Sunday, March 18, 2018

Tomb Raider (2018): Sebuah film beretika, produk jaman now yang membesarkan hati

Ketika gw memutuskan nonton film ini, gw ga ada niatan apapun untuk membuat sebuah postingan blog untuk mengulas filmnya. Akan tetapi ada beberapa hal yang amatlah menarik buat gw bahas, dan lagi-lagi, no surprise, tema bahasan gw berkaitan dengan poskolonialisme. Film yang tokoh utamanya adalah seorang aristokrat Inggris yang kerjanya merampok benda-benda arkeologi di makam kuno sepertinya memang bakal sulit lari dari topik favorit gw ini. Akan tetapi, kesan gw terhadap film Tomb Raider yang baru ini, surprisingly, positif. Gw melihat film ini ada usaha untuk tampil lebih politically correct dalam hal hubungan kekuasaan antara Lara Croft sebagai arkeolog kulit putih dengan lokasi makam jarahannya. Cukup kontras dengan dua film Lara Croft yang dibintangi Angelina Jolie di tahun 2001 dan 2003.

Beberapa ulasan yang gw baca memang memperhatikan betapa berbedanya Lara Croft versi Alicia Vikander dengan versi Jolie. Akan tetapi gw belum menemukan tulisan yang membahas implikasi dari perbedaan karakterisasi Lara yang baru ini  terhadap bagaimana hubungan dia dengan lokasi jarahannya. Atau justru sebaliknya, bagaimana ideologi film ini dalam memandang hubungan antara subyek berprivilege seperti Inggris dengan subyek-subyek yang lebih lemah mempengaruhi bagaimana Lara dikarakterisasikan di film ini. Atau mungkin keduanya? Lagi-lagi gw hanya bisa berspekulasi tentang maksud pembuat film.

Gw akan menggunakan istilah Barat vs The Other di dalam tulisan ini untuk mengacu pada dualitas antara subyek kulit putih yang ber-privilige tinggi dengan subyek-subyek lain dan dalam hal ini mengacu pada Lara dengan subyek target jarahannya. Penggunaan istilah 'the Other'[1] dalam studi antropologi, khususnya dalam Oriental Studies-nya Edward Said, adalah mengenai pertemuan antara 'Barat' dengan kebudayaan lain dengan hubungan yang sifatnya hegemonik, yaitu hubungan antara subyek dominan dengan yang didominasi. Subordinasi secara kultural terhadap 'the Other' (dalam hal ini penduduk asli dari lokasi-lokasi koloni) diperlukan agar dapat menjustifikasi pemanfaatan tenaga kerja, tanah dan sumber daya lain yang mereka miliki. Proses Othering yang terjadi di sini menghasilkan hubungan tidak seimbang antara subyek "Other' dengan penjajah yang menganggap diri mereka lebih superior secara kultural (peradaban) dan dengan demikian menjustifikasi kolonialisasi sebagai tindakan penyelamatan terhadap orang-orang tak beradab tersebut. Kolonialisasi tentu saja sudah berakhir namun hasil dari proses Othering secara kultural belum tentu sudah berhenti atau menghilang, dan kita bisa menyaksikan sisa-sisanya melalui Lara Croft..

Istilah 'the Other' ini juga digunakan Simone de Beauvoir untuk menjelaskan hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang diwarnai oleh dominasi privilege laki-laki[2]. Perempuan digambarkan sebagai 'the sexual Other' dalam hubungannya dengan laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai kondisi default, atau positif atau netral bagi spesies manusia, maka dengan demikian perempuan adalah 'the Other sex' atau 'the Second sex'. Dalam bahasa Inggris, kata untuk manusia dan manusia laki-laki adalah man, sedangkan kata untuk perempuan adalah woman, sebuah kata yang mengandung negasi dari kata man.

Penjelasan mengenai penggunaan istilah 'the Other' dalam hubungan antar jenis kelamin dan gender ini cukup relevan juga untuk membahas Lara Croft sebagai tokoh jagoan perempuan yang harus meniti dengan hati-hati garis antara maskulin dengan feminin untuk memuaskan konsumennya. Ini akan menjadi salah satu hal yang akan gw bahas terlebih dahulu karena begitu pentingnya topik ini bagi tokoh Lara Croft, dan juga mempengaruhi bagaimana ia berinteraksi dengan 'the Other' nantinya. Jadi untuk membahas apa yang gw maksud dengan film Tomb Raider mulai menampilkan hubungan antara Barat dengan the Other dengan lebih politically correct, gw akan mengeksplorasi tema demi tema yang dapat dikontraskan tampilannya di dalam film Tomb Raider versi Jolie dengan Tomb Raider versi Vikander yang baru ini.

Penampilan Fisik

Ini adalah satu hal yang paling banyak dibincangkan dan dibandingkan dalam film ini. Maka dari itu sebelum kita membahas tentang hubungan Lara Croft dengan the Other, menarik untuk membahas topik ini dengan bagaimana Lara sudah mengalami proses Othering-nya sendiri sebagai karakter perempuan, berhubungan dengan penjelasan De Beauvoir di atas.

Konon, waktu awalnya video game Tomb Raider dibuat, sulit untuk menampilkan dengan jelas bahwa karakter Lara Croft adalah perempuan dikarenakan keterbatasan tampilan dalam teknologi 32-bit untuk video game saat itu[3]. Pembuat video game memilih untuk memperbesar dada dan pinggul Lara sebagai penanda bahwa Lara adalah perempuan, karena rambut panjang sulit terlihat dalam gambar video game. Perhatikan di sini bahwa laki-laki dianggap sebagai kondisi default dari manusia (self) sehingga tanpa penanda bahwa ia adalah perempuan (the Other sex), ia akan dianggap sebagai laki-laki.

Namun pada akhirnya, bentuk tubuh Lara yang seperti itu membantu menjual video game-nya pada konsumen laki-laki heteroseksual dan jadilah dia dijual sebagai karakter seksi yang menyenangkan mata laki-laki heteroseksual, lalu Angelina Jolie harus menggunakan beha yang disumpal untuk mencapai ukuran dada yang diinginkan untuk Lara[4]. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk pinggul dan sepertinya dada yang besar dianggap cukup saat itu. Ditambah dengan wajah cantik dengan bibir tebal, penampilan fisik Jolie dianggap sebagai mewakili keseksian Lara.

Penampilan Vikander dalam versi baru Tomb Raider ini amat jelas berbeda dengan citra yang diinginkan dalam Lara versi Jolie. Perbedaan penampilan ini adalah salah satu elemen yang paling banyak dibicarakan dalam ulasan film baru tersebut. Tidak ada lagi lekuk tubuh dan bibir tebal dan ekspresi-ekspresi sensual Lara di film yang baru ini. Tubuh Vikander kekar, tanpa pinggul dan dada besar yang feminin. Lalu wajahnya meskipun cantik tidaklah luar biasa sensual seperti Jolie. Pemilihan aktris dengan tubuh yang bisa dibilang cukup maskulin ini seakan-akan disengaja untuk menolak Othering yang terjadi di masa video game pertama dan di masa Jolie dan menantang obyektifikasi Lara oleh the male gaze, atau lebih mudahnya menghilangkan “ogle factor"[5] dalam karakter Lara. Katanya sih, perubahan ini sudah terjadi dalam versi reboot video game-nya di tahun 2013. Sayangnya pengetahuan gw soal video game ini sangat terbatas, hanya dari yang dibaca sekelewatan saja di berbagai sumber. Maka analisis terhadap isi, karakter-karakter, plot dan sebagainya untuk tulisan ini hanya terbatas pada film saja.

Kekuasaan maskulin dalam aksi dan kekerasan

Di atas sudah dibahas bagaimana tubuh Lara harus diberikan penanda-penanda sebagai tubuh perempuan untuk membedakannya dari laki-laki dalam Lara versi Jolie. Sehingga secara eksternal, bisa dibilang Lara diberikan pengkodean feminin. Akan tetapi, secara internal, atau secara sifat emosional, Lara versi Jolie diberikan pengkodean yang sangat maskulin. Ini bisa terlihat saat Lara terlibat dalam baku hantam dan tembak atau saat dia harus terlibat dalam aksi untuk survival-nya saat menjarah makam. Lara versi Jolie adalah perempuan seksi dengan aura maha jago. Ia tampil dengan penuh kuasa saat berantem dan berakrobat, tak sekalipun menampilkan emosi takut atau lemah dan dia selalu tau apa yang harus dilakukannya dan tak segan memberikan senyum bangga saat berhasil mengalahkan lawan dengan kejagoannya. Ini semua terlihat dalam raut wajah yang dibawakan Jolie, wajah penuh determinasi, wajah sombong dan tak sekalipun wajah ketakutan. Ia penuh dengan kekuasaan maskulin tanpa cela. Siapa yang bisa lupa adegan Jolie melukai lengannya, mengeluarkan darah agar hiu datang, lalu ia menonjok hiu tersebut, biar bisa numpang sampai ke permukaan laut? Juga bagaimana ia mendominasi tokoh laki-laki utamanya dengan menunjukkan kepintarannya membuka teka-teki makam secara benar ketika tokoh Daniel Craig menebak dengan salah, atau bagaimana ia mendominasi tokoh Gerard Butler dengan membubarkan ide-ide Butler tentang cara sampai ke markas Shay Ling dan menggunakan caranya sendiri (padahal ia dengan khusus membebaskan Butler dari penjara untuk memanfaatkan pengetahuan Butler mengenai Shay Ling).

Lara versi Vikander tidak seperti itu dan ia tak kurang pujian dari para kritikus yang menyatakan bahwa akting Vikander adalah bagian paling bagus dari film ini[6]. Lara di film ini sangat realistis dan relatable. Meskipun memiliki bekal fisik yang kuat dan seni bela diri dan kecerdikan, tak serta merta itu membuat ia menjadi maha kuasa. Faktor keberuntungan terlihat sangat bermain di dalam survival-nya, dan tak kalah penting juga bantuan dan pengorbanan orang lain.  Ia berhasil kabur dari tangkapan Vogel karena bantuan dan pengorbanan Lu Ren. Ia tidakklah kebal, perutnya tertusuk besi tajam saat berusaha menyelamatkan diri, dan seseorang kemudian harus merawat luka tusuknya. Sebuah luka yang secara serius mengancam keselamatannya, bandingkan dengan luka nggak penting di lengan Jolie yang disembuhkan dengan teh ajaib dari biksu Kamboja. Kemudian pada adegan saat Vikander hampir jatuh di air terjun, ia selamat karena untungnya menemukan sebuah parasut, meskipun tentu ia harus cukup cerdik untuk menggunakan parasut tersebut dan harus punya kekuatan tubuh yang cukup untuk bergelantungan. Kepintarannya dalam menjawab teka-teki sama sekali tidak ditampilkan untuk mengangkat superioritasnya terhadap karakter lain. Kita melihat Lara pintar bermain puzzle ala Jepang karena sudah diperkenalkan sejak kecil oleh ayahnya. Kemudian ketika di dalam makam ia harus mejawab teka-teki sambil panik karena hidup mereka terancam jebakan makam. Dan penonton pun tidak ditutup dari proses berpikir Lara karena proses berpikir tersebut dinarasikan. Sama sekali berbeda dengan pemecahan teka-teki ala Jolie dengan faktor dramatis dan wow serta wajah smug.

Dan tentunya, adegan saat ia harus membunuh orang untuk survive adalah adegan yang emosional dan dibawakan dengan brilian oleh Vikander. Emosi Lara sepanjang film juga adalah emosi dan ekspresi yang tulus, ia ketakutan, kebingungan, dan hanya panik berusaha menyelamatkan hidupnya.

Emosi-emosi yang ditampilkan oleh Lara versi Vikander dianggap sebuah kelemahan dalam budaya maskulin dan tentunya tak boleh muncul dalam karakterisasi yang berkode maskulin seperti Lara-nya Jolie. Budaya yang seperti ini disebut sebagai "toxic masculinity", yang mencakup sifat dominasi, devaluasi perempuan, kemandirian yang ekstrim dan surpresi emosi[7]. Selain devaluasi perempuan, sifat-sifat yang disebut barusan ada pada Lara Croft yang dibawakan Jolie. Di sisi lain, Vikander membawakan karakter Lara yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat toxic masculinity tersebut. Dengan demikian, film Tomb Raider yang baru ini mensubversi dua hal dari karakter Lara Croft dari film sebelumnya, yaitu membalik pengkodean eksternal dari feminin menjadi maskulin, dan pengkodean internal dari maskulin menjadi feminin, seakan-akan menantang seluruh pemikiran ideologis yang mendasari penciptaan karakter Lara Croft.

Pemeran utama laki-laki dan pemeran-pemeran lain

Sekarang mari kita bandingkan pemeran utama laki-laki yang bertugas menemani Lara dalam petualangannya. Di film Jolie pertama kita dapat Daniel Craig, seorang pria kulit putih, di film Jolie kedua kita dapat Gerard Butler, seorang pria kulit putih juga. Di film Vikander, kita dapatkan Daniel Wu, seorang laki-laki Cina. Ya mungkin pemilihan karakter dan aktor Cina ini adalah bagian dari usaha memasarkan film ini di Cina, akan tetapi tentu saja ada implikasi terhadap keanekaragaman etnisitas dalam deretan pemeran film dan bagaimana karakter-karakter saling terhubung dalam film. Di film ini kita bisa melihat bagaimana seorang karakter beretnis lokal yang Lara temui di situs lokal diberikan peran yang penting dan berdaya, memiliki agency dan dapat mempengaruhi plot.

Dan umm… tidakkah Daniel Wu cukup ganteng? Lebih ganteng malah daripada Craig dan Butler. Atau seperti kata temen gw: Daniel (g)Wu-anteng. Gw bisa memahami sih bagaimana film ini agak semacam menuju ke arah membuat Lu Ren sebagai love interest, tetapi tidak dipastikan di akhir film. Karena mungkin membuat Lara dan Lu Ren mengekspresikan ketertarikan secara eksplisit setelah Lara keluar dari makam yang hancur akan membuat film ini beresiko dianggap terlalu klise dan cheesy. Karena God forbid seorang tokoh jagoan cewek mempunyai love interest tanpa ia dianggap jadi lemah dan orang-orang berteriak "ia tak butuh cowok untuk menjadi karakter cewek yang menarik", sebuah ide yang entah bagaimana jadi membuat jagoan cewek diatribusikan sifat toxic masculinity, yang by the way, ditampilkan oleh plotnya Jolie dengan Craig dan Butler (Jolie annihilated these two men in the movies).

In any case, film ini tidak membubarkan ide Lara Croft x Lu Ren sama sekali, it still probably can happen off screen or whatever.

Lalu bagaimana dengan peran-peran lain? Di film Jolie yang pertama peran-peran penting semuanya adalah laki-laki kulit putih. Yup. Tak satupun perempuan. Satu-satunya perempuan dewasa yang terlihat di film ini adalah Jolie. Laki-laki kulit hitam ada dengan peran sebagai kurir dan tukang pukul. Di film yang kedua ada seorang perempuan tua yang muncul sebentar dan seorang Afrika berkulit hitam. Keduanya adalah pembantu Lara di dua lokalitas yang berbeda. Juga ada sekumpulan antek-antek penjahat yang beretnis Cina, namun peran mereka hanyalah antek-antek penjahat yang dengan mudah bisa digantikan dengan etnis apapun. Di film Vikander, selain Lu Ren sebagai laki-laki Cina, ada Kristin Scott Thomas yang punya peran cukup penting meskipun screetime beliau di film ini masih sedikit. Jadi bisa disimpulkan dari soal keanekaragaman dan kepentingan peran, Tomb Raider yang baru meskipun belum maksimal, sudah mulai mengakomodasi keseimbangan.

Keterikatan karakter Lara Croft terhadap identitas kelas sosial-ekonomi dan kebangsaan

Di kedua film Jolie, Lara seringkali dipanggil dengan sebutan 'Lady Croft', ia tinggal di istana warisan keluarganya, dan memiliki semua sumber daya yang diperlukan untuk menjarah makam dimanapun. Ditambah lagi, ia punya hubungan baik dengan militer Inggris dan dapat meminta bantuan mereka saat diperlukan. MI6 pun meminta bantuan Lady Croft saat terjadi krisis yang ada hubungannya dengan artefak arkeologi. Lara Croft versi Jolie didukung sepenuhnya oleh privilege dari kelas sosial-ekonomi yang dimilikinya dan kebangsaannya dalam bertualang. Privilege ini terekstensi hingga ke seluruh dunia, karena tentunya memang privilege orang kulit putih berkebangsaan Inggris seluas itu tampaknya. Lara memiliki sumber daya di setiap target situs arkeologi yang ditujunya, baik itu Kamboja, Siberia, Yunani, Cina dan 'Afrika' (sungguh, film tidak menyebut negara tujuan Lara di Afrika, dan menyebut dengan santai 'Afrika' sebagai lokasi the Cradle of Life').

Lagi-lagi, Lara versi Vikander memilih jalan yang kontras dengan ini. Ia terdisintegrasi dengan identitas aristokratiknya bersama dengan kekayaannya dan identitas kebangsaannya tidak terlalu terpamerkan di sini. Ia memilih untuk mencari penghidupan sendiri sebagai kurir sepeda karena ia menolak mengakui bahwa ayahnya sudah meninggal. Ketika masuk ke gedung perusahaannya sendiri dan dikira kurir oleh resepsionis, ia tidak langsung mengkoreksi si resepsionis sampai di saat terakhir ketika ia diminta mendaftarkan namanya. Kita masih mendapatkan sedikit-sedikit gambar dimana Lara tumbuh sebagai anak perempuan aristokrat Inggris yang kaya raya, namun film masih membuat Lara harus bertualang dengan sumber daya terbatas. Ia harus menggadaikan sebuah kalung dan dengan uang terbatas itulah ia pergi ke situs arkeologi tujuannya, dan ini adalah poin yang sangat penting yang meredefinisi hubungan Lara Croft dengan 'the Other' di film ini.

Selain itu, juga sangat penting, dalam film ini juga Lara tidak pergi kuliah dan lulus sebagai seorang arkeolog. Arkeologi dengan samaran sebagai sebuah ilmu pengetahuan (sains) yang bersifat ‘netral’ atau ‘murni’ seringkali digunakan menjadi alat dominasi pengetahuan, budaya, politik dan sosial-ekonomi oleh dunia Barat terhadap the Other[8]. Dan tentu saja kita melihat bagaimana Lara Croft versi sebelum ini memperoleh legitimasi untuk menjarah makam-makam di seluruh dunia di bawah payung kepentingan ilmu arkeologi. Arkeologi sendiri di awalnya adalah sebuah disiplin ilmu kolonial (dan ilmu apakah yang juga merupakan disiplin ilmu kolonial? antropologi. uwu), digunakan untuk menjustifikasi kehadiran orang-orang Barat di berbagai lokalitas karena misinya untuk menyelidiki asal-usul peradaban serta sebagai ilmu yang membantu membentuk pengetahuan Barat terhadap ‘the Other’ dengan menginvestigasi dan mengelompokan mereka melalui penyelidikan artefak[9]. Ini lagi-lagi menjadi poin penting dari pertimbangan pembuat film (barangkali), terhadap perubahan karakterisasi dan cerita Lara Croft di film ini.

Lokasi situs arkeologi

Kita sudah semakin dekat ke tema sentral dari tulisan ini yaitu hubungan Lara Croft dengan 'the Other', namun sebelum sampai ke sana, penting untuk membahas perbedaan subyek 'the Other' sebagaimana ditampilkan dalam kedua film Jolie dan film Vikander, sebab ada perbedaan yang cukup penting. Lokasi situs arkeologi di film-film Jolie adalah Kamboja, Siberia, Yunani, Cina dan Afrika. Kesemuanya adalah situs-situs 'eksotis' yang memiliki penduduk lokal dan kita bisa melihat interaksi tokoh-tokoh penjahat dan Lara sendiri dengan penduduk lokal tersebut yang akan gw bahas di bagian berikutnya.

Untuk film Vikander, mitologi arkeologi yang menjadi bahan adalah ceritanya dari Jepang, yang bisa dbilang 'Oriental' sih, akan tetapi film meminimalisasi wacana Orientalisme dengan meletakan makam di sebuah pulau tak berpenghuni Yamatai. Di Yamatai, memang ada subyek-subyek Orient yang menjadi budak untuk si penjahat, namun mereka adalah pelaut-pelaut yang terdampar di sana. Mereka tersubordinasi bukan karena mereka adalah penduduk lokal yang memiliki kekuatan ekonomi politik lebih lemah, namun karena nasib buruk mendamparkan mereka di sebuah pulau yang dikuasai si penjahat. Their power was stripped through natural disaster not through political economic subjugation.

Pilihan Jepang sebagai dasar mitologis juga menurut gw cukup membantu meminimalisasi wacana hubungan kekuasaan, karena, well, Jepang dulu adalah juga bangsa penjajah bukan? Dan kekuatan ekonomi politik mereka sekarang sebagai sebuah bangsa juga cukup kuat. Gw tidak bisa membayangkan misalnya seorang penjahat kulit putih akan bisa dengan mudahnya menjarah makam di Jepang dan menyewa tenaga lokal untuk membantunya menjarah makam sebagaimana yang dilakukan Iain Glen di Kamboja misalnya. Meletakan makam di pulau tak berpenghuni yang aksesnya berbahaya berarti juga memindahkan situs arkeologi jauh dari jangkauan kekuasan negara Jepang. Akses menuju pulau ini pun melalui Hongkong, dan di sini lah Lara memiliki interaksi dengan penduduk lokal yang akan dibahas di bagian berikut.

Lara dan pertemuan dengan the Other

Baiklah, seluruh bahasan panjang-panjang di atas adalah pengantar menuju bagian ini. Sekarang kita akan membandingkan pertemuan Lara dengan the Other di film-film tersebut. Di film Lara Croft pertama, kita melihat Jolie di Kamboja, diturunkan dalam mobil jipnya oleh angkatan udara Inggris. Kita melihat si penjahat menggunakan tenaga-tenaga orang lokal untuk membobol pintu makam. Kemudian, Lara dituntun oleh hantu anak perempuan dan tanaman bunga melati ajaib menuju sebuah jalur masuk rahasia ke dalam makam. Di sini kita melihat Lara bisa membaca dan berbicara bahasa Kamboja saat menemukan sebuah tulisan di makam. Kemudian setelah Lara dan penjahat berhasil merampok makam dan lolos dari perangkap makam, Lara kabur dengan menggunakan sampan dan kemudian ditolong oleh seorang biksu. Kita melihat biksu tersebut megangin antena saat Lara menelepon. Lalu ia ikut bermeditasi dan diberikan the yang menyembuhkan lukanya dengan cepat. Lokasi berikutnya di film pertama adalah Siberia. Lagi-lagi ada hantu anak perempuan yang memperingatkan Lara dan kita melihat Lara berbicara bahasa setempat dengan anak itu. Di lokasi ini, kita melihat dengan terang-terangan karakternya Noah Taylor menawarkan 'mucho US greenback' untuk membawa semua anjing-anjing penarik kereta.

Kemudian di film kedua, Lara dibantu pelaut dan penjarah makam lokal di Yunani dan ia menunjukkan superioritasnya dengan membawa data tentang arus laut yang mengantar mereka ke tempat yang benar. Kemudian di Cina, lagi-lagi ia diantar oleh angkatan udara Inggris ke sebuah lokasi dimana ia sudah mempunyai pembantu perempuan tua lokal, yang menyiapkan semua peralatan yang diperlukannya. Mereka berpelukan dengan hangat. Lalu ia kabur dari atas gedung tinggi dengan parasut khusus dari penyedia lokal, kemudian dengan bahasa Cina yang lancar, meminjam televisi dari sebuah keluarga lokal. Di sini lagi-lagi kita melihat seorang anak perempuan, yang permen karetnya dipinjam Lara untuk menempelkan kamera video. Mereka memandangi Lara dengan mulut ternganga. Di lokalitas terakhir 'Afrika', Lara juga sudah memiliki pembantu laki-laki lokal yang menyiapkan peralatannya dimana dia dengan dramatis mendarat dengan parasut langsung ke atas jip yang dikendarai pembantunya tersebut. Di sini terdapat pertemuan dengan suku lokal yang cara hidupnya masih tradisional dan memperingatkannya mengenai bahaya dari artefak yang dicarinya. Lalu Lara mengatakan bahwa ia hanya berusaha melindungi artefak tersebut dari orang jahat yang juga mencarinya. Ia langsung memenangkan simpati dan loyalitas beberapa laki-laki prajurit dari suku tersebut yang bersedia menemaninya sampai ke situs artefak, padahal suku tersebut sebelumnya tidak pernah berani ke sana. Mereka sempet ngetawain Lara saat berbicara bahasa lokal, katanya aksennya aneh. Kemudian saat penjahat datang beberapa prajurit tersebut mati dengan gagah berani, mengorbankan dirinya demi sang Lara Croft.

*tarik napas panjang*

I mean…. WOW!

Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, Lara Croft di film ini dengan latar belakang aristokrat kaya raya dari negara penjajah yang sangat kuat memiliki sumber daya yang diperlukan untuk menjarah makam apapun dengan sumber daya yang dimilikinya terekstensi hingga ke seluruh dunia. Ia tampaknya memiliki pembantu, teman dan benda-benda di lokasi manapun petualangan membawanya. Dan kita pun melihat bagaimana penduduk lokal melayani kebutuhannya dan memberikan loyalitasnya pada Lara. Dan penting untuk membuat tokoh penduduk lokal sebagai subyek-subyek 'innocent' seperti biksu, anak kecil, perempuan tua (yang diperlihatkan memiliki hubungan afektif dengan Lara), suku tradisional, yang seakan-akan memberikan loyalitasnya tanpa meminta pamrih, karena Lara adalah tokoh pahlawan yang menginsiprasi kekaguman mereka dan layak mendapatkan afeksi, terutama juga karena ia bersikap afektif terhadap mereka. Subyek-subyek yang 'innocent' ini ada bertujuan untuk menandai kemurnian penghambaan terhadap tokoh Lara yang karismatik dan suci. She is the ultimate superior and holy white saviour woman. Ia adalah sang wanita Barat yang lebih superior daripada subyek-subyek Other.

Lalu bagaimana dengan Lara baru versi Alicia Vikander? Adegan pertemuan Lara dengan penduduk lokal yang bisa kita saksikan di film adalah di sebuah pelabuhan di Hongkong. Tanpa didukung oleh uang dan kekuasaan milik keluarga aristokratnya dan kekuatan militer bangsa Inggris, film dengan realistis menampilkan Lara kesulitan di sana. Pertama, ia tak bisa bahasa lokal. Maksud gw, seberapa realistisnya sih Lara versi Jolie yang selalu bisa bahasa lokal? Lara versi Vikander, kebingungan nanya sana sini, mencari siapa yang bisa bahasa Inggris dan bisa membantunya. Kemudian, ketika ia menemukan bantuan, ternyata mereka malah mencopet ranselnya. Lara tak kehilangan kepahlawanannya di sini, ia mengejar pencopet itu dan dengan bekal seni bela diri tinju yang dimilikinya, ia berhasil mendapatkan kembali tas ranselnya. Namun kemudian para pencopet itu mengancam balik dirinya sehingga dia akhirnya diselamatkan oleh Lu Ren, si tokoh utama laki-laki. Lu Ren tidak bermaksud menyelamatkan Lara di sini, ia hanya berusaha mengusir mereka dari kapalnya. Para pencopet tersebut kabur karena Lu Ren memegang senapan, namun sebelum Lu Ren mengusir Lara juga, ia pingsan karena sedang mabuk. Lu Ren pun diberikan motivasinya sendiri untuk membantu Lara, yaitu untuk mencari ayahnya yang juga hilang bersama ayah Lara, dan juga uang dalam jumlah besar yang dijanjikan Lara.

Yup, adegan pendek tersebutlah yang sudah menginspirasi gw untuk membuat tulisan panjang ini. Di adegan tersebut Lara tidak diberikan privilege khusus. Respon penduduk lokal terhadap dirinya tidaklah selalu positif, mereka berusaha mengambil keuntungan darinya. Tidak ada loyalitas dan afeksi tanpa pamrih di sini. Lara pun tidaklah selalu superior. Ia hanya bisa bahasa Inggris dan ia canggung berada di lingkungan yang asing. Tidak seperti Jolie yang seakan bisa langsung beradaptasi dengan lingkungan lokal dimanapun dia berada sebagaimana ditampilkan dengan kebisaannya berbahasa, ikutan meditasi atau memakai baju tradisional setempat. Juga tidak ada subyek-subyek 'innocent' di sini, Lara berada di sebuah pelabuhan yang isinya adalah pelaut dan pencopet.

Bagaimana dengan Yamatai? Satu-satunya subyek lokal yang loyal pada Lara di sana adalah Lu Ren, mungkin karena naksir atau apa. Sebagai male lead dalam film ini memang seharusnya dia loyal pada Lara Croft. Sedangkan subyek-subyek lokal lainnya, yaitu para pelaut yang terdampar dan diperbudak oleh Vogel mengikuti Lu Ren karena mereka menghormati ayahnya yang katanya mengorbankan nyawanya untuk keselamatan mereka. Jadi tetap gw melihat film ini berhasil menghindari hubungan yang menggambarkan dominasi Lara dengan privilege kulit putih-nya terhadap 'the Other' dengan menggunakan perantara Lu Ren sebagai subyek lokal. Tampaknya pemilihan karakter male lead dengan etnis lokal ini memecahkan beberapa masalah sekaligus, yaitu keragaman dan penghalusan hubungan kekuasaan. Lagipula, mereka berusaha membebaskan diri mereka dengan membantu Lara mengalahkan penjahat, bukan karena penghambaan kepadanya.
Interaksi Lara dengan penduduk lokal yang tidak diwarnai dominasi juga sesuai dengan karakterisasi Lara dari awal sebagai pahlawan yang vulnerable, bercela dan seringkali inferior dibandingkan lawannya. Vulnerabilitas Lara juga tampak dalam interaksinya dengan inferioritasnya dalam berbahasa dan berada di tempat asing dikelilingi orang-orang asing, dimana cultural capital yang dimilikinya sebagai orang berkebangsaan Inggris tidaklah sedemikian berharga. Ia tidak berjalan di lokalitas asing dengan sikap seakan-akan ia berhak dan memiliki tempat tersebut sebagaimana mungkin Jolie terlihat. Singkatnya, ia tidaklah menguasai dunia.

Sebuah antitesis terhadap film terdahulu

Dari pemaparan beberapa tema di atas, tampak sepertinya film Tomb Raider yang baru ini berusaha menjauh dari elemen-elemen ideologis yang muncul di film terdahulu. Hampir di setiap tema, film Tomb Raider baru menampilkannya secara berkebalikan dari yang lama dari penampilan dan sifat Lara, pemilihan situs arkeologi dan interaksi Lara dengan subyek-subyek lokal. Film ini juga menjawab panggilan untuk lebih memiliki deretan pemain dengan etnisitas beragam.

Gw sungguh tidak menyangka akan nulis blog sepanjang ini mengenai film ini, akan tetapi gw selalu menemui hal-hal menarik saat berusaha menuliskan apa yang gw maksud dan terutama kesan gw terhadap adegan di pelabuhan Hongkong tersebut. Gw terkesan dengan bagaimana film ini menjawab panggilan untuk lebih beretika dalam aspek-aspek gender, hubungan antar etnis dan kenegaraan dalam membuat film. Jika Lara Croft versi Jolie di tahun 2001 dan 2003 adalah produk jamannya, maka sungguh membesarkan hati bahwa di jaman sekarang kita mendapatkan Lara Croft versi Alicia Vikander dan Roar Uthaug. Gw hanya berharap makin banyak orang yang memperhatikan hal ini. Saat ini dari beberapa review yang gw lihat belum ada yang memperhatikan bagaimana 'the Other' dicitrakan dalam film ini dalam hubungannya dengan Lara. Kalau ada yang nemu, tolong kasih tau gw ya (mestilah di luar sana ada tulisan yang lebih baik dari tulisan blog ini!).

Sebetulnya gw agak takut, karena kan katanya film ini adalah film origin, makanya Lara-nya masih bego. Gw sungguh berharap bahwa franchise Tomb Raider yang baru ini tidak bermaksud mencapai Lara Croft sebagaimana ditampilkan oleh Jolie di film terdahulu. Meskipun ini film origin dan Lara Croft masih berevolusi, gw berharap karakternya nanti akan makin badass tapi juga tetap mempertahankan etika yang diterapkan di film ini.
Dari segi estetika dan kenikmatan plot dan sebagainya sebetulnya sih film ini tidak luar biasa hebat, tapi film apapun dengan jagoan cewek pasti gw tonton. Dan sungguh, gw menikmati film Tomb Raider ini dengan cara yang khusus yang sudah gw ulas dalam tulisan panjang ini. Bagaimana menurut teman-teman?


[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Other_(philosophy)
[2] Ibid.
[3] https://www.hollywoodreporter.com/heat-vision/tomb-raider-fans-slam-criticism-alicia-vikanders-body-movie-1094440
[4] Ibid.
[5] http://www.latimes.com/entertainment/movies/la-et-mn-tomb-raider-review-20180314-story.html
[6] https://www.hollywoodreporter.com/heat-vision/tomb-raider-review-roundup-1094464
[7] https://en.wikipedia.org/wiki/Toxic_masculinity
[8] https://www.archaeologybulletin.org/articles/10.5334/bha.20102/
[9] Ibid.

No comments:

Post a Comment