Kalau ada yang bilang bahwa rendang itu dari Malaysia, orang
Indonesia pasti cepet untuk ngejawab bahwa rendang itu sebetulnya asalnya dari
Minangkabau yang letaknya di Indonesia. Nah sekarang bagaimana kalau penulis
terkenal asal Inggris yang bikin Harry Potter bilang bahwa mitologi Naga adalah
mitologi Indonesia?
Orang India cepat menjawab bahwa mitologi Naga adalah
mitologi India, tapi kemudian orang Indonesia cepat juga menjawab bahwa
mitologi Naga adalah juga mitologi Indonesia.
Persoalan naga ini belakangan kontroversial banget dan
sebetulnya tulisan saya di sini rada-rada kesiangan sih. Tapi nggak apa-apa lah
ya, namanya juga cuma blog pribadi, yang baca juga siapa.
Sebagai ringkasan,
jadi gini, trailer untuk film terbaru
dari Harry Potter universe yang berjudul Fantastic Beast: Crimes of Grindelwald mengungkap bahwa Nagini,
ular yang selama ini jadi sekutunya Voldemort adalah seorang cewek yang terkena
kutukan yang menyebabkan dia bisa berubah bentuk menjadi ular, tapi nantinya
lama kelamaan dia akan menjadi ular untuk selama-lamanya. Tokoh Nagini
dimainkan oleh seorang aktris Korea Selatan bernama Claudia Kim. Nah
pengungkapan ini mengundang banyak kritik dari para netizen di seluruh dunia.
Kritiknya antara lain:
- Kenapa ular yang menjadi peliharaan dan bawahan seorang tokoh pria jahat yang terobsesi dengan kemurnian ras penyihir dibikin menjadi seorang perempuan Asia. Itu rasis banget.
- Kalaupun emang gitu, Nagini itu kan bahasa Sansakerta, harusnya pun yang meranin bukan aktris dari Asia Timur, tapi Asia Selatan alias ras India. Itu kan rasis banget, nganggep semua orang Asia sama aja dan bisa dituker-tuker.
Belum cukup kontroversi kayak gitu, sang penulis JK Rowling
lebih jauh lagi membuat pernyataan bahwa Naga adalah mitologi Indonesia dan
Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa. Kontroversi yang ditimbulkan antara
lain:
- Naga itu asalnya dari India kaliii, gila ngasal banget bikin pernyataan Naga itu Indonesia
- Lalu orang Indonesia ngejawab, yah Naga kan meskipun emang asal-usulnya dari India tapi juga udah jadi bagian dari kebudayaan Indonesia selama ratusan tahun. Jadi JK Rowling ga salah dong bikin pernyataan gitu, kok dengki amat sih Indonesia disebut-sebut, sekali-sekali kita kek yang dapet perhatian.
- Iya terus tetep aja yang mainin perannya aktris Korea. Orang Korea kan bukan Indonesia
- Tapi bisa aja lah, orang Indonesia kan emang bervariasi, termasuk yang tampangnya kayak orang Asia Timur. Claudia Kim bisa aja kok dibilang tampangnya kayak orang Indonesia. Lagian sebelum dikasih ke dia, perannya tadinya udah jatuh ke aktris Indonesia yaitu Acha Septriasa, Cuma doski hamil jadi mundur dari peran itu.
Kontroversi yang cukup kompleks dan menarik untuk diurai.
Saya akan mulai dengan mengurai "peran" Indonesia di dalam drama ini.
Tanpa bermaksud menuduh apa-apa, menekankan bahwa Naga
adalah mitologi Indonesia adalah hal yang teramat menguntungkan bagi JKR.
Pertama, memang benar pembelaan netizen Indonesia bahwa Naga adalah juga
mitologi Indonesia. Tidak salah juga netizen Indonesia bereaksi memberikan
pembelaan karena beberapa pernyataan yang ada cukup ignorant dengan kenyataan
tersebut dengan mengatakan bahwa hal tersebut salah dan bahwa mitologi Naga
adalah dari India dan bukan dari Indonesia tanpa mengetahui bahwa Indonesia sudah
menyerap mitologi naga sejak ratusan tahun yang lalu. Kedua, keputusan casting
dapat dibela dengan menyatakan bahwa orang Indonesia sangat bervariasi dan
termasuk di dalamnya adalah orang-orang dengan tampang seperti Asia Timur dan
keturunan Asia Timur. Apakah ini maksud JKR ketika memasukan dalam tweetnya
bahwa Naga adalah mitologi Indonesia dan Indonesia terdiri dari ratusan suku
bangsa? Sehingga pemilihan casting aktris berwajah Asia Timur menjadi masuk
akal atau fine-fine aja untuk memainkan sebuah peran yang didasarkan pada
"mitologi Indonesia"?
Ada beberapa permasalahan dengan hal tersebut yaitu
"Indonesia" sebagai negara-bangsa yang baru dibentuk secara resmi di
tahun 1945 tidak tepat untuk mewakili kebudayaan etnis-etnis Nusantara. Dalam
hal ini mitologi Naga dari India diadopsi dan diasimilasi oleh etnis Jawa/Bali.
Motif perempuan ular bisa jadi ada di dalam mitologi-mitologi kebudayaan asli
Nusantara yang tidak diadaptasi dari kebudayaan India melalui Hinduisme. Akan
tetapi dalam kasus ini, nama Nagini secara spesifik diambil dari bahasa
Sansakerta yang diadopsi dan diserap dari India dan maka dari itu mitologi Naga
nusantara yang menjadi referensi semestinya adalah yang berasal dari India yang
secara spesifik ada pada kebudayaan Jawa/Bali?
Jadi bisakah seseorang dengan penampilan fisik khas Asia
Timur menjadi representasi kebudayaan Jawa/Bali? Kita hidup di masa dimana
negara-bangsa adalah norma yang dianggap patut dan seharusnya dan orang jaman
sekarang mengidentifikasikan diri dengan sangat lekat pada konsep
negara-bangsa. Dan demikian, etnis Tionghoa yang tinggal di nusantara masa kini
pun sudah mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia dan etnis-etnis asli
nusantara pun sudah menerima mereka sebagai sesama "Indonesia". Tapi
sudahkah Indonesia menjadi melting pot yang teramat dahsyat sehingga mitologi
khas Jawa/Bali dapat direpresentasikan oleh wajah Asia Timur? Dapat dimajukan
di sini contoh orang-orang beretnis Tionghoa yang diterima menjadi bagian dari
keluarga Keraton Yogyakarta dan adanya orang-orang beretnis tersebut yang
mengadopsi dan melestarikan budaya Jawa jauh lebih baik dari orang-orang
benar-benar berketurunan dan berwajah Jawa. "Orang Cina tapi Jawa
banget" itu memang ada di Indonesia.
Persoalannya di sini adalah, kalaupun Nagini dapat dianggap
representasi Jawa, ini adalah representasi yang hanya teramat seuprit saja dari
luasnya media Hollywood yang sudah didominasi kulit putih. Orang-orang Asia
Timur sedikit demi sedikit sudah mendapat representasi, maka adilkah jika setitik
kecil karakter yang (konon) dianggap berasal dari mitologi Jawa
direpresentasikan oleh orang Asia Timur? Tanyakan pada orang Indonesia manapun,
jika mereka dapat membuat satu tokoh pewayangan Jawa di film Harry Potter, maka
mereka pasti akan memilih aktris berwajah Jawa sebagai pemainnya. Race bending
mungkin menarik untuk dilakukan jika sudah ada puluhan representasi wajah Jawa
di film Hollywood namun ketika tidak ada satupun dan ini adalah representasi
pertama, maka mengapa tidak memilih aktris dengan tampilan fisik yang sesuai?
Sekarang kita masuk ke persoalan berikutnya yakni apakah
Nagini memang benar-benar merupakan representasi kebudayaan Jawa di luar klaim
JK Rowling sebagai penulis, dan di dalam penceritaan Fantastic Beast itu
sendiri. Menurut saya, meskipun JK Rowling mengklaim telah mengadopsi Naga dari
mitologi Indonesia, namun tokoh Nagini buatannya sama sekali tidak memiliki
karakteristik mitologi Naga dalam kebudayaan Jawa.
Pertama tokoh mitologi naga mana persisnya yang menjadi
dasar insipirasi bagi Nagini? Beberapa netizen Indonesia berspekulasi apakah
Dewi Nagagini ataukah Nyi Blorong yang menjadi inspirasi untuk Nagini. Keduanya
adalah merupakan perempuan yang bisa berubah menjadi ular.
Mitologi memiliki motif-motif umum yang serupa di seluruh
dunia, hanya ada versi-versi yang berbeda saja dimanapun di seluruh dunia.
Motif-motif ini dituliskan dalam katalog oleh ahli-ahli folklor. Contoh untuk
menggambarkan motif-motif ini misalnya, Indonesia memiliki versi Oedipus
tersendiri yaitu Kisah Tangkuban Perahu, Indonesia memiliki versi Cinderella
sendiri yaitu Bawang Merah Bawang Putih, Indonesia juga memiliki versi Beauty
and the Beast sendiri yaitu Lutung Kasarung. Motif perempuan ular juga
merupakan mitologi yang ada di seluruh dunia termasuk Jepang dan Korea,
darimana Claudia Kim berasal. Ada dua teori yang berusaha menjelaskan
terjadinya persamaan-persamaan motif ini yaitu monogenesis yang penjelasannnya
adalah sebuah motif ditemukan di satu tempat lalu disebarkan dan poligenesis
yaitu bahwa motif-motif yang serupa ini ditemukan sendiri-sendiri di
tempat-tempat yang berbeda (Danandjaja 56) . Versi paling
ekstrem dari monogenesis adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh mitologi
yang ada di dunia berasal dari India. Sementara poligenesis antara lain
dijelaskan dengan psikoanalisa yang mengatakan bahwa mite adalah perlambangan
dari kesadaran bersama yang terpendam dari manusia (collective unconscious)
maka dari itu muncul mite-mite yang serupa di seluruh dunia (Danandjaja 57,
59) .
Dalam hal ini cukup jelas bahwa mitologi Naga orang
Jawa/Bali datang dari India namun dalam proses adaptasinya muncul detail-detail
yang membedakannya dari versi India. Ini terjadi terhadap setiap mite dan
variannya. Tentu saja kisah Dayang Sumbi dan Sangkuriang memiliki kekhasan jika
dibandingkan dengan kisah Jocasta dan Oedipus. Maka untuk mengklaim bahwa
insipirasi datang dari versi tertentu dan bukan yang lain tentu detail yang
membedakan ini harus muncul. Apa yang membuat rendang menjadi rendang dan bukan
kari India?
Saya harus menunggu filmnya keluar dulu sih untuk
mendapatkan kisah lengkap Nagini, namun dari apa yang kita ketahui sementara
ini, tidak ada satupun elemen dari Nagini yang menunjukan ciri khas Jawa/Bali.
Dari tampilan saja ia tidak mengenakan mahkota yang merupakan tampilan spesifik
dan selalu ada dalam naga khas Indonesia. Lihat saja di ukiran-ukiran yang ada
di gamelan, ukiran di candi dan ilustrasi-ilustrasi tokoh naga di pewayangan
seperti Antaboga. Lihat juga ilustrasi-ilustrasi terhadap Dewi Nagagini dan Nyi
Blorong, keduanya selalu mengenakan mahkota. Dari segi cerita, kutukan
maledictus tidak sesuai dengan karakter Dewi Nagagini maupun Nyi Blorong.
Kutukan maledictus adalah kutukan yang menurun dari ibu ke anak perempuan, yang
menyebabkan anak perempuan tersebut dapat berubah menjadi binatang, dalam kasus
Nagini binatannya ular, namun nantinya ia akan berubah menjadi binatang
tersebut untuk selama-lamanya dan tidak dapat berubah menjadi manusia lagi.
Dewi Nagagini adalah perempuan yang bisa berubah menjadi ular jika marah besar,
sedangkan Nyi Blorong adalah panglimanya Nyi Roro Kidul, berbentuk setengah
perempuan, setengah ular, dapat berubah menjadi perempuan dan akan berubah
menjadi ular sepenuhnya di bulan purnama. Kisah Nagini tidak cocok sama sekali
dengan kisah Dewi Nagagini maupun Nyi Blorong.
Bisa aja sih saya yang kurang pengetahuan dan ternyata ada
tokoh perempuan ular Indonesia yang pas dengan Nagini namun yang jelas JK
Rowling sendiri tidak menyebut tokoh mitologi yang spesifik sebagai
inspirasinya. Ia hanya mengatakan adopsi nama yaitu Naga (yang sebetulnya
adalah bahasa Sansakerta) dan kemudian mengambil wajah "Asia" yaitu
Claudia Kim. Saya sempat berpikir mungkin ia tidak mau menyebut secara spesifik
karena takut dituduh cultural appropriation. Apa yang ia lakukan sekarang pun
sudah bisa banget membuat dia dituduh cultural appropriation, apalagi kalau ia
jelas-jelas menyebut tokoh "Nyi Blorong" misalnya. Saya ingin
berbicara sedikit soal cultural appropriation ini karena persoalan ini sering
menjadi subyek kontroversi. Kapan suatu karya masuk ke dalam ranah
"cultural appropriation" dan kapan suatu karya hanya
"diinspirasi" atau "diadopsi". Jika kita orang Jawa dan
memakai jeans dan t-shirt seperti orang Barat apakah kita melakukan cultural
appropriation? Jika orang Barat menciptakan desain fashion dengan kain sari
India, atau batik atau tenun ikat apakah itu cultural appropriation? Apakah
orang Jawa yang mengadopsi kebudayaan dan mitologi Hindu ratusan tahun lalu
melakukan cultural appropriation?
Satu hal yang selalu tertinggal dalam diskusi saat orang
membicarakan ini adalah power relations diantara pihak-pihak yang dituduh
melakukan atau terkena cultural appropriation dan seringkali juga keterlibatan
ekonomi kapitalis dalam hal ini. Apakah ada power imbalance yang signfikan
diantara keduanya? Ketika sebuah pihak yang jauh lebih powerful mengambil
elemen-elemen kebudayaan dari pihak yang jauh lebih lemah dan mengambil profit
atau benefit daripadanya, maka kemungkinan besar itu adalah cultural appropriation.
Dalam hal ini misalnya, orang-orang Jawa yang "mengambil" kebudayaan
India ratusan tahun yang lalu kemungkinan akan sulit untuk masuk ke kategori
cultural appropriation, karena pertama tidak ada power imbalance yang
signifikan diantara keduanya, yang satu tidak menguasai yang lainnya dan orang
Jawa tidak mengambil kebudayaan India untuk membuat profit bagi dirinya sendiri
atau komunitasnya.
Bagaimana dengan Rowling yang mengambil elemen-elemen
kebudayaan lain untuk memperkaya kisah franchise Harry Potter yang dimilikinya?
Saya rasa pembaca bisa mengambil kesimpulan sendiri dengan mempertimbangkan
betapa dominannya persebaran kebudayaan Eropa dan kulit putih dalam media dan
berapa banyak profit yang dapat diraup Rowling dari konsumsi media tersebut.
Baiklah, jadi apa yang semestinya dilakukan JKR? Apakah
kreativitas harus dibelenggu, dan bukankah dengan memasukan budaya-budaya lain
ke dalam franchise yang sudah begitu powerful pengaruhnya seperti Harry Potter
merupakan kesempatan untuk budaya-budaya lain itu memperoleh kehadiran di dalam
dunia mainstream dan menyebarkan pengaruhnya sendiri? Masalahnya begini,
representasi budaya lain yang ditulis oleh orang kulit putih dibandingan dengan
yang ditulis sendiri oleh pemilik budaya tersebut biasanya terasa bedanya.
Belakangan mulai muncul film mengenai orang Asia yang
ditulis orang Asia sendiri di media mainstream Hollywood. Sebagai penyuka
rom-com Hollywood saya sangat menikmati To All The Boys I've Loved Before dan
juga Crazy Rich Asians. Tak lama setelah saya menonton kedua film tersebut saya
menonton serial Iron Fist dan jujur terasa banget jumplangnya bagaimana orang
Asia ditulis di kedua media itu. Okay, mungkin perbandingannya agak nggak adil
ya, tapi poin saya di sini adalah sangat penting untuk mempertimbangkan
bagaimana orang Asia (atau orang apapun) ingin direpresentasikan di media.
Crazy Rich Asians menunjukkan bahwa ia ingin dunia tau bahwa orang Asia tidak
melulu orang miskin, ada juga orang yang kaya gila-gilaan, juga bahwa tidak
semua cowok Asia itu adalah kutu buku yang tidak seksi, ada juga cowok-cowok
Asia yang ganteng dan seksi, dan di saat yang sama juga film tersebut
menceritakan konflik kekeluargaan yang khas Asia.
Ini adalah sebuah bentuk kolaborasi, dimana pemilik power
menyediakan space bagi mereka yang less powerful untuk dapat hadir dan
membentuk narasi mereka sendiri. Ini adalah sharing of power dalam bentuk yang
lebih tulus. Saat orang kulit putih memasukan kebudayaan Other ke dalam
medianya namun tetap memegang power terhadap narasi, ini bukanlah sharing of
power yang tulus namun merupakan bentuk ko-optasi. Namun dengan kolaborasi
seperti contoh di atas, power terhadap narasi dibagi terhadap mereka yang
berhak.
Bayangkan misalnya seperti ini. Anggaplah JKR betul-betul
kepengen ada "naga dari Indonesia" di dalam cerita Harry Potter-nya
sebagai tokoh Nagini. Maka ia bisa berkolaborasi dengan seniman Indonesia yang
kompeten untuk menulis seperti apa Nagini kalau dia memang benar-benar tokoh
ular mistis dari Indonesia, apa latar belakang ceritanya, seperti apa
tampilannya dan apa yang mungkin akan dilakukannya? Saya ragu hasilnya akan
sama dengan Nagini yang sekarang ditampilkan oleh JKR.
That being said, saya malah jadi penasaran ingin membuktikan
seperti apa tokoh Nagini dalam film Fantastic Beast dan sejauh apa klaim
"keIndonesiaan"nya bertahan di dalam film :)
Works Cited
Danandjaja, James.
Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1994.