Hai teman-teman, pada tau nggak kalau 4 sehat 5 sempurna
udah diganti? Pasti enggak. Hehehe. Saya pun nggak akan pernah mendengar bahwa
pendekatan itu sudah diganti kalau nggak punya teman dokter gizi. Saat ini
dengan mudahnya akses terhadap informasi, kita para manusia urban modern
bergantung pada sumber-sumber selain daripada penyuluhan pemerentah. Sekian
banyak buku-buku tentang diet di toko buku, majalah kesehatan dan kecantikan
dan juga trend aktris-aktris Hollywood bisa kita akses dengan mudah. Kayaknya
kita akan lebih tertarik mendengar soal diet Atkins yang dilakukan oleh Renee
Zellweger daripada Pedoman Gizi Seimbang
(PGS) yang dikeluarkan pemerintah untuk menggantikan 4 sehat 5 sempurna.
Saya teringat teman saya Anki yang menolak mencoba pecel
lele dengan alasan “pokoknya gua sih makan apa yang diajarin ama Ibu gua aja
deh!”. Hmm, bayangkan bertahun-tahun setelahnya, saat lagi belajar S2 saya membaca
artikel dari Michael Pollan, seorang professor jurnalisme yang ahli di bidang
makanan yang menyarankan hal yang sama persis dengan yang dibilang teman saya
itu. Juga, membaca artikel beliau, saya semakin menghargai betapa briliannya
slogan 4 sehat 5 sempurna itu (ok, ini bukan karena suami saya adalah cucunya
dr. Purwo yang membuat slogan itu ya…. Tapi ini berdasarkan artikel serius dan
pertimbangan intelektual.. caelah).
Kenapa makan itu menjadi sangatlah kompleks dijawab oleh
Prof. Pollan dengan menceritakan berpindahnya fokus dari makanan menjadi
nutrisi. Pada awal abad 19, seorang dokter dan ahli kimia bernama William Prout
menemukan apa yang disebut makronutrien, yaitu protein, lemak dan karbohidrat.
Lalu pada akhir abad 19, seorang ahli kimia bernama Casimir Funk menemukan
mikronutrien pertama yaitu vitamin. Berpindahnya fokus dari makanan ke nutrisi
itu ternyata gara-gara seorang senator AS yang ogah kehilangan dukungan dari
industri daging dan susu pada saat beliau harus membuat rekomendasi gizi untuk
rakyat AS. Rekomendasi yang harus dibuat saat itu adalah untuk mengurangi
konsumsi daging merah dan susu untuk mengurangi resiko sakit jantung. Tentunya
bisa dibayangkan ketakutan para pelaku industri daging dan susu di AS jika
rekomendasi itu benar-benar dibuat. Akhirnya, rekomendasi “diperhalus” dengan menyarankan
untuk “mengurangi asupan lemak jenuh”. Ketika rekomendasi ini dibuat di
Washington pada tahun 1977, pada saat itulah dimulainya “Era Nutrisionisme”.
Ini menjadi penting karena sejak fokus pada makanan berganti
pada nutrisi yang “tidak terlihat” bagi mata awam, kita semakin dan semakin
bergantung pada ilmuwan untuk tahu apa yang sehat untuk dimakan dan apa yang
tidak. Menyusahkan buat konsumen, tapi sangat menguntungkan buat industri
makanan. Coba aja bacain semua kemasan makanan yang dibuat pabrik: ada klaim
gizinya nggak? Pasti ada. Mengandung vitamin A, serat, omega-3, dan semua
istilah-istilah nutrisi yang mungkin kita bacanya aja nggak bisa. Dan kita pun
terjual dengan semua klaim tersebut, percaya bahwa asupan nutrisi-nutrisi itu
baik buat tubuh kita dan makanya kita membeli semua makanan itu.
Secara ilmiah pun, fokus pada nutrisi menyebabkan apa yang
disebut sebagai “reductionist science”. Nutrient diamati secara terisolasi dari
interaksinya dengan nutrient lain dalam makanan, interaksi makanan dengan
makanan lain dalam sebuah hidangan dan juga gaya hidup orang dalam mengkonsumsi
makanan tersebut (Marion Nestle, dikutip oleh Pollan).Contoh yang diambil oleh
Pollan adalah diet Mediterania (sama populernya sama diet Atkins), yang mengacu
pada pola makan “orang Mediterania” yang mengandung banyak minyak zaitun
(berkontribusi pada kepopuleran minyak zaitun). Padahal kesimpulan bahwa diet
Mediterania itu sehat adalah berdasarkan studi pada masyarakat di pulau Kreta,
Yunani pada tahun 1950. Ya memang, mungkin benar mereka makan banyak minyak
zaitun dan juga benar bahwa resiko penyakit mereka lebih rendah dibanding orang
AS pada umumnya, tapi harus diingat mereka punya gaya hidup yang berbeda secara
keseluruhan, bukan hanya dietnya. Mereka banyak melakukan pekerjaan fisik,
banyak makan sayur, punya kebiasaan berpuasa dan juga total kalori yang mereka
konsumsi juga jauh lebih sedikit.
Pada akhirnya dengan segala kekompleksan nutrisi, rakyat AS
tidaklah menjadi lebih sehat. Bahkan yang ada, sekarang orang semakin bingung
dengan saran gizi yang berbeda-beda bahkan bertentangan. Jangan makan daging,
makan daging, hindari karbohidrat, karbohidrat dibutuhkan oleh tubuh, susu
bagus, susu nggak bagus, vitamin C penting, vitamin C nggak penting. Akhirnya,
Pollan memberikan saran yang sederhana: “makan apa yang diajarin sama nenek
buyut lo”. Kenapa nenek buyut, soalnya beliau belum terekspos sama makanan
bikinan pabrik dan juga segala ilmu-ilmu pergizian. Ada alasan kenapa diet tertentu diteruskan dari generasi ke generasi: karena berhasil. Selain itu juga setiap masyarakat memiliki metabolisme dan keadaan lingkungan yang berbeda-beda. Tentunya nenek buyut kita memiliki kebiasaan makan yang sudah teruji sesuai dengan metabolisme dan lingkungan beliau. Pollan memberikan banyak
saran lain, tapi silakan saja baca sendiri ya.
Tidakkah 4 sehat 5 sempurna adalah konsep yang brilian?
Pertama, konsepnya berfokus pada makanan dan meskipun berdasarkan nutrisi, tapi
mudah dikaitkan dengan makanan tertentu, hanya istilah awam. 4 sehat: makanan
pokok, lauk pauk, sayur dan buah-buahan, ditambah susu. Kedua, tentunya ini
jargon yang mudah diingat dan amat sangat mudah diikuti. Bandingkan sama
piramida makanan yang sekarang digunakan sebagai penggantinya. Nggak heran
jarang ada orang yang ngeh bahwa udah diganti. Ketiga, susu hanya sebagai pelengkap. Soal
apakah susu harusnya direkomendasikan sama sekali adalah hal lain, tapi setidaknya
ini jauh mendingan daripada kampanye susu gila-gilaan yang terjadi di amrik.
4 sehat 5 sempurna |
Pedoman gizi seimbang (PGS) |
Ya betul, jaman sudah berubah dan 4 sehat 5 sempurna mungkin sudah
ketinggalan jaman. Tapi sulit menyaingi kepraktisannya sementara piramida
makanan yang baru bikin pusing euy! Untuk sekarang, saya mau sebisa mungkin
mengikuti saran Michael Pollan saja dulu meskipun tidak mau terlalu strict
(nenek buyut saya kayaknya nggak makan spaghetti bolognaise deh… L).
No comments:
Post a Comment