicara satu sama lain. Faktanya adalah ada kelangkaan dialog antara tokoh-tokoh perempuan di dalam film. Entah kenapa para penulis naskah rasanya enggan untuk memberikan dialog bagi tokoh-tokoh perempuan untuk berbicara diantara sesamanya tentang hal-hal yang menjadi concern mereka. Apakah concern-concern perempuan begitu tidak pentingnya sehingga bisa di-dismiss begitu saja? Sebaliknya, apakah ini cara untuk semakin meminggirkan worldview dan concern-concern perempuan agar naratif terhadap dunia tetap dikuasai oleh laki-laki? Yang jelas, Mbak Sheila Timothy sebagai bagian dari tim penulis naskah memiliki kesempatan untuk membenarkan ketidakseimbangan ini namun kesempatan tersebut tidak diambilnya.

Sungguh saya rasanya nggak percaya terhadap bagaimana hubungan antara Anggini dengan Rara diceritakan dialam film ini. Jika seorang perempuan mengembara dalam sebuah kelompok, percayalah ia kemungkinan besar akan terdorong untuk menjalin persahabatan dengan sesama perempuan di kelompok tersebut. Atau paling tidak akan ada masa-masa di mana perempuan-perempuan dalam kelompok yang ada laki-lakinya "terpaksa" untuk melakukan beberapa hal bersama-sama dan maka dari itu akan menciptakan bonding yang berbeda diantara mereka dibandingkan dengan antara mereka dengan laki-lakinya. Di sini kita hanya melihat Rara semakin dekat genit-genitan dengan Wiro semetara Anggini terdorong ke latar belakang. Bahkan Anggini harus disuruh oleh Wiro untuk melindungi Rara di dalam perkelahian. Saya merasa ini sulit dipercaya. Saya lebih percaya bahwa sesama perempuan selalu ada solidaritas tak terucap, selalu ada dorongan tak nampak untuk saling mencari satu sama lain dan menjaga satu sama lain. Kalau saya harus naik bus di malam hari yang banyak penumpang laki-lakinya, percayalah saya akan duduk di sebelah penumpang perempuan lainnya. Percayalah bahwa kehadiran seorang penumpang perempuan lain di dalam bus tersebut meskipun saya tidak duduk di sampingnya akan membuat hati saya lebih tenang. Maka bagaimana saya bisa percaya atas tidak adanya hubungan persahabatan dan solidaritas antara Rara dengan Anggini?

Tentu saja tokoh-tokoh perempuan yang memiliki kedalaman karakter bisa saja saling berkonflik satu sama lain dan dengan demikian tidak menjalin persahabatan. Akan tetapi apakah begitu kasusnya di sini? Sepertinya tidak. Anggini dan Rara tidak punya alasan untuk saling berkonflik (karena plot cinta segitiganya toh nggak jalan). Hubungan emosional diantara mereka berdua simply does not exist karena dialog diantara mereka berdua simply does not exist.

  • Ini mungkin tidak terlampau penting namun saya merasa setting perkelahian antara Raja Kamandaka dengan Werku Alit seharusnya terjadi di ruang tahta istana. Mungkin ini pilihan yang bersifat praktis saja, karena perkelahian antara geng Wiro dengan Mahesa Birawa yang melibatkan lebih banyak orang butuh ruangan yang lebih besar, namun secara simbolis tidak tepat. Sebab Kamandaka dengan Werku Alit berkelahi memperebutkan tahta, sedangkan perkelahian Wiro dengan Mahesa adalah soal hal lain. Dengan demikian secara simbolis sebetulnya lebih tepat kalau perkelahian memperebutkan tahta, terjadi di ruang tahta.

  • Ini juga sama sekali nggak penting tapi saya merasa perawakan tubuh Kamandaka dengan Werku Alit tertukar jika kita mengikut pakem penokohan wayang (meskipun iya sih ini bukan cerita wayang). Ksatria atau geng baik biasanya perawakannya lebih kecil dan halus dibandingkan raksasa atau geng jahat.

  • Ini juga hal kecil yang tidak penting, namun saya sempat memerhatikan keris yang dipakai Kamandaka (lurus) dan Werku Alit (berluk). Belakangan saya suka membaca tentang keris dan ternyata bentuk bilah keris baik yang lurus maupun berlekuk ada artinya dan ada peruntukkannya. Misalnya keris lurus artinya soal pemujaan terhadap Tuhan pencipta, sedangkan keris berluk 5 memiliki makna kekuasaan. Saya nggak tahu apakah ini sudah menjadi perhatian pembuat film atau belum tapi akan sangat menarik jika simbolisasi tradisional seperti ini dipakai dan dieksplorasi di dalam film.


  • Saya juga akan lebih senang kalau kostum Bidadari Angin Timur adalah kostum tradisional Jawa. Menurut saya kostum red carpet ballgown sang bidadari kelihatan nggak masuk ke dalam estetika film secara keseluruhan (meskipun konon katanya kostum ini referensinya adalah Dewi Kwan In). Ditambah kostumnya juga kelihatan nggak istimewa di mata saya.

Maka demikianlah ulasan panjang tentang apa yang menurut saya berhasil dan tidak berhasil dari film Wiro Sableng. Semoga ulasan panjang ini tidak membuat saya terdengar seperti complete psycho yang teramat lebay dalam menonton film. Yang jelas, film Wiro Sableng ini sukses kok membuat saya senang karena keindahan visualnya dan juga mampu menginsipirasi analisis mendalam terhadapnya. Tapi mungkin review saya ini nggak bisa dipercaya juga karena saya nggak terlalu rewel soal adegan action hehehe. Kelemahan plot adalah alasan utama film ini tidak dapat mencapai potensi masksimalnya. Tiga dari lima bintang deh untuk Wiro Sableng.


Thursday, September 6, 2018

Komentar terhadap Film Sultan Agung (2018): Skandal Jari Telunjuk di Kerajaan Mataram


Sebagai fans berat serial Game of Thrones, sebetulnya sudah lama saya gatal soal kenapa kita orang Indonesia nggak bisa bikin cerita, film dan serial televisi sebagus GoT. Dengan sejarah nusantara yang panjang, dengan kerajaan-kerajaan kunonya, baik yang Hindu-Buddha maupun Islam, materi yang kita punya pasti begitu banyaknya. Selain banyak, materi tersebut juga unik karena pasti berbeda dengan sejarah orang Barat yang sudah banyak dieksploitasi dalam karya-karya populer mereka. Game of Thrones diinsipirasi oleh War of the Roses, yaitu sejarah nyata kerajaan Inggris tentang dimulainya dinasti Tudor . Maka semestinya kita juga bisa membuat cerita yang sama menariknya dengan inspirasi dari sejarah kerajaan-kerajaan nusantara yang penuh intrik dan drama, peperangan dan pengkhianatan. Salah satu yang paling populer misalnya cerita tentang Ken Arok dan kisah naiknya ia menjadi Raja Singasari. Saya ingin sekali melihat cerita-cerita ini dibuat lagi dengan nilai produksi yang tinggi.
Ketika ada film tentang Sultan Agung di bioskop, saya cukup bersemangat. Selain yang main adalah aktor Indonesia yang teramat ganteng, cerita tentang raja Jawa pun terasa cukup dekat di hati saya. Belum lama Bapak saya meninggal dan dalam kesedihan saya berusaha mendekatkan diri kembali dengan kebudayaan Jawa, dalam usaha untuk memahami Bapak saya tersebut. Beliau tetap memiliki kepercayaan kejawen, meskipun dalam kesehariannya dia sangat tidak Jawa. Di masa kuliah saya mengambil satu kelas yang mengharuskan saya membaca tentang filosofi mendasar yang tipikal bagi kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Beberapa tulisan yang dapat menjelaskan ini mengambil kerajaan Jawa sebagai contoh. Salah satu yang amat membantu saya memahami filosofi mendasar tersebut adalah esai klasik oleh Benedict Anderson berjudul “The Idea of Power in Javanese Culture (Anderson 1990). Membaca esai tersebut saya jadi menyadari betapa berbedanya konsepsi orang Jawa terhadap dunia ini, khususnya tentang politik, serta bagaimana karakteristik Raja dan cara ia berkuasa, serta apa artinya benda-benda pusaka yang biasanya dikumpulkan oleh orang Jawa. Sewaktu Bapak saya meninggal, dan ada beberapa benda pusaka yang harus diurus oleh anak-anaknya, saya memutuskan untuk membaca kembali esai tersebut.
Soal benda pusaka Bapak saya, itu adalah cerita untuk lain waktu, namun yang jelas esai Anderson berbicara utamanya mengenai raja dan kekuasaannya. Sunggu relevan dengan film Sultan Agung, yang menceritakan sang raja Jawa di jaman keemasan Kerajaan Mataram. Maka ketika saya melangkah ke bioskop untuk menonton film ini, tentu saya sudah berbekal sedikit pengetahuan dan ekspektasi yang barangkali sedikit keterlaluan untuk diterapkan bagi film ini. Barangkali, penonton umum tidak akan segalak saya dalam mengamati dan menikmati film ini. Mas-mas yang duduk di samping saya, yang bisa ikut bernyanyi tembang Jawa saat ada di film, sepertinya senang-senang saja (FYI, saya nggak bisa bahasa Jawa). Sementara mata elang saya yang bersenjatakan esai Anderson menangkap momen-momen yang menunjukkan ketidakselarasan tampilan di film dengan filosofi mendasar tentang kekuasaan di Jawa.
Konsep Kekuasaan Jawa
Kekuasaan, dalam hal ini yang disebut oleh orang Barat sebagai “power” memiliki konsepsi  yang sangat berbeda. Power dalam pengertian Jawa lebih tepat disebut sebagai “kesaktian” atau “wahyu” yang sifatnya material, mungkin seperti “the Force” dalam jagat Star Wars. Ia bersifat material dan seringkali memiliki wadah (dan di sinilah benda pusaka berperan). Kesaktian dapat diperoleh dengan mempraktikkan pertapaan; menahan diri dari berbagai nafsu, melakukan semedi, menjauhkan diri dari hal-hal yang sifatnya duniawi dan tidak boleh pamrih, atau melakukan segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri. Sifat halus adalah hasil dari pertapaan ini. Jika seseorang menunjukkan nafsunya, termasuk nafsu amarah, maka ia lemah.
Seorang raja Jawa adalah orang yang memegang kesaktian tertinggi, maka dari itu sifat raja adalah sifat terhalus, jauh lebih halus dari abdi-abdinya apalagi musuhnya. Cara ia memerintah dan berkuasa pun sangat halus dan kehalusan ini yang membuat ia menjadi powerful. Dalam kata-kata Anderson:
"The slightest lifting of his finger should be able to set a chain of actions in motion. The man of real Power does not have to raise his voice nor give overt orders. The halusness of his command is the external expression of his authority" (Anderson 1990, 54).

Bukan hanya perintah, namun dalam menghadapi pertengkaran dengan musuh pun, raja akan menunjukkan kesaktiannya dengan kehalusannya. Kita dapat melihat ini dalam tarian-tarian wayang dalam adegan pertempuran antara ksatria dengan raksasa. Ksatria akan berpose dengan anggun dan diam, tak terganggu dengan gerak-gerik kasar raksasa, kemudian dia akan mengalahkan raksasa dengan satu gerakan elegan yang tampak sama sekali tidak menguras tenaganya. Maka demikian pula semestinya gerak-gerik sang raja Jawa dan orang-orang Jawa pada umumnya di masa itu. Pembawaannya halus, bicaranya halus, sopan santun dan merendah. Suami saya pun cerita bahwa ia pernah menyaksikan pertengkaran lalu lintas di Jogja. Semakin bertengkar bahasa yang dipakai semakin halus; “njenengan” bukan “kowe” yang dipakai. Lalu apakah karakteristik ini termanifestasi di film? Jawabannya adalah tidak.

Pengamatan Gerak Tubuh dan Dialog dalam Film

Ada pengalaman yang menarik ketika saya menonton film Star Trek Beyond yang di dalamnya bermainlah aktor Indonesia Joe Taslim.

Setelah Star Wars, sekarang Star Trek. Apakah hubungannya dua film tentang peperangan di luar angkasa dengan cerita seorang Raja di Bumi tanah Jawa?

Saat nonton Star Trek Beyond, saya tidak mengetahui bahwa Joe Taslim turut bermain di film itu sebagai karakter Manas. Karakter Manas adalah karakter alien, sehingga aktor pemainnya ditutupi dengan make up sehingga ketika Joe muncul, saya sama sekali tidak tahu bahwa itu Joe. Namun ketika Manas menganggukan kepala sambal memejamkan mata saat bersiap untuk bertempur, saya merasa agak tercolek sedikit dengan gestur tersebut. Saya nggak tahu apa yang “salah” dengan gestur itu dan sampai sekarang pun saya tidak dapat menjelaskannya. Yang jelas, begitu tahu itu Joe, saya tiba-tiba memahami dan memaklumi gestur tersebut. Barangkali saya tidak pernah melihat orang bule melakukan gestur seperti itu dan itu adalah gestur khas orang Indonesia.

Lalu bagaimana dengan gestur karakter-karakter dalam film Sultan Agung yang semestinya sangat Jawa? Ada beberapa yang saya perhatikan kurang sesuai dengan ekspektasi.

Yang pertama, beberapa karakter (termasuk karakter Sultan) menggunakan jari telunjuk untuk menunjuk, kemanapun, dan terutama ke orang. Ini dianggap sangat tidak sopan bagi orang Jawa dan saya sungguh tidak dapat membayangkan orang Jawa di masa itu akan pernah menggunakan telunjuknya untuk menunjuk. Di masa kini pun di Jogja tempat saya tinggal atau di kota-kota lain di Jawa jika kita meminta penunjuk arah kepada orang lokal, selain menerima petunjuk arah utara, selatan, timur atau barat (yang akan membuat orang Jakarta sangat frustrasi karena mengharapkan petunjuk kanan kiri), orang tersebut mungkin akan menggunakan jempolnya untuk menunjuk. Demikian juga ketika mempersilakan. Orang Jawa akan menggunakan jempolnya.

Ada seorang ahli politik yang menganalisa kepemimpinan Obama dan mengatakan bahwa gaya kepemimpinan Obama ternyata sangat Jawa. Hipotesis dia dimulai ketika memperhatikan cara Obama menggunakan jempolnya seperti orang Jawa di dalam sebuah acara debat (Fox 2013). Dan begitulah pentingnya jari jempol vs telunjuk dalam gestur Jawa yang sayangnya tidak diperhatikan dalam film ini.

Selain hal kecil seperti penggunaan jari telunjuk, secara umum sifat kehalusan orang Jawa kurang diperhatikan di film ini. Banyak adegan Sultan serta karakter-karakter lain mengeluarkan emosi kemarahan, suara naik, membentak, bahkan menggebrak meja. Barangkali ini bagus untuk menampilkan drama dalam film akan tetapi sebagai karakterisasi kurang tepat. Ditambah lagi dalam hubungan kekuasaan antara Sultan dengan abdinya, ada dialog-dialog yang kurang pantas diutarakan oleh seorang abdi. Seperti misalnya “Sultan harus segera membuat keputusan” yang merupakan sebuah kalimat perintah langsung yang sangat keras. Orang Jawa dikenal dengan bahasanya yang “muter-muter” karena ia tidak akan menyampaikan maksudnya secara langsung agar maksud tersebut sampai secara halus. Raja sendiri pun tidak akan membuat perintah langsung, akan tetapi ia akan membuat perintah dalam Bahasa yang halus, tidak terkesan seperti perintah, lebih seperti permintaan, namun bobot dari perintah dengan bahasa halus tersebut janganlah diremehkan. Sesuai dengan karakteristik kesaktian dalam budaya Jawa, perintah yang diutarakan dalam kehalusan justru memiliki kekuatan yang lebih besar.

Namun, jika karakterisasi tepat dan semua karakter harus berdialog dengan halus, tidakkah film akan terasa membosankan? Justru di sinilah menurut saya tantangan bagi kreativitas dan kejagoan pembuat film dan juga untuk aktor. Dan juga di sinilah kita bisa bermain dengan identitas dan karakter unik dari budaya asli nusantara daripada bermain aman dengan karakterisasi dan dialog populer. Salah satu pesona dari serial televisi Downton Abbey yang membuatnya sangat disukai misalnya, adalah logat British yang posh dan dialog-dialog dengan kalimat Inggris yang njelimet, muter-muter dan penuh sopan santun seperti di Inggris masa lalu. Dan itu pula yang membuat Pride and Prejudice karya Jane Austen diadaptasi berulang-ulang dan ditonton (serta dibaca) berulang-ulang oleh para fansnya. Salah satu alasan mengapa  Mr. Darcy membuat cewek-cewek klepek-klepek adalah karakternya yang stoic. Mengapa seniman-seniman Indonesia tidak coba bereksperimen dengan bahasa Jawa kromo yang asli nusantara dan karakter-karakter halus bak ksatria dalam wayang?

Tentang Lembayung dan Representasi Perempuan

Membicarakan film Sultan Agung tentu harus membicarakan tentang tokoh utama perempuannnya yang cukup mengambil porsi plot. Tokoh ini bernama Lembayung yang tidak nongol di halaman sejarah tentang Sultan Agung dan memang merupakan tokoh fiktif (Daryono 2018). Ceritanya Lembayung yang jagoan silat adalah pacar Sri Sultan saat ia muda dan belum menjadi raja.

Saya memiliki pendapat personal mengenai cewek-cewek jagoan yang sangat memengaruhi perasaan saya tentang tambahan plot Lembayung di film ini.

Seperti semua gadis-gadis kecil di luar sana, saya selalu ingin menjadi cewek jagoan. Toh saya tumbuh dengan serial Wonder Woman dan Xena Warrior Princess. Jangan salah, sampai sekarang pun saya masih suka banget dengan cewek jagoan dan saya akan nonton film apapun yang ada cewek jagoannya dan saya sangat mendukung cewek-cewek yang suka dan mau jadi jagoan silat. Tentu saja perempuan sebaiknya boleh memilih apa yang disukainya dan perkembangan yang sangat bagus bahwa di masa sekarang perempuan bebas jika mau melakukan aktivitas-aktivitas dan sifat yang bernuansa maskulin. Akan tetapi saya belakangan menyadari betapa budaya dan/atau media kita sekarang sangat memberi penghargaan tinggi terhadap hal-hal yang “berkode” maskulin dan tidak menghargai hal-hal yang berkode feminin. Mengenai hal ini saya sempat bahas di postingan terdahulu yang merupakan review film Tomb Raider. Tokoh perempuan baru dianggap menarik jika iya menampilkan kekuatan bersifat maskulin; kuat secara fisik misalnya, bisa silat, berilmu yang bukan ilmu kerumahtanggaan dan domestik, berani melawan dan sebagainya. Sifat-sifat feminin dianggap kelemahan, misalnya lembut dalam berbicara, nurturing, memakai rok, penurut dan sebagainya. Tokoh dengan sifat feminin yang digambarkan positif biasanya dalam bentuk ibu, dan semakin jarang sebagai perempuan muda yang menjadi pahlawan utama dalam cerita atau love interest si pahlawan. Kalaupun ada tokoh feminin yang dianggap “kuat” maka biasanya ia adalah tokoh feminin yang memanfaatkan seksualitasnya untuk mengontrol orang lain.

Coba tanyakan pada fandom Game of Thrones, tokoh mana yang lebih mereka suka, Sansa Stark atau Arya Stark? Pasti sebagian besar akan menjawab Arya, dan bahkan akan mengatakan mereka benci Sansa. Sansa adalah gadis feminin, sedangkan Arya adalah adiknya yang lebih berkode maskulin. Padahal di dalam cerita, Sansa diceritakan dapat bertahan hidup sebagai prisoner of war dengan soft power yang dimilikinya, yaitu ketabahan, kebaikan hati dan kemampuannya untuk bersopan santun, mengatakan hal-hal yang tepat di saat yang tepat. Jika salah bicara, maka ia bisa saja mendapatkan hukuman dari penangkapnya. Namun tetap saja sebagian besar penonton GoT membenci Sansa dan mengatakan Sansa adalah tokoh yang paling tak berguna.

Kembali ke Sultan Agung, saya hanya bisa berspekulasi mengenai penambahan tokoh Lembayung ke dalam cerita ini (karena ia fiksi). Karena jujur, plot dengan Lembayung bagi saya sangat terasa ketidaksinambungannya dengan sisa cerita, yaitu mengenai naiknya Sultan ke tahta dan kampanyenya melawan VOC. Ini adalah alasan utama cerita film tidak terasa bulat bagi saya.
Apakah tokoh Lembayung ditambahkan karena film ingin memiliki tokoh utama perempuan yang “kuat”?

Film Sultan Agung dibiayai oleh seorang perempuan (Mooryati Soedibyo) yang mendapatkan kekayaannya dengan menjual kosmetik (Mustika Ratu) pada perempuan. Maka apakah penambahan tokoh perempuan adalah untuk kepentingan penonton perempuan?

Ada dua hal yang ironis jika ini memang benar. Pertama film ini tidak lolos Bechdel test. Bechdel tes adalah sebuah tes untuk menilai representasi perempuan dalam karya fiksi dengan melihat apakah ada tokoh-tokoh perempuan yang berbicara satu sama lain tentang hal selain laki-laki (Wikipedia 2018). Tes ini mungkin bukan tes yang paling akurat untuk menilai representasi perempuan dalam sebuah karya akan tetapi yang menarik dari tes ini adalah betapa gampangnya hal yang dimintanya, hanya dua atau lebih tokoh perempuan yang memiliki nama, saling berbicara satu sama lain tentang hal selain laki-laki. Ada beberapa tokoh perempuan dalam film ini dan tidak sekalipun kita melihat dialog diantara mereka. Barangkali yang paling gawat adalah antara Gusti Ratu Banowati (ibu Sultan Agung) dengan Gusti Ratu Tulung Ayu (ibu Pangeran Martopuro) ketika jelas ada rivalitas diantara mereka untuk menaikan anak masing-masing ke tahta Mataram, namun tak ada satupun dialog diantara mereka. Begitupun tokoh Lembayung dengan Ratu Batang, kedua tokoh perempuan ini tidak berbicara satu sama lain, melainkan Ratu Batang hanya mengintip Lembayung berbicara dengan suaminya dengan curiga dan kesedihan. Apakah ini terjadi karena sebagian besar tim pembuat film merupakan laki-laki?

Hal ironis kedua, sebetulnya tokoh Lembayung tidak perlu ditambahkan, karena sudah ada tokoh-tokoh perempuan di dalam hidup Sultan. Apakah pembuat film enggan mengeksplorasi tokoh-tokoh ini karena femininitas mereka? Lalu kenapa pada akhirnya Lembayung mengubah keputusan Sultan dengan soft power of persuasion? Apakah Lembayung harus jago silat dulu agar Sultan bisa jatuh cinta padanya sehingga akhirnya baru mampu mempengaruhi keputusan-keputusannya? Ini tuduhan serius yang tidak mau saya tuduhkan dengan serius, toh ini cuma spekulasi saya saja.

Salah satu period drama yang saya tonton dalam rangka lebih memahami War of the Roses berjudul The White Queen. Serial TV tersebut memiliki satu quote yaitu “men go to battle, women wage war”. Peran perempuan dalam sejarah seringkali dikecilkan karena barangkali sejarah ditulis oleh laki-laki. Padahal naik turunnya raja tidak lepas dari peran ibunya dan siapa ratunya. Di dalam The White Queen dan sequelnya, The White Princess, naiknya Henry Tudor diceritakan tidak lepas dari perjuangan sang ibu, Margaret deBeaufort dan menikahnya ia dengan Elizabeth of York yang menyegel bersatunya keluarga Lancaster dengan York menjadi dinasti Tudor. Begitupun jatuh bangunnya Edward IV dan Richard III sebelum Henry Tudor, tidak lepas dari peran Elizabeth Woodville yang merupakan isteri Edward IV.

Seperti Gusti Ratu Banowati dan Gusti Ratu Tulung Ayu, siapa yang tahu langkah politik apa yang mereka lakukan untuk menaikkan anaknya ke tahta? Lalu dukungan dan kesetiaan macam apa yang diberikan Kesultanan Cirebon pada Sultan Agung karena Ratu Mataram berasal dari Kesultanan Cirebon? Apakah perempuan-perempuan yang sedang kita bicarakan ini jago silat? Kayaknya tidak. Apakah perempuan-perempuan yang kita bicarakan ini kuat? Pasti. Bayangkan jadi seorang putri, harus menikah dengan laki-laki yang dijodohkan oleh keluarga untuk alasan politik. Ketabahan dan kesetiaan ia dalam menghadapi nasib tersebut bisa menentukan kejayaan atau kejatuhan politik seorang raja.

Renungan untuk Lain Hari

Anyway, semua yang saya omongkan di atas adalah renungan untuk lain hari. Saya hanya bisa berharap apa yang saya tulis di sini ada manfaatnya untuk membantu menaikan nilai karya-karya selanjutnya. Saya hanya seorang penikmat karya yang meminta terlalu banyak, hehehe. Dalam hal ini, kedalaman pemahaman terhadap konteks budaya yang ditampilkan dapat membantu menghasilkan visualisasi yang bukan hanya akurat namun juga memiliki pesonanya sendiri. Pemahaman ini dapat dengan mudah didapat dengan melakukan riset bacaan. Tulisan-tulisan yang dibuat oleh antropolog yang telah melakukan riset bertahun-tahun mengenai topiknya bisa dapat sangat membantu.

Atau, dalam kasus kerajaan Jawa, bayangkan, kita masih punya kerajaan Jawa beneran di masa sekarang ini! Apabila pihak kerajaan berkenan, barangkali riset pun bisa dilakukan di sana, dengan banyak ngobrol dengan keluarga kerajaan, mengamati dan meniru gerak-geriknya dan mempelajari protokolnya.

Lalu mengenai representasi perempuan, saya akan sangat senang sekali jika ada karya-karya yang dapat mengeksplorasi politik, atau apapun dari sudut pandang perempuan. Tren di Barat saat ini adalah karya-karya yang berpusat pada perempuan, seperti misalnya The White Queen yang sudah saya sebut di atas dan juga Big Little Lies, atau re-make beberapa franchise dengan mengganti karakternya menjadi perempuan seperti Ocean’s 8 atau Miss Sherlock. Ini sangat menyenangkan buat saya yang perempuan dan akan lebih menyenangkan lagi kalau ada karya-karya Indonesia yang seperti ini.

Works Cited

Anderson, Benedict R. O'G. 1990. “The Idea of Power in Javanese Culture.” Dalam Languange and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia, oleh Benedict R. O'G Anderson, 17-77. Ithaca: Cornell University Press.
Daryono, Iqbal Aji. 2018. Sultan Agung, Kebenaran Sejarah vs 'Kebenaran Film'. 31 August. Diakses September 8, 2018. https://hot.detik.com/premiere/4192003/sultan-agung-kebenaran-sejarah-vs-kebenaran-film.
Fox, Edward L. 2013. No drama, King Obama. 7 February. Diakses September 9, 2018. https://aeon.co/essays/is-obama-the-first-javanese-president-of-the-us.
Wikipedia. 2018. Bechdel test. 29 August. Diakses September 9, 2018. https://en.wikipedia.org/wiki/Bechdel_test.



Sunday, March 18, 2018

Tomb Raider (2018): Sebuah film beretika, produk jaman now yang membesarkan hati

Ketika gw memutuskan nonton film ini, gw ga ada niatan apapun untuk membuat sebuah postingan blog untuk mengulas filmnya. Akan tetapi ada beberapa hal yang amatlah menarik buat gw bahas, dan lagi-lagi, no surprise, tema bahasan gw berkaitan dengan poskolonialisme. Film yang tokoh utamanya adalah seorang aristokrat Inggris yang kerjanya merampok benda-benda arkeologi di makam kuno sepertinya memang bakal sulit lari dari topik favorit gw ini. Akan tetapi, kesan gw terhadap film Tomb Raider yang baru ini, surprisingly, positif. Gw melihat film ini ada usaha untuk tampil lebih politically correct dalam hal hubungan kekuasaan antara Lara Croft sebagai arkeolog kulit putih dengan lokasi makam jarahannya. Cukup kontras dengan dua film Lara Croft yang dibintangi Angelina Jolie di tahun 2001 dan 2003.

Beberapa ulasan yang gw baca memang memperhatikan betapa berbedanya Lara Croft versi Alicia Vikander dengan versi Jolie. Akan tetapi gw belum menemukan tulisan yang membahas implikasi dari perbedaan karakterisasi Lara yang baru ini  terhadap bagaimana hubungan dia dengan lokasi jarahannya. Atau justru sebaliknya, bagaimana ideologi film ini dalam memandang hubungan antara subyek berprivilege seperti Inggris dengan subyek-subyek yang lebih lemah mempengaruhi bagaimana Lara dikarakterisasikan di film ini. Atau mungkin keduanya? Lagi-lagi gw hanya bisa berspekulasi tentang maksud pembuat film.

Gw akan menggunakan istilah Barat vs The Other di dalam tulisan ini untuk mengacu pada dualitas antara subyek kulit putih yang ber-privilige tinggi dengan subyek-subyek lain dan dalam hal ini mengacu pada Lara dengan subyek target jarahannya. Penggunaan istilah 'the Other'[1] dalam studi antropologi, khususnya dalam Oriental Studies-nya Edward Said, adalah mengenai pertemuan antara 'Barat' dengan kebudayaan lain dengan hubungan yang sifatnya hegemonik, yaitu hubungan antara subyek dominan dengan yang didominasi. Subordinasi secara kultural terhadap 'the Other' (dalam hal ini penduduk asli dari lokasi-lokasi koloni) diperlukan agar dapat menjustifikasi pemanfaatan tenaga kerja, tanah dan sumber daya lain yang mereka miliki. Proses Othering yang terjadi di sini menghasilkan hubungan tidak seimbang antara subyek "Other' dengan penjajah yang menganggap diri mereka lebih superior secara kultural (peradaban) dan dengan demikian menjustifikasi kolonialisasi sebagai tindakan penyelamatan terhadap orang-orang tak beradab tersebut. Kolonialisasi tentu saja sudah berakhir namun hasil dari proses Othering secara kultural belum tentu sudah berhenti atau menghilang, dan kita bisa menyaksikan sisa-sisanya melalui Lara Croft..

Istilah 'the Other' ini juga digunakan Simone de Beauvoir untuk menjelaskan hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang diwarnai oleh dominasi privilege laki-laki[2]. Perempuan digambarkan sebagai 'the sexual Other' dalam hubungannya dengan laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai kondisi default, atau positif atau netral bagi spesies manusia, maka dengan demikian perempuan adalah 'the Other sex' atau 'the Second sex'. Dalam bahasa Inggris, kata untuk manusia dan manusia laki-laki adalah man, sedangkan kata untuk perempuan adalah woman, sebuah kata yang mengandung negasi dari kata man.

Penjelasan mengenai penggunaan istilah 'the Other' dalam hubungan antar jenis kelamin dan gender ini cukup relevan juga untuk membahas Lara Croft sebagai tokoh jagoan perempuan yang harus meniti dengan hati-hati garis antara maskulin dengan feminin untuk memuaskan konsumennya. Ini akan menjadi salah satu hal yang akan gw bahas terlebih dahulu karena begitu pentingnya topik ini bagi tokoh Lara Croft, dan juga mempengaruhi bagaimana ia berinteraksi dengan 'the Other' nantinya. Jadi untuk membahas apa yang gw maksud dengan film Tomb Raider mulai menampilkan hubungan antara Barat dengan the Other dengan lebih politically correct, gw akan mengeksplorasi tema demi tema yang dapat dikontraskan tampilannya di dalam film Tomb Raider versi Jolie dengan Tomb Raider versi Vikander yang baru ini.

Penampilan Fisik

Ini adalah satu hal yang paling banyak dibincangkan dan dibandingkan dalam film ini. Maka dari itu sebelum kita membahas tentang hubungan Lara Croft dengan the Other, menarik untuk membahas topik ini dengan bagaimana Lara sudah mengalami proses Othering-nya sendiri sebagai karakter perempuan, berhubungan dengan penjelasan De Beauvoir di atas.

Konon, waktu awalnya video game Tomb Raider dibuat, sulit untuk menampilkan dengan jelas bahwa karakter Lara Croft adalah perempuan dikarenakan keterbatasan tampilan dalam teknologi 32-bit untuk video game saat itu[3]. Pembuat video game memilih untuk memperbesar dada dan pinggul Lara sebagai penanda bahwa Lara adalah perempuan, karena rambut panjang sulit terlihat dalam gambar video game. Perhatikan di sini bahwa laki-laki dianggap sebagai kondisi default dari manusia (self) sehingga tanpa penanda bahwa ia adalah perempuan (the Other sex), ia akan dianggap sebagai laki-laki.

Namun pada akhirnya, bentuk tubuh Lara yang seperti itu membantu menjual video game-nya pada konsumen laki-laki heteroseksual dan jadilah dia dijual sebagai karakter seksi yang menyenangkan mata laki-laki heteroseksual, lalu Angelina Jolie harus menggunakan beha yang disumpal untuk mencapai ukuran dada yang diinginkan untuk Lara[4]. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk pinggul dan sepertinya dada yang besar dianggap cukup saat itu. Ditambah dengan wajah cantik dengan bibir tebal, penampilan fisik Jolie dianggap sebagai mewakili keseksian Lara.

Penampilan Vikander dalam versi baru Tomb Raider ini amat jelas berbeda dengan citra yang diinginkan dalam Lara versi Jolie. Perbedaan penampilan ini adalah salah satu elemen yang paling banyak dibicarakan dalam ulasan film baru tersebut. Tidak ada lagi lekuk tubuh dan bibir tebal dan ekspresi-ekspresi sensual Lara di film yang baru ini. Tubuh Vikander kekar, tanpa pinggul dan dada besar yang feminin. Lalu wajahnya meskipun cantik tidaklah luar biasa sensual seperti Jolie. Pemilihan aktris dengan tubuh yang bisa dibilang cukup maskulin ini seakan-akan disengaja untuk menolak Othering yang terjadi di masa video game pertama dan di masa Jolie dan menantang obyektifikasi Lara oleh the male gaze, atau lebih mudahnya menghilangkan “ogle factor"[5] dalam karakter Lara. Katanya sih, perubahan ini sudah terjadi dalam versi reboot video game-nya di tahun 2013. Sayangnya pengetahuan gw soal video game ini sangat terbatas, hanya dari yang dibaca sekelewatan saja di berbagai sumber. Maka analisis terhadap isi, karakter-karakter, plot dan sebagainya untuk tulisan ini hanya terbatas pada film saja.

Kekuasaan maskulin dalam aksi dan kekerasan

Di atas sudah dibahas bagaimana tubuh Lara harus diberikan penanda-penanda sebagai tubuh perempuan untuk membedakannya dari laki-laki dalam Lara versi Jolie. Sehingga secara eksternal, bisa dibilang Lara diberikan pengkodean feminin. Akan tetapi, secara internal, atau secara sifat emosional, Lara versi Jolie diberikan pengkodean yang sangat maskulin. Ini bisa terlihat saat Lara terlibat dalam baku hantam dan tembak atau saat dia harus terlibat dalam aksi untuk survival-nya saat menjarah makam. Lara versi Jolie adalah perempuan seksi dengan aura maha jago. Ia tampil dengan penuh kuasa saat berantem dan berakrobat, tak sekalipun menampilkan emosi takut atau lemah dan dia selalu tau apa yang harus dilakukannya dan tak segan memberikan senyum bangga saat berhasil mengalahkan lawan dengan kejagoannya. Ini semua terlihat dalam raut wajah yang dibawakan Jolie, wajah penuh determinasi, wajah sombong dan tak sekalipun wajah ketakutan. Ia penuh dengan kekuasaan maskulin tanpa cela. Siapa yang bisa lupa adegan Jolie melukai lengannya, mengeluarkan darah agar hiu datang, lalu ia menonjok hiu tersebut, biar bisa numpang sampai ke permukaan laut? Juga bagaimana ia mendominasi tokoh laki-laki utamanya dengan menunjukkan kepintarannya membuka teka-teki makam secara benar ketika tokoh Daniel Craig menebak dengan salah, atau bagaimana ia mendominasi tokoh Gerard Butler dengan membubarkan ide-ide Butler tentang cara sampai ke markas Shay Ling dan menggunakan caranya sendiri (padahal ia dengan khusus membebaskan Butler dari penjara untuk memanfaatkan pengetahuan Butler mengenai Shay Ling).

Lara versi Vikander tidak seperti itu dan ia tak kurang pujian dari para kritikus yang menyatakan bahwa akting Vikander adalah bagian paling bagus dari film ini[6]. Lara di film ini sangat realistis dan relatable. Meskipun memiliki bekal fisik yang kuat dan seni bela diri dan kecerdikan, tak serta merta itu membuat ia menjadi maha kuasa. Faktor keberuntungan terlihat sangat bermain di dalam survival-nya, dan tak kalah penting juga bantuan dan pengorbanan orang lain.  Ia berhasil kabur dari tangkapan Vogel karena bantuan dan pengorbanan Lu Ren. Ia tidakklah kebal, perutnya tertusuk besi tajam saat berusaha menyelamatkan diri, dan seseorang kemudian harus merawat luka tusuknya. Sebuah luka yang secara serius mengancam keselamatannya, bandingkan dengan luka nggak penting di lengan Jolie yang disembuhkan dengan teh ajaib dari biksu Kamboja. Kemudian pada adegan saat Vikander hampir jatuh di air terjun, ia selamat karena untungnya menemukan sebuah parasut, meskipun tentu ia harus cukup cerdik untuk menggunakan parasut tersebut dan harus punya kekuatan tubuh yang cukup untuk bergelantungan. Kepintarannya dalam menjawab teka-teki sama sekali tidak ditampilkan untuk mengangkat superioritasnya terhadap karakter lain. Kita melihat Lara pintar bermain puzzle ala Jepang karena sudah diperkenalkan sejak kecil oleh ayahnya. Kemudian ketika di dalam makam ia harus mejawab teka-teki sambil panik karena hidup mereka terancam jebakan makam. Dan penonton pun tidak ditutup dari proses berpikir Lara karena proses berpikir tersebut dinarasikan. Sama sekali berbeda dengan pemecahan teka-teki ala Jolie dengan faktor dramatis dan wow serta wajah smug.

Dan tentunya, adegan saat ia harus membunuh orang untuk survive adalah adegan yang emosional dan dibawakan dengan brilian oleh Vikander. Emosi Lara sepanjang film juga adalah emosi dan ekspresi yang tulus, ia ketakutan, kebingungan, dan hanya panik berusaha menyelamatkan hidupnya.

Emosi-emosi yang ditampilkan oleh Lara versi Vikander dianggap sebuah kelemahan dalam budaya maskulin dan tentunya tak boleh muncul dalam karakterisasi yang berkode maskulin seperti Lara-nya Jolie. Budaya yang seperti ini disebut sebagai "toxic masculinity", yang mencakup sifat dominasi, devaluasi perempuan, kemandirian yang ekstrim dan surpresi emosi[7]. Selain devaluasi perempuan, sifat-sifat yang disebut barusan ada pada Lara Croft yang dibawakan Jolie. Di sisi lain, Vikander membawakan karakter Lara yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat toxic masculinity tersebut. Dengan demikian, film Tomb Raider yang baru ini mensubversi dua hal dari karakter Lara Croft dari film sebelumnya, yaitu membalik pengkodean eksternal dari feminin menjadi maskulin, dan pengkodean internal dari maskulin menjadi feminin, seakan-akan menantang seluruh pemikiran ideologis yang mendasari penciptaan karakter Lara Croft.

Pemeran utama laki-laki dan pemeran-pemeran lain

Sekarang mari kita bandingkan pemeran utama laki-laki yang bertugas menemani Lara dalam petualangannya. Di film Jolie pertama kita dapat Daniel Craig, seorang pria kulit putih, di film Jolie kedua kita dapat Gerard Butler, seorang pria kulit putih juga. Di film Vikander, kita dapatkan Daniel Wu, seorang laki-laki Cina. Ya mungkin pemilihan karakter dan aktor Cina ini adalah bagian dari usaha memasarkan film ini di Cina, akan tetapi tentu saja ada implikasi terhadap keanekaragaman etnisitas dalam deretan pemeran film dan bagaimana karakter-karakter saling terhubung dalam film. Di film ini kita bisa melihat bagaimana seorang karakter beretnis lokal yang Lara temui di situs lokal diberikan peran yang penting dan berdaya, memiliki agency dan dapat mempengaruhi plot.

Dan umm… tidakkah Daniel Wu cukup ganteng? Lebih ganteng malah daripada Craig dan Butler. Atau seperti kata temen gw: Daniel (g)Wu-anteng. Gw bisa memahami sih bagaimana film ini agak semacam menuju ke arah membuat Lu Ren sebagai love interest, tetapi tidak dipastikan di akhir film. Karena mungkin membuat Lara dan Lu Ren mengekspresikan ketertarikan secara eksplisit setelah Lara keluar dari makam yang hancur akan membuat film ini beresiko dianggap terlalu klise dan cheesy. Karena God forbid seorang tokoh jagoan cewek mempunyai love interest tanpa ia dianggap jadi lemah dan orang-orang berteriak "ia tak butuh cowok untuk menjadi karakter cewek yang menarik", sebuah ide yang entah bagaimana jadi membuat jagoan cewek diatribusikan sifat toxic masculinity, yang by the way, ditampilkan oleh plotnya Jolie dengan Craig dan Butler (Jolie annihilated these two men in the movies).

In any case, film ini tidak membubarkan ide Lara Croft x Lu Ren sama sekali, it still probably can happen off screen or whatever.

Lalu bagaimana dengan peran-peran lain? Di film Jolie yang pertama peran-peran penting semuanya adalah laki-laki kulit putih. Yup. Tak satupun perempuan. Satu-satunya perempuan dewasa yang terlihat di film ini adalah Jolie. Laki-laki kulit hitam ada dengan peran sebagai kurir dan tukang pukul. Di film yang kedua ada seorang perempuan tua yang muncul sebentar dan seorang Afrika berkulit hitam. Keduanya adalah pembantu Lara di dua lokalitas yang berbeda. Juga ada sekumpulan antek-antek penjahat yang beretnis Cina, namun peran mereka hanyalah antek-antek penjahat yang dengan mudah bisa digantikan dengan etnis apapun. Di film Vikander, selain Lu Ren sebagai laki-laki Cina, ada Kristin Scott Thomas yang punya peran cukup penting meskipun screetime beliau di film ini masih sedikit. Jadi bisa disimpulkan dari soal keanekaragaman dan kepentingan peran, Tomb Raider yang baru meskipun belum maksimal, sudah mulai mengakomodasi keseimbangan.

Keterikatan karakter Lara Croft terhadap identitas kelas sosial-ekonomi dan kebangsaan

Di kedua film Jolie, Lara seringkali dipanggil dengan sebutan 'Lady Croft', ia tinggal di istana warisan keluarganya, dan memiliki semua sumber daya yang diperlukan untuk menjarah makam dimanapun. Ditambah lagi, ia punya hubungan baik dengan militer Inggris dan dapat meminta bantuan mereka saat diperlukan. MI6 pun meminta bantuan Lady Croft saat terjadi krisis yang ada hubungannya dengan artefak arkeologi. Lara Croft versi Jolie didukung sepenuhnya oleh privilege dari kelas sosial-ekonomi yang dimilikinya dan kebangsaannya dalam bertualang. Privilege ini terekstensi hingga ke seluruh dunia, karena tentunya memang privilege orang kulit putih berkebangsaan Inggris seluas itu tampaknya. Lara memiliki sumber daya di setiap target situs arkeologi yang ditujunya, baik itu Kamboja, Siberia, Yunani, Cina dan 'Afrika' (sungguh, film tidak menyebut negara tujuan Lara di Afrika, dan menyebut dengan santai 'Afrika' sebagai lokasi the Cradle of Life').

Lagi-lagi, Lara versi Vikander memilih jalan yang kontras dengan ini. Ia terdisintegrasi dengan identitas aristokratiknya bersama dengan kekayaannya dan identitas kebangsaannya tidak terlalu terpamerkan di sini. Ia memilih untuk mencari penghidupan sendiri sebagai kurir sepeda karena ia menolak mengakui bahwa ayahnya sudah meninggal. Ketika masuk ke gedung perusahaannya sendiri dan dikira kurir oleh resepsionis, ia tidak langsung mengkoreksi si resepsionis sampai di saat terakhir ketika ia diminta mendaftarkan namanya. Kita masih mendapatkan sedikit-sedikit gambar dimana Lara tumbuh sebagai anak perempuan aristokrat Inggris yang kaya raya, namun film masih membuat Lara harus bertualang dengan sumber daya terbatas. Ia harus menggadaikan sebuah kalung dan dengan uang terbatas itulah ia pergi ke situs arkeologi tujuannya, dan ini adalah poin yang sangat penting yang meredefinisi hubungan Lara Croft dengan 'the Other' di film ini.

Selain itu, juga sangat penting, dalam film ini juga Lara tidak pergi kuliah dan lulus sebagai seorang arkeolog. Arkeologi dengan samaran sebagai sebuah ilmu pengetahuan (sains) yang bersifat ‘netral’ atau ‘murni’ seringkali digunakan menjadi alat dominasi pengetahuan, budaya, politik dan sosial-ekonomi oleh dunia Barat terhadap the Other[8]. Dan tentu saja kita melihat bagaimana Lara Croft versi sebelum ini memperoleh legitimasi untuk menjarah makam-makam di seluruh dunia di bawah payung kepentingan ilmu arkeologi. Arkeologi sendiri di awalnya adalah sebuah disiplin ilmu kolonial (dan ilmu apakah yang juga merupakan disiplin ilmu kolonial? antropologi. uwu), digunakan untuk menjustifikasi kehadiran orang-orang Barat di berbagai lokalitas karena misinya untuk menyelidiki asal-usul peradaban serta sebagai ilmu yang membantu membentuk pengetahuan Barat terhadap ‘the Other’ dengan menginvestigasi dan mengelompokan mereka melalui penyelidikan artefak[9]. Ini lagi-lagi menjadi poin penting dari pertimbangan pembuat film (barangkali), terhadap perubahan karakterisasi dan cerita Lara Croft di film ini.

Lokasi situs arkeologi

Kita sudah semakin dekat ke tema sentral dari tulisan ini yaitu hubungan Lara Croft dengan 'the Other', namun sebelum sampai ke sana, penting untuk membahas perbedaan subyek 'the Other' sebagaimana ditampilkan dalam kedua film Jolie dan film Vikander, sebab ada perbedaan yang cukup penting. Lokasi situs arkeologi di film-film Jolie adalah Kamboja, Siberia, Yunani, Cina dan Afrika. Kesemuanya adalah situs-situs 'eksotis' yang memiliki penduduk lokal dan kita bisa melihat interaksi tokoh-tokoh penjahat dan Lara sendiri dengan penduduk lokal tersebut yang akan gw bahas di bagian berikutnya.

Untuk film Vikander, mitologi arkeologi yang menjadi bahan adalah ceritanya dari Jepang, yang bisa dbilang 'Oriental' sih, akan tetapi film meminimalisasi wacana Orientalisme dengan meletakan makam di sebuah pulau tak berpenghuni Yamatai. Di Yamatai, memang ada subyek-subyek Orient yang menjadi budak untuk si penjahat, namun mereka adalah pelaut-pelaut yang terdampar di sana. Mereka tersubordinasi bukan karena mereka adalah penduduk lokal yang memiliki kekuatan ekonomi politik lebih lemah, namun karena nasib buruk mendamparkan mereka di sebuah pulau yang dikuasai si penjahat. Their power was stripped through natural disaster not through political economic subjugation.

Pilihan Jepang sebagai dasar mitologis juga menurut gw cukup membantu meminimalisasi wacana hubungan kekuasaan, karena, well, Jepang dulu adalah juga bangsa penjajah bukan? Dan kekuatan ekonomi politik mereka sekarang sebagai sebuah bangsa juga cukup kuat. Gw tidak bisa membayangkan misalnya seorang penjahat kulit putih akan bisa dengan mudahnya menjarah makam di Jepang dan menyewa tenaga lokal untuk membantunya menjarah makam sebagaimana yang dilakukan Iain Glen di Kamboja misalnya. Meletakan makam di pulau tak berpenghuni yang aksesnya berbahaya berarti juga memindahkan situs arkeologi jauh dari jangkauan kekuasan negara Jepang. Akses menuju pulau ini pun melalui Hongkong, dan di sini lah Lara memiliki interaksi dengan penduduk lokal yang akan dibahas di bagian berikut.

Lara dan pertemuan dengan the Other

Baiklah, seluruh bahasan panjang-panjang di atas adalah pengantar menuju bagian ini. Sekarang kita akan membandingkan pertemuan Lara dengan the Other di film-film tersebut. Di film Lara Croft pertama, kita melihat Jolie di Kamboja, diturunkan dalam mobil jipnya oleh angkatan udara Inggris. Kita melihat si penjahat menggunakan tenaga-tenaga orang lokal untuk membobol pintu makam. Kemudian, Lara dituntun oleh hantu anak perempuan dan tanaman bunga melati ajaib menuju sebuah jalur masuk rahasia ke dalam makam. Di sini kita melihat Lara bisa membaca dan berbicara bahasa Kamboja saat menemukan sebuah tulisan di makam. Kemudian setelah Lara dan penjahat berhasil merampok makam dan lolos dari perangkap makam, Lara kabur dengan menggunakan sampan dan kemudian ditolong oleh seorang biksu. Kita melihat biksu tersebut megangin antena saat Lara menelepon. Lalu ia ikut bermeditasi dan diberikan the yang menyembuhkan lukanya dengan cepat. Lokasi berikutnya di film pertama adalah Siberia. Lagi-lagi ada hantu anak perempuan yang memperingatkan Lara dan kita melihat Lara berbicara bahasa setempat dengan anak itu. Di lokasi ini, kita melihat dengan terang-terangan karakternya Noah Taylor menawarkan 'mucho US greenback' untuk membawa semua anjing-anjing penarik kereta.

Kemudian di film kedua, Lara dibantu pelaut dan penjarah makam lokal di Yunani dan ia menunjukkan superioritasnya dengan membawa data tentang arus laut yang mengantar mereka ke tempat yang benar. Kemudian di Cina, lagi-lagi ia diantar oleh angkatan udara Inggris ke sebuah lokasi dimana ia sudah mempunyai pembantu perempuan tua lokal, yang menyiapkan semua peralatan yang diperlukannya. Mereka berpelukan dengan hangat. Lalu ia kabur dari atas gedung tinggi dengan parasut khusus dari penyedia lokal, kemudian dengan bahasa Cina yang lancar, meminjam televisi dari sebuah keluarga lokal. Di sini lagi-lagi kita melihat seorang anak perempuan, yang permen karetnya dipinjam Lara untuk menempelkan kamera video. Mereka memandangi Lara dengan mulut ternganga. Di lokalitas terakhir 'Afrika', Lara juga sudah memiliki pembantu laki-laki lokal yang menyiapkan peralatannya dimana dia dengan dramatis mendarat dengan parasut langsung ke atas jip yang dikendarai pembantunya tersebut. Di sini terdapat pertemuan dengan suku lokal yang cara hidupnya masih tradisional dan memperingatkannya mengenai bahaya dari artefak yang dicarinya. Lalu Lara mengatakan bahwa ia hanya berusaha melindungi artefak tersebut dari orang jahat yang juga mencarinya. Ia langsung memenangkan simpati dan loyalitas beberapa laki-laki prajurit dari suku tersebut yang bersedia menemaninya sampai ke situs artefak, padahal suku tersebut sebelumnya tidak pernah berani ke sana. Mereka sempet ngetawain Lara saat berbicara bahasa lokal, katanya aksennya aneh. Kemudian saat penjahat datang beberapa prajurit tersebut mati dengan gagah berani, mengorbankan dirinya demi sang Lara Croft.

*tarik napas panjang*

I mean…. WOW!

Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, Lara Croft di film ini dengan latar belakang aristokrat kaya raya dari negara penjajah yang sangat kuat memiliki sumber daya yang diperlukan untuk menjarah makam apapun dengan sumber daya yang dimilikinya terekstensi hingga ke seluruh dunia. Ia tampaknya memiliki pembantu, teman dan benda-benda di lokasi manapun petualangan membawanya. Dan kita pun melihat bagaimana penduduk lokal melayani kebutuhannya dan memberikan loyalitasnya pada Lara. Dan penting untuk membuat tokoh penduduk lokal sebagai subyek-subyek 'innocent' seperti biksu, anak kecil, perempuan tua (yang diperlihatkan memiliki hubungan afektif dengan Lara), suku tradisional, yang seakan-akan memberikan loyalitasnya tanpa meminta pamrih, karena Lara adalah tokoh pahlawan yang menginsiprasi kekaguman mereka dan layak mendapatkan afeksi, terutama juga karena ia bersikap afektif terhadap mereka. Subyek-subyek yang 'innocent' ini ada bertujuan untuk menandai kemurnian penghambaan terhadap tokoh Lara yang karismatik dan suci. She is the ultimate superior and holy white saviour woman. Ia adalah sang wanita Barat yang lebih superior daripada subyek-subyek Other.

Lalu bagaimana dengan Lara baru versi Alicia Vikander? Adegan pertemuan Lara dengan penduduk lokal yang bisa kita saksikan di film adalah di sebuah pelabuhan di Hongkong. Tanpa didukung oleh uang dan kekuasaan milik keluarga aristokratnya dan kekuatan militer bangsa Inggris, film dengan realistis menampilkan Lara kesulitan di sana. Pertama, ia tak bisa bahasa lokal. Maksud gw, seberapa realistisnya sih Lara versi Jolie yang selalu bisa bahasa lokal? Lara versi Vikander, kebingungan nanya sana sini, mencari siapa yang bisa bahasa Inggris dan bisa membantunya. Kemudian, ketika ia menemukan bantuan, ternyata mereka malah mencopet ranselnya. Lara tak kehilangan kepahlawanannya di sini, ia mengejar pencopet itu dan dengan bekal seni bela diri tinju yang dimilikinya, ia berhasil mendapatkan kembali tas ranselnya. Namun kemudian para pencopet itu mengancam balik dirinya sehingga dia akhirnya diselamatkan oleh Lu Ren, si tokoh utama laki-laki. Lu Ren tidak bermaksud menyelamatkan Lara di sini, ia hanya berusaha mengusir mereka dari kapalnya. Para pencopet tersebut kabur karena Lu Ren memegang senapan, namun sebelum Lu Ren mengusir Lara juga, ia pingsan karena sedang mabuk. Lu Ren pun diberikan motivasinya sendiri untuk membantu Lara, yaitu untuk mencari ayahnya yang juga hilang bersama ayah Lara, dan juga uang dalam jumlah besar yang dijanjikan Lara.

Yup, adegan pendek tersebutlah yang sudah menginspirasi gw untuk membuat tulisan panjang ini. Di adegan tersebut Lara tidak diberikan privilege khusus. Respon penduduk lokal terhadap dirinya tidaklah selalu positif, mereka berusaha mengambil keuntungan darinya. Tidak ada loyalitas dan afeksi tanpa pamrih di sini. Lara pun tidaklah selalu superior. Ia hanya bisa bahasa Inggris dan ia canggung berada di lingkungan yang asing. Tidak seperti Jolie yang seakan bisa langsung beradaptasi dengan lingkungan lokal dimanapun dia berada sebagaimana ditampilkan dengan kebisaannya berbahasa, ikutan meditasi atau memakai baju tradisional setempat. Juga tidak ada subyek-subyek 'innocent' di sini, Lara berada di sebuah pelabuhan yang isinya adalah pelaut dan pencopet.

Bagaimana dengan Yamatai? Satu-satunya subyek lokal yang loyal pada Lara di sana adalah Lu Ren, mungkin karena naksir atau apa. Sebagai male lead dalam film ini memang seharusnya dia loyal pada Lara Croft. Sedangkan subyek-subyek lokal lainnya, yaitu para pelaut yang terdampar dan diperbudak oleh Vogel mengikuti Lu Ren karena mereka menghormati ayahnya yang katanya mengorbankan nyawanya untuk keselamatan mereka. Jadi tetap gw melihat film ini berhasil menghindari hubungan yang menggambarkan dominasi Lara dengan privilege kulit putih-nya terhadap 'the Other' dengan menggunakan perantara Lu Ren sebagai subyek lokal. Tampaknya pemilihan karakter male lead dengan etnis lokal ini memecahkan beberapa masalah sekaligus, yaitu keragaman dan penghalusan hubungan kekuasaan. Lagipula, mereka berusaha membebaskan diri mereka dengan membantu Lara mengalahkan penjahat, bukan karena penghambaan kepadanya.
Interaksi Lara dengan penduduk lokal yang tidak diwarnai dominasi juga sesuai dengan karakterisasi Lara dari awal sebagai pahlawan yang vulnerable, bercela dan seringkali inferior dibandingkan lawannya. Vulnerabilitas Lara juga tampak dalam interaksinya dengan inferioritasnya dalam berbahasa dan berada di tempat asing dikelilingi orang-orang asing, dimana cultural capital yang dimilikinya sebagai orang berkebangsaan Inggris tidaklah sedemikian berharga. Ia tidak berjalan di lokalitas asing dengan sikap seakan-akan ia berhak dan memiliki tempat tersebut sebagaimana mungkin Jolie terlihat. Singkatnya, ia tidaklah menguasai dunia.

Sebuah antitesis terhadap film terdahulu

Dari pemaparan beberapa tema di atas, tampak sepertinya film Tomb Raider yang baru ini berusaha menjauh dari elemen-elemen ideologis yang muncul di film terdahulu. Hampir di setiap tema, film Tomb Raider baru menampilkannya secara berkebalikan dari yang lama dari penampilan dan sifat Lara, pemilihan situs arkeologi dan interaksi Lara dengan subyek-subyek lokal. Film ini juga menjawab panggilan untuk lebih memiliki deretan pemain dengan etnisitas beragam.

Gw sungguh tidak menyangka akan nulis blog sepanjang ini mengenai film ini, akan tetapi gw selalu menemui hal-hal menarik saat berusaha menuliskan apa yang gw maksud dan terutama kesan gw terhadap adegan di pelabuhan Hongkong tersebut. Gw terkesan dengan bagaimana film ini menjawab panggilan untuk lebih beretika dalam aspek-aspek gender, hubungan antar etnis dan kenegaraan dalam membuat film. Jika Lara Croft versi Jolie di tahun 2001 dan 2003 adalah produk jamannya, maka sungguh membesarkan hati bahwa di jaman sekarang kita mendapatkan Lara Croft versi Alicia Vikander dan Roar Uthaug. Gw hanya berharap makin banyak orang yang memperhatikan hal ini. Saat ini dari beberapa review yang gw lihat belum ada yang memperhatikan bagaimana 'the Other' dicitrakan dalam film ini dalam hubungannya dengan Lara. Kalau ada yang nemu, tolong kasih tau gw ya (mestilah di luar sana ada tulisan yang lebih baik dari tulisan blog ini!).

Sebetulnya gw agak takut, karena kan katanya film ini adalah film origin, makanya Lara-nya masih bego. Gw sungguh berharap bahwa franchise Tomb Raider yang baru ini tidak bermaksud mencapai Lara Croft sebagaimana ditampilkan oleh Jolie di film terdahulu. Meskipun ini film origin dan Lara Croft masih berevolusi, gw berharap karakternya nanti akan makin badass tapi juga tetap mempertahankan etika yang diterapkan di film ini.
Dari segi estetika dan kenikmatan plot dan sebagainya sebetulnya sih film ini tidak luar biasa hebat, tapi film apapun dengan jagoan cewek pasti gw tonton. Dan sungguh, gw menikmati film Tomb Raider ini dengan cara yang khusus yang sudah gw ulas dalam tulisan panjang ini. Bagaimana menurut teman-teman?


[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Other_(philosophy)
[2] Ibid.
[3] https://www.hollywoodreporter.com/heat-vision/tomb-raider-fans-slam-criticism-alicia-vikanders-body-movie-1094440
[4] Ibid.
[5] http://www.latimes.com/entertainment/movies/la-et-mn-tomb-raider-review-20180314-story.html
[6] https://www.hollywoodreporter.com/heat-vision/tomb-raider-review-roundup-1094464
[7] https://en.wikipedia.org/wiki/Toxic_masculinity
[8] https://www.archaeologybulletin.org/articles/10.5334/bha.20102/
[9] Ibid.