Sebagai fans berat
serial Game of Thrones, sebetulnya
sudah lama saya gatal soal kenapa kita orang Indonesia nggak bisa bikin cerita,
film dan serial televisi sebagus GoT. Dengan sejarah nusantara yang panjang,
dengan kerajaan-kerajaan kunonya, baik yang Hindu-Buddha maupun Islam, materi
yang kita punya pasti begitu banyaknya. Selain banyak, materi tersebut juga
unik karena pasti berbeda dengan sejarah orang Barat yang sudah banyak dieksploitasi
dalam karya-karya populer mereka. Game of
Thrones diinsipirasi oleh War of the
Roses, yaitu sejarah nyata kerajaan Inggris tentang dimulainya dinasti
Tudor . Maka semestinya kita juga bisa membuat cerita yang sama menariknya
dengan inspirasi dari sejarah kerajaan-kerajaan nusantara yang penuh intrik dan
drama, peperangan dan pengkhianatan. Salah satu yang paling populer misalnya
cerita tentang Ken Arok dan kisah naiknya ia menjadi Raja Singasari. Saya ingin
sekali melihat cerita-cerita ini dibuat lagi dengan nilai produksi yang tinggi.
Ketika ada film
tentang Sultan Agung di bioskop, saya cukup bersemangat. Selain yang main
adalah aktor Indonesia yang teramat ganteng, cerita tentang raja Jawa pun
terasa cukup dekat di hati saya. Belum lama Bapak saya meninggal dan dalam
kesedihan saya berusaha mendekatkan diri kembali dengan kebudayaan Jawa, dalam
usaha untuk memahami Bapak saya tersebut. Beliau tetap memiliki kepercayaan
kejawen, meskipun dalam kesehariannya dia sangat tidak Jawa. Di masa kuliah saya
mengambil satu kelas yang mengharuskan saya membaca tentang filosofi mendasar
yang tipikal bagi kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Beberapa tulisan yang
dapat menjelaskan ini mengambil kerajaan Jawa sebagai contoh. Salah satu yang
amat membantu saya memahami filosofi mendasar tersebut adalah esai klasik oleh
Benedict Anderson berjudul “The Idea of
Power in Javanese Culture” (Anderson 1990). Membaca esai
tersebut saya jadi menyadari betapa berbedanya konsepsi orang Jawa terhadap
dunia ini, khususnya tentang politik, serta bagaimana karakteristik Raja dan
cara ia berkuasa, serta apa artinya benda-benda pusaka yang biasanya
dikumpulkan oleh orang Jawa. Sewaktu Bapak saya meninggal, dan ada beberapa
benda pusaka yang harus diurus oleh anak-anaknya, saya memutuskan untuk membaca
kembali esai tersebut.
Soal benda pusaka
Bapak saya, itu adalah cerita untuk lain waktu, namun yang jelas esai Anderson
berbicara utamanya mengenai raja dan kekuasaannya. Sunggu relevan dengan film
Sultan Agung, yang menceritakan sang raja Jawa di jaman keemasan Kerajaan
Mataram. Maka ketika saya melangkah ke bioskop untuk menonton film ini, tentu
saya sudah berbekal sedikit pengetahuan dan ekspektasi yang barangkali sedikit
keterlaluan untuk diterapkan bagi film ini. Barangkali, penonton umum tidak
akan segalak saya dalam mengamati dan menikmati film ini. Mas-mas yang duduk di
samping saya, yang bisa ikut bernyanyi tembang Jawa saat ada di film,
sepertinya senang-senang saja (FYI, saya nggak bisa bahasa Jawa). Sementara
mata elang saya yang bersenjatakan esai Anderson menangkap momen-momen yang
menunjukkan ketidakselarasan tampilan di film dengan filosofi mendasar tentang
kekuasaan di Jawa.
Konsep Kekuasaan Jawa
Kekuasaan, dalam hal
ini yang disebut oleh orang Barat sebagai “power”
memiliki konsepsi yang sangat berbeda.
Power dalam pengertian Jawa lebih tepat disebut sebagai “kesaktian” atau
“wahyu” yang sifatnya material, mungkin seperti “the Force” dalam jagat Star
Wars. Ia bersifat material dan seringkali memiliki wadah (dan di sinilah
benda pusaka berperan). Kesaktian dapat diperoleh dengan mempraktikkan pertapaan;
menahan diri dari berbagai nafsu, melakukan semedi, menjauhkan diri dari
hal-hal yang sifatnya duniawi dan tidak boleh pamrih, atau melakukan segala
sesuatu untuk kepentingan diri sendiri. Sifat halus adalah hasil dari pertapaan
ini. Jika seseorang menunjukkan nafsunya, termasuk nafsu amarah, maka ia lemah.
Seorang raja Jawa
adalah orang yang memegang kesaktian tertinggi, maka dari itu sifat raja adalah
sifat terhalus, jauh lebih halus dari abdi-abdinya apalagi musuhnya. Cara ia
memerintah dan berkuasa pun sangat halus dan kehalusan ini yang membuat ia menjadi
powerful. Dalam kata-kata Anderson:
"The slightest
lifting of his finger should be able to set a chain of actions in motion. The
man of real Power does not have to raise his voice nor give overt orders. The
halusness of his command is the external expression of his authority" (Anderson
1990, 54).
Bukan hanya perintah, namun dalam menghadapi pertengkaran
dengan musuh pun, raja akan menunjukkan kesaktiannya dengan kehalusannya. Kita
dapat melihat ini dalam tarian-tarian wayang dalam adegan pertempuran antara
ksatria dengan raksasa. Ksatria akan berpose dengan anggun dan diam, tak
terganggu dengan gerak-gerik kasar raksasa, kemudian dia akan mengalahkan
raksasa dengan satu gerakan elegan yang tampak sama sekali tidak menguras tenaganya.
Maka demikian pula semestinya gerak-gerik sang raja Jawa dan orang-orang Jawa
pada umumnya di masa itu. Pembawaannya halus, bicaranya halus, sopan santun dan
merendah. Suami saya pun cerita bahwa ia pernah menyaksikan pertengkaran lalu
lintas di Jogja. Semakin bertengkar bahasa yang dipakai semakin halus; “njenengan” bukan “kowe” yang dipakai. Lalu apakah karakteristik ini termanifestasi di
film? Jawabannya adalah tidak.
Pengamatan Gerak
Tubuh dan Dialog dalam Film
Ada pengalaman yang menarik ketika saya menonton film Star Trek Beyond yang di dalamnya bermainlah
aktor Indonesia Joe Taslim.
Setelah Star Wars,
sekarang Star Trek. Apakah
hubungannya dua film tentang peperangan di luar angkasa dengan cerita seorang Raja
di Bumi tanah Jawa?
Saat nonton Star Trek
Beyond, saya tidak mengetahui bahwa Joe Taslim turut bermain di film itu
sebagai karakter Manas. Karakter Manas adalah karakter alien, sehingga aktor
pemainnya ditutupi dengan make up sehingga ketika Joe muncul, saya sama sekali
tidak tahu bahwa itu Joe. Namun ketika Manas menganggukan kepala sambal memejamkan
mata saat bersiap untuk bertempur, saya merasa agak tercolek sedikit dengan
gestur tersebut. Saya nggak tahu apa yang “salah” dengan gestur itu dan sampai
sekarang pun saya tidak dapat menjelaskannya. Yang jelas, begitu tahu itu Joe,
saya tiba-tiba memahami dan memaklumi gestur tersebut. Barangkali saya tidak
pernah melihat orang bule melakukan gestur seperti itu dan itu adalah gestur
khas orang Indonesia.
Lalu bagaimana dengan gestur karakter-karakter dalam film
Sultan Agung yang semestinya sangat Jawa? Ada beberapa yang saya perhatikan kurang
sesuai dengan ekspektasi.
Yang pertama, beberapa karakter (termasuk karakter Sultan)
menggunakan jari telunjuk untuk menunjuk, kemanapun, dan terutama ke orang. Ini
dianggap sangat tidak sopan bagi orang Jawa dan saya sungguh tidak dapat
membayangkan orang Jawa di masa itu akan pernah menggunakan telunjuknya untuk
menunjuk. Di masa kini pun di Jogja tempat saya tinggal atau di kota-kota lain
di Jawa jika kita meminta penunjuk arah kepada orang lokal, selain menerima petunjuk
arah utara, selatan, timur atau barat (yang akan membuat orang Jakarta sangat
frustrasi karena mengharapkan petunjuk kanan kiri), orang tersebut mungkin akan
menggunakan jempolnya untuk menunjuk. Demikian juga ketika mempersilakan. Orang
Jawa akan menggunakan jempolnya.
Ada seorang ahli politik yang menganalisa kepemimpinan Obama
dan mengatakan bahwa gaya kepemimpinan Obama ternyata sangat Jawa. Hipotesis
dia dimulai ketika memperhatikan cara Obama menggunakan jempolnya seperti orang
Jawa di dalam sebuah acara debat
(Fox 2013). Dan begitulah
pentingnya jari jempol vs telunjuk dalam gestur Jawa yang sayangnya tidak
diperhatikan dalam film ini.
Selain hal kecil seperti penggunaan jari telunjuk,
secara umum sifat kehalusan orang Jawa kurang diperhatikan di film ini. Banyak
adegan Sultan serta karakter-karakter lain mengeluarkan emosi kemarahan, suara
naik, membentak, bahkan menggebrak meja. Barangkali ini bagus untuk menampilkan
drama dalam film akan tetapi sebagai karakterisasi kurang tepat. Ditambah lagi
dalam hubungan kekuasaan antara Sultan dengan abdinya, ada dialog-dialog yang
kurang pantas diutarakan oleh seorang abdi. Seperti misalnya “Sultan harus
segera membuat keputusan” yang merupakan sebuah kalimat perintah langsung yang
sangat keras. Orang Jawa dikenal dengan bahasanya yang “muter-muter” karena ia
tidak akan menyampaikan maksudnya secara langsung agar maksud tersebut sampai
secara halus. Raja sendiri pun tidak akan membuat perintah langsung, akan
tetapi ia akan membuat perintah dalam Bahasa yang halus, tidak terkesan seperti
perintah, lebih seperti permintaan, namun bobot dari perintah dengan bahasa halus
tersebut janganlah diremehkan. Sesuai dengan karakteristik kesaktian dalam
budaya Jawa, perintah yang diutarakan dalam kehalusan justru memiliki kekuatan
yang lebih besar.
Namun, jika karakterisasi tepat dan semua karakter harus
berdialog dengan halus, tidakkah film akan terasa membosankan? Justru di
sinilah menurut saya tantangan bagi kreativitas dan kejagoan pembuat film dan
juga untuk aktor. Dan juga di sinilah kita bisa bermain dengan identitas dan
karakter unik dari budaya asli nusantara daripada bermain aman dengan
karakterisasi dan dialog populer. Salah satu pesona dari serial televisi Downton Abbey yang membuatnya sangat
disukai misalnya, adalah logat British
yang posh dan dialog-dialog dengan
kalimat Inggris yang njelimet, muter-muter dan penuh sopan santun seperti
di Inggris masa lalu. Dan itu pula yang membuat Pride and Prejudice karya Jane Austen diadaptasi berulang-ulang dan
ditonton (serta dibaca) berulang-ulang oleh para fansnya. Salah satu alasan mengapa
Mr. Darcy membuat cewek-cewek klepek-klepek
adalah karakternya yang stoic. Mengapa
seniman-seniman Indonesia tidak coba bereksperimen dengan bahasa Jawa kromo yang
asli nusantara dan karakter-karakter halus bak ksatria dalam wayang?
Tentang Lembayung dan
Representasi Perempuan
Membicarakan film Sultan Agung tentu harus membicarakan
tentang tokoh utama perempuannnya yang cukup mengambil porsi plot. Tokoh ini bernama
Lembayung yang tidak nongol di halaman sejarah tentang Sultan Agung dan memang
merupakan tokoh fiktif (Daryono 2018). Ceritanya Lembayung
yang jagoan silat adalah pacar Sri Sultan saat ia muda dan belum menjadi raja.
Saya memiliki pendapat personal mengenai cewek-cewek jagoan
yang sangat memengaruhi perasaan saya tentang tambahan plot Lembayung di film
ini.
Seperti semua gadis-gadis kecil di luar sana, saya selalu
ingin menjadi cewek jagoan. Toh saya tumbuh dengan serial
Wonder Woman dan
Xena Warrior
Princess. Jangan salah, sampai sekarang pun saya masih suka banget dengan cewek
jagoan dan saya akan nonton film apapun yang ada cewek jagoannya dan
saya sangat mendukung cewek-cewek yang suka dan mau jadi jagoan silat.
Tentu saja perempuan sebaiknya boleh memilih apa yang disukainya dan
perkembangan yang sangat bagus bahwa di masa sekarang perempuan bebas jika mau
melakukan aktivitas-aktivitas dan sifat yang bernuansa maskulin. Akan
tetapi saya belakangan menyadari betapa budaya dan/atau media kita sekarang
sangat memberi penghargaan tinggi terhadap hal-hal yang “berkode” maskulin dan
tidak menghargai hal-hal yang berkode feminin. Mengenai hal ini saya sempat
bahas di
postingan terdahulu yang merupakan review film
Tomb Raider. Tokoh perempuan baru dianggap menarik jika iya menampilkan
kekuatan bersifat maskulin; kuat secara fisik misalnya, bisa silat, berilmu
yang bukan ilmu kerumahtanggaan dan domestik, berani melawan dan sebagainya. Sifat-sifat
feminin dianggap kelemahan, misalnya lembut dalam berbicara,
nurturing, memakai rok, penurut dan
sebagainya. Tokoh dengan sifat feminin yang digambarkan positif biasanya dalam
bentuk ibu, dan semakin jarang sebagai perempuan muda yang menjadi pahlawan
utama dalam cerita atau
love interest
si pahlawan. Kalaupun ada tokoh feminin yang dianggap “kuat” maka biasanya ia
adalah tokoh feminin yang memanfaatkan seksualitasnya untuk mengontrol orang
lain.
Coba tanyakan pada fandom Game of Thrones, tokoh mana yang lebih mereka suka, Sansa Stark
atau Arya Stark? Pasti sebagian besar akan menjawab Arya, dan bahkan akan
mengatakan mereka benci Sansa. Sansa adalah gadis feminin, sedangkan Arya
adalah adiknya yang lebih berkode maskulin. Padahal di dalam cerita, Sansa
diceritakan dapat bertahan hidup sebagai prisoner
of war dengan soft power yang
dimilikinya, yaitu ketabahan, kebaikan hati dan kemampuannya untuk bersopan
santun, mengatakan hal-hal yang tepat di saat yang tepat. Jika salah bicara, maka
ia bisa saja mendapatkan hukuman dari penangkapnya. Namun tetap saja sebagian
besar penonton GoT membenci Sansa dan mengatakan Sansa adalah tokoh yang paling
tak berguna.
Kembali ke Sultan Agung, saya hanya bisa berspekulasi
mengenai penambahan tokoh Lembayung ke dalam cerita ini (karena ia fiksi).
Karena jujur, plot dengan Lembayung bagi saya sangat terasa ketidaksinambungannya
dengan sisa cerita, yaitu mengenai naiknya Sultan ke tahta dan kampanyenya
melawan VOC. Ini adalah alasan utama cerita film tidak terasa bulat bagi saya.
Apakah tokoh Lembayung ditambahkan karena film ingin
memiliki tokoh utama perempuan yang “kuat”?
Film Sultan Agung dibiayai oleh seorang perempuan (Mooryati
Soedibyo) yang mendapatkan kekayaannya dengan menjual kosmetik (Mustika Ratu) pada
perempuan. Maka apakah penambahan tokoh perempuan adalah untuk kepentingan
penonton perempuan?
Ada dua hal yang ironis jika ini memang benar. Pertama film ini
tidak lolos
Bechdel test. Bechdel tes adalah sebuah tes untuk menilai
representasi perempuan dalam karya fiksi dengan melihat apakah ada tokoh-tokoh
perempuan yang berbicara satu sama lain tentang hal selain laki-laki
(Wikipedia 2018). Tes ini mungkin
bukan tes yang paling akurat untuk menilai representasi perempuan dalam sebuah
karya akan tetapi yang menarik dari tes ini adalah betapa gampangnya hal yang
dimintanya, hanya dua atau lebih tokoh perempuan yang memiliki nama, saling
berbicara satu sama lain tentang hal selain laki-laki. Ada beberapa tokoh
perempuan dalam film ini dan tidak sekalipun kita melihat dialog diantara mereka.
Barangkali yang paling gawat adalah antara Gusti Ratu Banowati (ibu Sultan
Agung) dengan Gusti Ratu Tulung Ayu (ibu Pangeran Martopuro) ketika jelas ada
rivalitas diantara mereka untuk menaikan anak masing-masing ke tahta Mataram,
namun tak ada satupun dialog diantara mereka. Begitupun tokoh Lembayung dengan
Ratu Batang, kedua tokoh perempuan ini tidak berbicara satu sama lain,
melainkan Ratu Batang hanya mengintip Lembayung berbicara dengan suaminya
dengan curiga dan kesedihan. Apakah ini terjadi karena sebagian besar tim
pembuat film merupakan laki-laki?
Hal ironis kedua, sebetulnya tokoh Lembayung tidak perlu
ditambahkan, karena sudah ada tokoh-tokoh perempuan di dalam hidup Sultan. Apakah
pembuat film enggan mengeksplorasi tokoh-tokoh ini karena femininitas mereka? Lalu
kenapa pada akhirnya Lembayung mengubah keputusan Sultan dengan soft power of persuasion? Apakah
Lembayung harus jago silat dulu agar Sultan bisa jatuh cinta padanya sehingga
akhirnya baru mampu mempengaruhi keputusan-keputusannya? Ini tuduhan serius yang
tidak mau saya tuduhkan dengan serius, toh ini cuma spekulasi saya saja.
Salah satu period
drama yang saya tonton dalam rangka lebih memahami War of the Roses berjudul The
White Queen. Serial TV tersebut memiliki satu quote yaitu “men go to
battle, women wage war”. Peran perempuan dalam sejarah seringkali
dikecilkan karena barangkali sejarah ditulis oleh laki-laki. Padahal naik
turunnya raja tidak lepas dari peran ibunya dan siapa ratunya. Di dalam The White Queen dan sequelnya, The White Princess, naiknya Henry Tudor diceritakan
tidak lepas dari perjuangan sang ibu, Margaret deBeaufort dan menikahnya ia
dengan Elizabeth of York yang menyegel bersatunya keluarga Lancaster dengan
York menjadi dinasti Tudor. Begitupun jatuh bangunnya Edward IV dan Richard III
sebelum Henry Tudor, tidak lepas dari peran Elizabeth Woodville yang merupakan
isteri Edward IV.
Seperti Gusti Ratu Banowati dan Gusti Ratu Tulung Ayu, siapa
yang tahu langkah politik apa yang mereka lakukan untuk menaikkan anaknya ke
tahta? Lalu dukungan dan kesetiaan macam apa yang diberikan Kesultanan Cirebon
pada Sultan Agung karena Ratu Mataram berasal dari Kesultanan Cirebon? Apakah
perempuan-perempuan yang sedang kita bicarakan ini jago silat? Kayaknya tidak.
Apakah perempuan-perempuan yang kita bicarakan ini kuat? Pasti. Bayangkan jadi
seorang putri, harus menikah dengan laki-laki yang dijodohkan oleh keluarga untuk
alasan politik. Ketabahan dan kesetiaan ia dalam menghadapi nasib tersebut bisa
menentukan kejayaan atau kejatuhan politik seorang raja.
Renungan untuk Lain
Hari
Anyway, semua yang
saya omongkan di atas adalah renungan untuk lain hari. Saya hanya bisa berharap
apa yang saya tulis di sini ada manfaatnya untuk membantu menaikan nilai
karya-karya selanjutnya. Saya hanya seorang penikmat karya yang meminta terlalu
banyak, hehehe. Dalam hal ini, kedalaman pemahaman terhadap konteks budaya yang
ditampilkan dapat membantu menghasilkan visualisasi yang bukan hanya akurat
namun juga memiliki pesonanya sendiri. Pemahaman ini dapat dengan mudah didapat
dengan melakukan riset bacaan. Tulisan-tulisan yang dibuat oleh antropolog yang
telah melakukan riset bertahun-tahun mengenai topiknya bisa dapat sangat
membantu.
Atau, dalam kasus kerajaan Jawa, bayangkan, kita masih punya
kerajaan Jawa beneran di masa sekarang ini! Apabila pihak kerajaan berkenan,
barangkali riset pun bisa dilakukan di sana, dengan banyak ngobrol dengan
keluarga kerajaan, mengamati dan meniru gerak-geriknya dan mempelajari protokolnya.
Lalu mengenai representasi perempuan, saya akan sangat
senang sekali jika ada karya-karya yang dapat mengeksplorasi politik, atau apapun
dari sudut pandang perempuan. Tren di Barat saat ini adalah karya-karya yang
berpusat pada perempuan, seperti misalnya The
White Queen yang sudah saya sebut di atas dan juga Big Little Lies, atau re-make
beberapa franchise dengan mengganti karakternya menjadi perempuan seperti Ocean’s 8 atau Miss Sherlock. Ini sangat menyenangkan buat saya yang perempuan dan
akan lebih menyenangkan lagi kalau ada karya-karya Indonesia yang seperti ini.
Works Cited
Anderson, Benedict R. O'G. 1990. “The Idea of Power
in Javanese Culture.” Dalam Languange and Power, Exploring
Political Cultures in Indonesia, oleh Benedict R. O'G Anderson,
17-77. Ithaca: Cornell University Press.
Daryono, Iqbal Aji. 2018. Sultan Agung, Kebenaran
Sejarah vs 'Kebenaran Film'. 31 August. Diakses September 8, 2018.
https://hot.detik.com/premiere/4192003/sultan-agung-kebenaran-sejarah-vs-kebenaran-film.
Fox, Edward L. 2013. No drama, King Obama. 7
February. Diakses September 9, 2018.
https://aeon.co/essays/is-obama-the-first-javanese-president-of-the-us.
Wikipedia. 2018. Bechdel test. 29 August.
Diakses September 9, 2018. https://en.wikipedia.org/wiki/Bechdel_test.