Friday, December 20, 2013

Latihan keseimbangan tubuh

Keseimbangan tubuh, ternyata bukan soal ketepatan postur saja, tapi juga kekuatan otot. Wah ini baru saya sadari setelah beberapa bulan berlatih yoga (dan tango).

Berdasarkan tes yang dilakukan oleh kawan saya si dokter olahraga, keseimbangan tubuh saya sungguh-sungguh buruk. Cuma bisa tahan beberapa detik saja :'( Instruktur yoga saya juga bilang, kalau dibandingkan dengan teman-teman, saya memang yang paling payah kalau udah masang postur-postur keseimbangan (dan juga postur-postur lainnya sih).

Tapi setahun kemudian, si instruktur yoga saya terkagum-kagum dengan kemajuan yang saya capai. Hehehe. Lah, iya lah mas, kan rajin latihan...saya yoga 3x seminggu loh. Saat tango pun begitu, gerakan-gerakan terasa lebih mudah, ringan dan mengalir, jingjit selama menari pun tidak terasa masalah besar, ketika sebelumnya jingjit terus sepanjang tarian bener-bener bikin menderita. Itu karena otot tungkai saya memang sudah semakin kuat.

Gimana cara latihannya? Well, kalau mau berlatih ya jangan disasar untuk satu hal aja atau satu bagian tubuh aja sih, harus seimbang untuk semua otot tubuh. Banyak pose-pose yoga yang bukan untuk keseimbangan tapi memperkuat otot seperti warrior atau chair pose.

yogaheels.wordpress.com



Tapi menurut saya, pose di bawah inilah yang merupakan the ultimate test, dan saya sampai sekarang cuma bisa melakukannya dengan kaki bengkok

www.ihanayoga.com.au

Kaki lo musti kuat banget untuk nahan gaya dorong dari kaki satunya lagi untuk diangkat agar badan tetap tegak dan nggak jatuh. Ini adalah pose yang menurut saya bikin progress bagus dalam hal keseimbangan dan kekuatan otot tungkai. Eh, tapi sebelum nyoba, tolong konsultasi dulu sama dokter atau instrukturnya ya, dan silakan cek versi pemula di website atau cari video tutorialnya di youtube. Gambar di atas sih emang udah versi hebohnya kok, dan saya ampe sekarang belum bisa yang kayak gitu, kakinya masih bengkok. Moga-moga dengan sering latihan bisa makin bagus ya :)

Friday, December 6, 2013

Mencegah para profesional kita bermigrasi ke luar negeri: Apakah nasionalisme jawabannya?

Nasionalisme. Kata yang sungguh powerful. Apalagi bagi orang Indonesia (subjectively speaking). Ya tentu saja, dengan begitu beragamnya "isi" Indonesia, nasionalisme tentu harus dipupuk habis-habisan jika bangsa ini masih ingin mempertahankan legitimasinya. Dan memang, bagi orang Indonesia yang nasionalis, emosi kesetiaan terhadap bangsa ini memang sungguh powerful.

Tapi tidak sedikit juga orang Indonesia yang (mengaku) tidak nasionalis. Buat saya, ini adalah defence mechanism mereka dalam menghadapi situasi negara yang memang sulit dihadapi. Carut marut. Korup. Miskin. Bigot. Terjajah. atau sesederhana "Macet". Lebih mudah untuk tidak berusaha membela yang sulit untuk dibela. Maka beberapa dari mereka meninggalkan Indonesia. Tinggal di tempat yang "lebih baik". Dan para nasionalis pun memandang mereka dengan kebencian. Kok bisa-bisanya tidak punya rasa cinta pada tanah air sendiri.

Saya pergi untuk kuliah ke Inggris dengan beasiswa dari Pemerintah Indonesia (ya, uangnya dari Anda para pembayar pajak). Program beasiswa ini mati-matian berusaha agar rasa nasionalisme kami, para penerima beasiswa, tetap cukup dalam untuk kembali. Kami diminta berjanji untuk kembali. Kami diminta untuk berjanji tetap mencintai tanah air, dan kembali untuk membangunnya. Tidak seperti mereka yang pengkhianat, pergi sekolah ke luar negeri, tapi kemudian malah kabur untuk meninggalkan Indonesia.

Lucunya, perspektif yang lebih jelas mengenai isu ini ada dibahas dalam salah satu mata kuliah saya (Antropologi Pembangunan). Isu migrasi adalah isu yang terutama sangat nampak di negara ini. Berjalan-jalan di kota London, kita hanya akan menemui sedikit sekali orang Inggris bule totok dibandingkan para imigran yang sangat dominan. Kebanyakan adalah pendatang. Maka dari itu, kami membahas isu imigran di kelas. Saya merasa sulit sekali untuk relate dalam bahasan ini. Di Jakarta imigran sama sekali tidak mendominasi. Satu-satunya isu migrasi yang dominan bagi kita adalah TKI. Imigran Indonesia yang profesional dan terdidik seperti yang tersebut di atas memang ada, tapi tidak sesignifikan ahli-ahli IT dari India misalkan. Saya tidak punya angkanya, tapi dari permukaan, isu imigran kita tidak mencuat.

Tapi salah satu bahan bacaan saya memberikan pengetahuan yang menarik. Tulisan oleh Alejandro Portes (2009) berjudul Migration and Development: Reconciling Opposite Views. Dia bilang bahwa begitu banyak studi mengenai efek migrasi bagi negera penerima tapi sedikit mengenai negara yang ditinggalkan. Adanya fenomena migrasi tenaga kerja menunjukkan adanya inequality. Migration as a symptom (or even cause) of underdevelopment. Dan inilah yang begitu mengganggu saya dan selalu mengganggu saya ketika kami berdiskusi mengenai imigran, refugee dan sebagainya. Mengapa ada tempat-tempat di dunia ini yang layak ditinggali dan mengapa ada tempat-tempat yang tidak layak. Seharusnya kita ngomongin tentang bagaimana membuat semua tempat di bumi ini layak ditinggali. Seharusnya semua orang senang dilahirkan dimanapun, menjadi warga negara apapun. Jadi bukan kita ngomongin sebaiknya kebijakan Inggris, Jerman, Amerika dan Belanda tentang imigran itu bagaimana dan apa dampaknya bagi mereka (tentu saja dalam jangka pendek, ini tidak terelakan, tapi ini adalah pikiran sederhana saya yang utopis berbicara).

Dan itulah persis yang dibicarakan oleh Portes. Ia berbicara tentang negara-negara yang ditinggalkan. Apa yang terjadi ketika semua (atau banyak dari) able bodied citizen sebuah negara pergi untuk mencari peruntungan di negara lain dan suka atau tidak turut "membangun" negara tersebut. Tidakkah inequality semakin membesar?

Solusi yang diajukan Portes tidaklah besar-besar amat sih. Intinya, si negara yang ditinggalkan harus pinter-pinter membuat insentif bagi para pekerja migran itu untuk kembali. Ada dua hal yang bisa saya refleksikan tentang hal ini:

1. Sepupu saya yang selama ini tinggal di luar negeri, simply karena di Indonesia tidak ada lapangan pekerjaan untuk bidangnya. Institusi yang ada sudah "penuh" dan sulit beregenerasi (birokrasi dan status quo, pffh). Intinya, ia sulit mengembangkan kepintarannya dan infrastruktur di sini tidak bisa mengakomodir apa yang bisa ia tawarkan. Untungnya ia sekarang sudah bisa kembali karena adanya institusi-institusi (swasta) baru yang bisa mengakomodasi dia.

2. Seorang teman yang baru saja kembali dari seminar yang khusus membahas masalah ini. Ketika dia mengajukan isu yang kurang lebih seperti yang saya sebutkan di nomor satu, dia di-bully dengan mengatakan bahwa itu adalah karena "malas mencari kerja" dan memberikan solusi "enterpreneurship" yang buat saya itu hanya menunjukan bahwa pemerintah malas memerintah dan menyerahkan masalah kembali kepada rakyat yang harusnya diurusinya.  Enterpreneurship kan tidak bisa berkembang kalau iklim kebijakan yang ada tidak mendukung (anjrit, belajar bahasa birokrat darimana gue??). Dan dalam kasus sepupu saya yang doktor di bidang fisika NUKLIR, dia mau enterpreneurship APA?......

My point is, saya setuju dengan Portes. Daripada sibuk memupuk nasionalisme, lebih baik memikirkan insentif apa yang bisa diberikan agar para imigran itu kembali untuk membangun Indonesia. Jalur-jalur apa yang bisa dipupuk agar mereka bisa berkarya di dalam negeri. Dan seperti Jokowi, seriuslah menata negara agar nyaman ditinggali. Deep down inside, saya yakin mereka pun lebih senang pulang kalau memang ada pilihan itu. Dengan resiko menjadi klise, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan kata-kata: There's no place like home.