Pernikahan impian saya dan (waktu itu) calon suami adalah
pergi ke KUA di suatu hari (hari kerja bukan akhir pekan), bersama hanya orang
tua dan saksi kemudian selesai. Kita pulang lalu mungkin makan bersama di restoran,
atau makan bersama di rumah. Betapa simpelnya dan bebas tektek bengek. Nggak
romantis? Emang. Kami orangnya emang santai dua-duanya, dan kami tidak merasa
memerlukan syahdu-syahdu-an. Tapi tentunya ide kami ini HOROR buat orang tua.
Saat saya bilang ke nyokap, doski langsung mem-veto dan mau mengadakan acara
akad nikah di rumah. Waktu kakak saya yang perempuan menikah, seluruh acara
diadakan di rumah dan disiapkan dalam waktu 2 minggu saja. Terburu-buru karena
calon suaminya yang orang Spanyol nggak bisa lama-lama di sini dan kakak saya
mau diboyong ke Spanyol setelah menikah (ya iyalaaah). Nyokap janji bikin acara
di rumah itu “gampang” kok.
Ya, gampang kalau setelahnya tidak ada resepsi lagi di
gedung. Masalahnya karena kakak perempuan saya tidak resepsi di gedung, dan
kakak saya yang satu lagi laki-laki, nyokap sangat ingin agar saya punya pesta
pernikahan di gedung. Nah, barangkali kalau dari awal saya bersedia akad nikah
di gedung, rencana akad di rumah itu tidak akan muncul. Mungkin ada beberapa
hal mengenai ide menikah di KUA yang harus saya ceritakan. Terus terang saja,
kami ingin berusaha menghentikan “ritual” korupsi, dengan meng-“cut the crap”
acara akad nikah nan syahdu yang membuat penghulu merasa sok penting dan berhak
meminta tip banyak-banyak. Kalau kami yang nyamper ke kantornya dan semua
administrasi dilakukan di kantor si penghulu, harusnya celah untuk korupsi semakin
sempit daripada seluruh upacara pernikahan syahdu-syahdu-an di gedung. Lalu
kedua, saya ingin nikahnya di KUA Tangerang saja, yang harapan saya “biaya”nya
tidak setinggi KUA Jakarta Selatan. Sepupu saya dapet penghulu yang paling
cunihin sejagat waktu menikah di Jakarta Selatan (rasanya tidak perlu saya
ceritakan secara detail) dan membuat saya merasa alergi dengan KUA Jakarta
Selatan. Jadi itulah latar belakang cerita mengapa awalnya saya tidak mau akad
nikah di gedung.
Akan tetapi, dengan adanya dua acara (rumah dan gedung),
membuat semua orang merasa repot harus datang dua kali. Apalagi acara akad
direncanakan hari Jum’at dan rumah saya jauh. Akhirnya, rasa empet dengan
korupsi harus ditekan dan perjuangan memeranginya harus disalurkan dengan cara
lain dan kami memutuskan untuk melangsungkan akad nikah di gedung saja.
Syukurlah, laporan dari abang saya yang survei ke KUA Jaksel mengatakan bahwa
pelayanan di sana baik sekali. Mungkin gara-gara Jokowi-Ahok! Maka saya juga
berhutang terima kasih untuk Pak Jokowi dan Pak Ahok. Makasih ya Pak! J
Lalu bagaimana dengan pestanya sendiri? Kalaupun harus
pesta…. Hmm.. idealnya sih buat kami nggak usah ada pesta dan uangnya buat DP
rumah aja, hehehe. Tapi let’s face it, orang-orang yang kami kedua mempelai,
dan orang tua sayangi ada banyak sekali dan kami ingin berbagi kebahagiaan
dengan orang-orang tersebut. Jadi…pesta yang saya inginkan (ya, saya…bukan
kami, hwekekek) idealnya sebetulnya garden party. Karena semuanya sangat santai
dan juga secara estetika, sesuai dengan selera saya. Awalnya saya sempet survei
venue-venue garden party. Hanya saja memang kebanyakan tempat-tempat seperti
itu hanya menampung sedikit orang. Lalu ketika saya menghadiri beberapa
pernikahan teman dengan konsep itu…astajiiim, panasnya udara dan betapa tidak
nyamannya. Sementara buat kami, yang amat sangat terpenting adalah kenyamanan
para tamu. Kami memang secara umum tidak begitu bersemangat menghadiri
pesta-pesta pernikahan, jadi kami hanya ingin agar tamu kami nyaman. Itu adalah
gol nomer satu!
Lalu bagaimana dengan ide dari calon mempelai pria?
Lagi-lagi inspirasi didapatkan ketika menghadiri pernikahan teman di Gedung
Granadi. Aula Granadi memiliki balkon tempat penonton seperti aula untuk
menonton opera, dan memang ada panggungnya. Ide dari CPP yang seorang film
maker dan juga anak teater adalah, konsep “menonton pertunjukan”. Jadi tamu
datang seperti untuk menonton teater. Pertunjukkannya inginnya wayang orang,
karena CPP punya hubungan baik dengan kelompok wayang orang dari Muntilan. Akan
tetapi konsep ini eksekusinya mahal, karena aula seperti Granadi begitu sewanya
mahal, dan juga kami harus membayar honor dan ongkos para pemain yang pasti
mahal, begitupun segala macam ongkos produksi yang lain. Tentunya makanan juga
tetap harus kami sediakan. Bayangkan berapa total biaya untuk produksinya.
Sementara budget kami sebetulnya adalah 0, dan semua biaya adalah hasil
korek-korek sana sini. Tapi meskipun ide ini tidak jadi, kami setuju bahwa a
good show atau hiburan yang bagus merupakan salah satu servis yang penting
untuk membuat tamu nyaman dan merasa worth it untuk menghadiri pesta
pernikahan.
Kemudian, hal lain yang juga kami tidak sukai adalah betapa
seringkali (tidak semuanya), pengantin menjadi zombie di hari pernikahannya, di
atas pelaminan, karena harus menghadapi antrian tamu yang jumlahnya ratusan
bahkan ribuan itu. Kami mengundang tamu atas rasa sayang dan ingin berbagi
kebahagiaan dengan mereka. Maka kami sangat ingin tetap “terkoneksi” dengan
tamu-tamu kami dan dengan tulus menyambut mereka dan berbagi cerita juga. Jadi
saya tidak ingin konsep duduk di pelaminan. Buat saya jadi manten itu bukan
menjadi raja dan ratu sehari dan diperlakukan sebagai raja dan ratu yang
berjarak dengan si rakyat jelata. Saya ingin tetap menjadi diri saya sendiri
dan saya ingin bisa mengekspresikan kebahagiaan dan rasa sayang saya pada
tamu-tamu saya.
Apa lagi? Jarak antara akad dengan resepsi dan mengganti
baju setelah akad nikah untuk resepsinya. Saya tidak merasa perlu punya dua
baju yang berbeda. Saya ingin praktis, satu baju saja, satu dandanan saja. Jadi
saya ingin agar setelah akad nikah berlangsung, habis itu langsung resepsi
saja. Tidak perlu balik ke ruang make-up dan kemudian masuk lagi dengan kirab
yang formal. Resepsi yang saya maksud juga santai, menyapa tamu-tamu, menerima
ucapan selamat dan foto bersama yang sifatnya spontan. Kami juga paling benci
acara foto bersama yang terkesan sebuah kewajiban dengan MC memanggil-manggil
macam di terminal bus saja.
Kemudian pemilihan waktu pun juga senyaman mungkin untuk
tamu. Minggu siang kami anggap paling cocok, karena lalu lintas tidak sepadat
Sabtu dan malam harinya orang masih bisa istirahat untuk berangkat kerja di
hari Senin.
Jadi pendeknya, konsep acara santai, cut-the-crap, dan
banyak hiburan dan sosialisasi. KISS = Keep It Simple Stupid. Urutannya: akad
nikah kemudian langsung bablas resepsi santai, dan foto-foto spontan.
No comments:
Post a Comment