Friday, December 20, 2013

Latihan keseimbangan tubuh

Keseimbangan tubuh, ternyata bukan soal ketepatan postur saja, tapi juga kekuatan otot. Wah ini baru saya sadari setelah beberapa bulan berlatih yoga (dan tango).

Berdasarkan tes yang dilakukan oleh kawan saya si dokter olahraga, keseimbangan tubuh saya sungguh-sungguh buruk. Cuma bisa tahan beberapa detik saja :'( Instruktur yoga saya juga bilang, kalau dibandingkan dengan teman-teman, saya memang yang paling payah kalau udah masang postur-postur keseimbangan (dan juga postur-postur lainnya sih).

Tapi setahun kemudian, si instruktur yoga saya terkagum-kagum dengan kemajuan yang saya capai. Hehehe. Lah, iya lah mas, kan rajin latihan...saya yoga 3x seminggu loh. Saat tango pun begitu, gerakan-gerakan terasa lebih mudah, ringan dan mengalir, jingjit selama menari pun tidak terasa masalah besar, ketika sebelumnya jingjit terus sepanjang tarian bener-bener bikin menderita. Itu karena otot tungkai saya memang sudah semakin kuat.

Gimana cara latihannya? Well, kalau mau berlatih ya jangan disasar untuk satu hal aja atau satu bagian tubuh aja sih, harus seimbang untuk semua otot tubuh. Banyak pose-pose yoga yang bukan untuk keseimbangan tapi memperkuat otot seperti warrior atau chair pose.

yogaheels.wordpress.com



Tapi menurut saya, pose di bawah inilah yang merupakan the ultimate test, dan saya sampai sekarang cuma bisa melakukannya dengan kaki bengkok

www.ihanayoga.com.au

Kaki lo musti kuat banget untuk nahan gaya dorong dari kaki satunya lagi untuk diangkat agar badan tetap tegak dan nggak jatuh. Ini adalah pose yang menurut saya bikin progress bagus dalam hal keseimbangan dan kekuatan otot tungkai. Eh, tapi sebelum nyoba, tolong konsultasi dulu sama dokter atau instrukturnya ya, dan silakan cek versi pemula di website atau cari video tutorialnya di youtube. Gambar di atas sih emang udah versi hebohnya kok, dan saya ampe sekarang belum bisa yang kayak gitu, kakinya masih bengkok. Moga-moga dengan sering latihan bisa makin bagus ya :)

Friday, December 6, 2013

Mencegah para profesional kita bermigrasi ke luar negeri: Apakah nasionalisme jawabannya?

Nasionalisme. Kata yang sungguh powerful. Apalagi bagi orang Indonesia (subjectively speaking). Ya tentu saja, dengan begitu beragamnya "isi" Indonesia, nasionalisme tentu harus dipupuk habis-habisan jika bangsa ini masih ingin mempertahankan legitimasinya. Dan memang, bagi orang Indonesia yang nasionalis, emosi kesetiaan terhadap bangsa ini memang sungguh powerful.

Tapi tidak sedikit juga orang Indonesia yang (mengaku) tidak nasionalis. Buat saya, ini adalah defence mechanism mereka dalam menghadapi situasi negara yang memang sulit dihadapi. Carut marut. Korup. Miskin. Bigot. Terjajah. atau sesederhana "Macet". Lebih mudah untuk tidak berusaha membela yang sulit untuk dibela. Maka beberapa dari mereka meninggalkan Indonesia. Tinggal di tempat yang "lebih baik". Dan para nasionalis pun memandang mereka dengan kebencian. Kok bisa-bisanya tidak punya rasa cinta pada tanah air sendiri.

Saya pergi untuk kuliah ke Inggris dengan beasiswa dari Pemerintah Indonesia (ya, uangnya dari Anda para pembayar pajak). Program beasiswa ini mati-matian berusaha agar rasa nasionalisme kami, para penerima beasiswa, tetap cukup dalam untuk kembali. Kami diminta berjanji untuk kembali. Kami diminta untuk berjanji tetap mencintai tanah air, dan kembali untuk membangunnya. Tidak seperti mereka yang pengkhianat, pergi sekolah ke luar negeri, tapi kemudian malah kabur untuk meninggalkan Indonesia.

Lucunya, perspektif yang lebih jelas mengenai isu ini ada dibahas dalam salah satu mata kuliah saya (Antropologi Pembangunan). Isu migrasi adalah isu yang terutama sangat nampak di negara ini. Berjalan-jalan di kota London, kita hanya akan menemui sedikit sekali orang Inggris bule totok dibandingkan para imigran yang sangat dominan. Kebanyakan adalah pendatang. Maka dari itu, kami membahas isu imigran di kelas. Saya merasa sulit sekali untuk relate dalam bahasan ini. Di Jakarta imigran sama sekali tidak mendominasi. Satu-satunya isu migrasi yang dominan bagi kita adalah TKI. Imigran Indonesia yang profesional dan terdidik seperti yang tersebut di atas memang ada, tapi tidak sesignifikan ahli-ahli IT dari India misalkan. Saya tidak punya angkanya, tapi dari permukaan, isu imigran kita tidak mencuat.

Tapi salah satu bahan bacaan saya memberikan pengetahuan yang menarik. Tulisan oleh Alejandro Portes (2009) berjudul Migration and Development: Reconciling Opposite Views. Dia bilang bahwa begitu banyak studi mengenai efek migrasi bagi negera penerima tapi sedikit mengenai negara yang ditinggalkan. Adanya fenomena migrasi tenaga kerja menunjukkan adanya inequality. Migration as a symptom (or even cause) of underdevelopment. Dan inilah yang begitu mengganggu saya dan selalu mengganggu saya ketika kami berdiskusi mengenai imigran, refugee dan sebagainya. Mengapa ada tempat-tempat di dunia ini yang layak ditinggali dan mengapa ada tempat-tempat yang tidak layak. Seharusnya kita ngomongin tentang bagaimana membuat semua tempat di bumi ini layak ditinggali. Seharusnya semua orang senang dilahirkan dimanapun, menjadi warga negara apapun. Jadi bukan kita ngomongin sebaiknya kebijakan Inggris, Jerman, Amerika dan Belanda tentang imigran itu bagaimana dan apa dampaknya bagi mereka (tentu saja dalam jangka pendek, ini tidak terelakan, tapi ini adalah pikiran sederhana saya yang utopis berbicara).

Dan itulah persis yang dibicarakan oleh Portes. Ia berbicara tentang negara-negara yang ditinggalkan. Apa yang terjadi ketika semua (atau banyak dari) able bodied citizen sebuah negara pergi untuk mencari peruntungan di negara lain dan suka atau tidak turut "membangun" negara tersebut. Tidakkah inequality semakin membesar?

Solusi yang diajukan Portes tidaklah besar-besar amat sih. Intinya, si negara yang ditinggalkan harus pinter-pinter membuat insentif bagi para pekerja migran itu untuk kembali. Ada dua hal yang bisa saya refleksikan tentang hal ini:

1. Sepupu saya yang selama ini tinggal di luar negeri, simply karena di Indonesia tidak ada lapangan pekerjaan untuk bidangnya. Institusi yang ada sudah "penuh" dan sulit beregenerasi (birokrasi dan status quo, pffh). Intinya, ia sulit mengembangkan kepintarannya dan infrastruktur di sini tidak bisa mengakomodir apa yang bisa ia tawarkan. Untungnya ia sekarang sudah bisa kembali karena adanya institusi-institusi (swasta) baru yang bisa mengakomodasi dia.

2. Seorang teman yang baru saja kembali dari seminar yang khusus membahas masalah ini. Ketika dia mengajukan isu yang kurang lebih seperti yang saya sebutkan di nomor satu, dia di-bully dengan mengatakan bahwa itu adalah karena "malas mencari kerja" dan memberikan solusi "enterpreneurship" yang buat saya itu hanya menunjukan bahwa pemerintah malas memerintah dan menyerahkan masalah kembali kepada rakyat yang harusnya diurusinya.  Enterpreneurship kan tidak bisa berkembang kalau iklim kebijakan yang ada tidak mendukung (anjrit, belajar bahasa birokrat darimana gue??). Dan dalam kasus sepupu saya yang doktor di bidang fisika NUKLIR, dia mau enterpreneurship APA?......

My point is, saya setuju dengan Portes. Daripada sibuk memupuk nasionalisme, lebih baik memikirkan insentif apa yang bisa diberikan agar para imigran itu kembali untuk membangun Indonesia. Jalur-jalur apa yang bisa dipupuk agar mereka bisa berkarya di dalam negeri. Dan seperti Jokowi, seriuslah menata negara agar nyaman ditinggali. Deep down inside, saya yakin mereka pun lebih senang pulang kalau memang ada pilihan itu. Dengan resiko menjadi klise, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan kata-kata: There's no place like home.


Sunday, November 3, 2013

Seri Kawinan #6: Suvenir

Akhirnya keinget dan ada niatan juga untuk ngelanjutin si kawinan series ini. Biar nggak jadi males, saya mau mengulas yang mudah aja dulu deh, yaitu bab suvenir.

Suvenir, yang kata temen gw Indon hanyalah sebuah pelengkap penderita, pada awal mulai memikirkannya bener-bener emang pelengkap penderita doang. Udah nggak penting, tapi kalau nggak diurusin juga bisa menyebabkan kita jadi omongan orang dan orang tua jadi malu (kalo kita mah bodo amat). Juga, kalau buatnya asal, selain orang yang nerima males, gw yang ngasih juga males dan bisa bete.

Tadinya departemen suvenir juga saya serahkan pada calon suami, dan karena sangking cuma pelengkap penderita, dia nggak mulai mikirin sama sekali. Akhirnya, gue juga deh yang mikirin.

Ide dari calon suami: sisir (duh, nggak personal ah). Semetara ide dari saya pun ditolak mentah-mentah: CD (nggak ada yang mau dengerin lagu kita, tauk. Lagian itu melanggar hak cipta), tas, cermin saku, hanya salah dua-nya benda suvenir kawinan yang pernah saya benar-benar gunakan... (duuh..errghh, ya udah terserah).  Sampai akhirnya: ya udah terserah. Saya pun mulai melihat-lihat suvenir murah-murah di toko online. Banyak ketemu yang murah-murah tapi jelek minta ampun dan nggak ada gunanya. Yang agak mahal, lucu tapi ga ada gunanya juga. Di rumah saya udah berserakan segala macam benda suvenir. Tas dan cermin saku meskipun saya akui terpakai, tapi dua benda tersebut tidaklah "personal", dan karena kita belinya kodian ya jelas tampilannya akan...kodian.

Di sebuah website bule yang pernah saya baca, ada ide dimana suvenir pesta diganti dengan charity. Jadi budget untuk suvenir disumbangkan ke sebuah yayasan dan ini diumumkan ke tamu-tamu atau tiap tamu diberi secarik kertas yang mengumumkan hal itu. Tapi ya sebetulnya budget suvenir yang saya miliki kan tidak begitu besar (1-3 juta rupiah saja), ditambah saya agak malas due diligence memilih yayasan yang ok, dan lagi-lagi cukup personal buat kami. Lalu, ibu-ibu adalah spesies lain yang harus dipikirikan. Tidak seperti para Homo sapiens sapiens lain yang bodo amat, ibu-ibu maunya nerima "benda" yang bisa dipegang-pegang, dilihat-lihat dan dibilang lucu, lalu dipajang atau masuk tas. Teman saya Indon, yang menyiapkan photo booth sebagai suvenir kawinannya, akhirnya ibunya dia menambah kipas dan entah apa lagi suvenir yang bisa dipegang-pegang demi memuaskan spesies yang satu ini. Dia berakhir dengan 3 jenis suvenir yang berbeda di pestanya.

Akhirnya saya browsing lagi ke website bule, dimana biasanya ketemu tuh ide aneh-aneh. Naaah, di sebuah website ada suvenir kawinan teh celup dengan bungkusan yang customized. Contohnya begini:


BINGO! Teh!

Beberapa alasan bagus:


  • Calon suami memang HOBI BANGET bawa suvenir teh kalau habis dari Jogja. Teh tubruk kampung dengan berbagai merk dan aroma. Kawan-kawan geng puspa sudah hafal dan merasakan nikmatnya nge-teh bareng.
  • Orang Indonesia dimana-mana hobi minum teh.
  • Teh tubruk harganya murah
  • Seperti iklan Sariwangi, teh memang membawa kehangatan dan kekeluargaan. Cocok sebagai suvenir pesta orang yang mau membangun keluarga.
  • Teh habis diminum dan tidak akan tergeletak nyampah-nyampahin rumah aja.


Yup, maka suami yang kebetulan ada rencana ke Muntilan akhirnya membeli 5 bal (500 bungkus) teh tubruk merk Kepala Djenggot. Habis Rp. 700 ribu saja. Sampai Jakarta, teh itu kami bungkus dengan kertas sampul buku coklat, lalu ditempel ucapan terima kasih yang diprint di hvs dan difotokopi. Hasilnya begini:


Bahkan kemasannya pun ekonomis dan minim sampah. Nyokap sempat ingin agar dikemas dalam plastik mika, yang langsung saya veto karena itu bikin sampah dan plastik mika jelas tidak gampang terurai. Kantong dengan bahan tulle pun lumayan sampah dan buat saya kurang cantik dan juga kelewat mainstream, hehe. Tadinya pun hampir membuat paper bag khusus karena malas membungkusi satu-satu yang untung saja calon suami mem-vetonya dengan mengingatkan bahwa paper bag itu cukup nyampah dan juga mahal dengan manfaat yang tidak signifikan. Akhirnya dengan mengerahkan para tante, terbungkus lah 500 teh Kepala Djenggot dalam kemasan cantik dan ramah lingkungan seperti di atas.

Untuk desain gambarnya, itu ada kaitannya dengan kisah undangan yang akan saya ceritakan (moga-moga) tak lama lagi ya. Nantikan.

Saturday, November 2, 2013

Tablet atau E-Reader?

Beli tablet atau E-Reader yaaa? Emang apa sih perbedaan keduanya? Tanpa sok menjadi ahli gadget, saya akan mencoba mengulas tentang hal ini. Ini adalah ulasan pengguna, bukan ahli yaa.


Saya sendiri akhirnya membeli sebuah e-reader dengan fungsi tablet. Nah loh, apaan lagi tuh. Ya jadi, saya membeli tablet Nook HD. Nook adalah sebuah merk e-reader keluaran Barnes & Noble (toko buku asal Amrik). Nah seperti Kindle keluaran Amazon yang sekarang mengeluarkan tablet Kindle Fire, Nook juga punya versi tablet. Jadi sebetulnya sih dia adalah sebuah tablet, tapi dikembangkan oleh produsen e-reader. Something like that lah. Nook HD yang saya beli memiliki fungsi seadanya, tak ada kamera, tak ada slot untuk SIM card (ada wifi tapi), makanya juga bisa murah. Harganya GBP 79, untuk saya yang saat ini sedang tinggal di London, cukup ekonomis (jangan dibandingin ama Jakarta yaaa). Ringan dan enak digenggam untuk fungsi membaca buku elektronik (ada bingkainya dengan bahan agak kayak karet, jadi enak megangnya), tapi masih bisa dipakai browsing, nonton video, ngetik dan menjalankan fungsi berbagai aplikasi android meskipun nggak semuanya.

Nook HD


Balik ke pertanyaan awal, apa sih bedanya E-Reader dengan Tablet, dan mana yang harus dibeli? Seperti biasa, sebelum membeli sesuatu, saya riset gila-gilaan dulu melalui google, makanya jadi tau gini-ginian. Padahal suami udah nawarin i-Pad lamanya, dan dia beli yang lebih baru dan mahal. Tapi karena bahan bacaan kuliah udah membayangi saya, saya memutuskan mau beli sendiri aja biar cepat punya sendiri (meskipun akhirnya dibeliin hehe). Ya saya beli karena emang sangat-sangat butuh untuk baca bahan kuliah. Dari dulu saya merasa cukup aja dengan netbook dan smartphone. Tapi untuk membaca, kedua gadget ini tentu tidak memadai.


Well, yang jelas e-reader diperuntukan untuk fungsi membaca. Tampilan layarnya enak untuk membaca dengan teknologi macam-macam seperti tampilan yang hampir menyerupai kertas, biasanya ringan dan compact, dengan baterai yang tahan lama (bisa sampai 2 bulan!), juga harganya lebih murah! Iya lah fungsinya kan terbatas.


Sedangkan tablet, jelas fungsinya lebih banyak, kayak komputer atau smartphone lah, bisa browsing, potret-potret (kalau ada kameranya), main game, dan bisa baca buku juga. Fungsi e-reader sudah tercakup dalam tablet, tapi fungsi tablet tidak tercakup dalam e-reader. Cuma e-reader kelebihannya ada pada tampilan layar yang lebih enak untuk mbaca, ketahanan batere dan harga. Juga dengan terbatasnya fungsi, e-reader menghilangkan banyak distraction dari internet, games, social media, dll sehingga kita bisa fokus membaca.


Jadi kenapa akhirnya saya pilih tablet? Hehe, karena saya udah capek bawa si netbook yang berat kemana-mana. Tapi kalau cuma punya e-reader jadinya tidak bisa mengetik, padahal fungsi ngetik juga penting buat taking notes atau ngerjain tugas essay kalau-kalau kepepet. Wekekekek :p


Nah untungnya Kindle, Nook dan Kobo (merk-merk e-reader yang ada di UK) punya versi tablet. Saat saya beli, best deal ditawarkan oleh Nook, jadilah saya membeli Nook HD dengan harga GBP 79. Saya sangat hepi dengan gadget baru ini. Saya nggak pasangin aplikasi chatting kecuali google hangout yang otomatis terpasang karena OS-nya android (dengan aplikasi standar lain seperti gmail, google maps dan google+). Saya nggak pasangin social media tentu saja. Aplikasi yang saya pasang cuma notes, semacam aplikasi untuk MS word, duolingo buat belajar bahasa, flipboard dan current, sama 9gag buat bahan bacaan, sama peta tube London deh.


Fungsi yang saya nggak expect, tapi membuat saya sangat girang adalah fungsi highlight dan notes. Jadi di bacaan kita, kita bisa highlight atau nambah notes. Nanti highlight dan notes kita itu akan terkumpul rapi dalam aplikasi bawaannya si Nook ini. Praktis deeeh, nggak usah nyalin quote atau bingung mau ngasih catatan dimana.


Si Nook ini juga ada shopnya dimana kita bisa beli buku-buku dan majalah (dari Barnes & Noble tentunya). Lumayan lengkap sih, so far ada beberapa buku yang Amazon pun belum ada versi Kindle-nya tapi di Nook shop udah ada. Format reader yang dipakai memang katanya sih "umum" yaitu EPUB. Bahan-bahan kuliah saya dalam bentuk PDF bisa dibuka, dihighlight dan di note di gadget ini.


Siang ini saya mencoba membuat catatan kuliah menggunakan si tablet ini dan ternyata saya bisa mengetik cukup cepat di layar 7 inchinya. Berarti saya nggak perlu bawa buku notes lagi, yang mana mengurangi beban tas saya yang udah rempong isinya dengan benda-benda khas ibu-ibu. Fungsi browsing juga berguna untuk mencari kata-kata sulit yang ditemukan saat membaca, atau mencari keterangan latar belakang yang diperlukan.


So? Sejauh ini saya sangat hepi tapi itu karena si gadget sangat sesuai dengan kebutuhan saya, dan saya yang namanya megang tablet ya emang baru sekarang ini jadi mungkin nggak rewel ya. Tentunya membeli gadget ya harus sesuai kebutuhan dan juga budget masing-masing.


Happy reading everyone!


Referensi:


http://electronics.howstuffworks.com/gadgets/high-tech-gadgets/tablet-or-e-reader.htm


http://www.which.co.uk/technology/computing/guides/how-to-buy-the-best-ebook-reader/ebook-reader-or-tablet/

Tuesday, October 8, 2013

Seri Kawinan #5: Dekorasi dan Layout Ruangan

Buat saya ini adalah hal yang paling challenging untuk dihadapi, karena tiga hal: gedung yang kurang ideal, susunan acara yang di luar kebiasaan dan yang terakhir saya nggak punya keahlian apapun di bidang ini. Tapi ini adalah bagian yang paling memuaskan buat kami karena hasilnya melebihi ekspektasi.

Untuk layout ruangan saya berterima kasih sekali pada Nadiya WO dan Neil Abaroea (guru Tango saya). Merekalah yang mengatur letak pelaminan, dance floor, meja buffet, band, dsb. Layout ruangan buat saya perfect, dan ini pencapaian hebat karena aula gedung memang kurang ideal dengan lokasi pintu-pintu dan pilar yang cukup awkward. Pada dasarnya untuk di gedung PU, hanya ada dua pilihan untuk meletakan pelaminan; di tengah-tengah horizontal ruangan atau di pojok kiri vertical ruangan. Layout yang dipilihkan untuk saya adalah yang di dinding tengah horizontal ruangan. Waktu jamannya survei saya pernah datang ke pesta dengan dua layout berbeda. Saya awalnya memilih pojok kiri, tapi ternyata jadinya bingung menaruh dance floor dimana dan waktu itu orang dari Chikal kurang bisa memberikan solusi yang baik. Waktu itu jika dibandingkan, pilihan pojok kiri terasa lebih lega bagi ruangannya, tapi sebetulnya itu gara-gara karpet jalannya aja. Kalau memakai karpet jalan, pojok kiri memang memakan lebih sedikit tempat. Kalau di tengah-tengah, ruangan akan habis dipotong si karpet jalan. Tapi pesta saya adalah tanpa karpet jalan. Jadinya akhirnya diputuskanlah pelaminan berada di dinding tengah, lalu depan pelaminan langsung dance floor.

Dua keputusan terbaik yang dibuat adalah menghilangkan karpet jalan dan taman pelaminan. Tadinya saya malahan juga nggak mau pakai panggung pelaminan karena inginnya pelaminan seperti “ruang tamu di rumah aja, karena saya nggak mau jadi raja dan ratu”, tapi para organizer berkeras bahwa panggung harus dipakai, jadi ya sudah, toh “panggung” yang dimaksud pendek, cuma 10 cm. Tapi taman pelaminan saya tetap nggak mau pakai, karena taman pelaminan menciptakan sebuah batas dan jalur untuk orang mengantri salaman, sedangkan saya nggak mau orang di-encourage untuk mengantri salaman. Tiang lampu fotografi (beserta kabel-kabelnya dan pencahayaan yang membuat pelaminan lebih terang dan sisa ruangan menjadi lebih gelap) yang biasanya ada dan turut memakan tempat dan menciptakan barrier antara pengantin dengan tamu-tamunya yang rakyat jelata juga tidak ada. Fotografer dan videographer yang kami pakai adalah murid-murid CPP dengan kamera DSLR yang nggak perlu pakai lampu-lampuan.

Hal lain yang saya hilangkan adalah kanopi-kanopi. Sekarang umumnya dekorasi yang dipakai catering adalah kanopi-kanopi di meja buffet dan juga di depan pintu masuk. Waduh, dengan aula gedung PU yang ceilingnya pendek dan juga kurang luas, kayaknya kanopi-kanopi ini bakalan cuma bikin gelap dan sempit, apalagi kalau warna yang dipilih gelap. Jadi saya menghilangkan kanopi ini. Meskipun akhirnya kanopi selamat datang dipasang juga, tapi di pinggir ruangan yang seharusnya jadi tempat ortu kami duduk kalau kami sedang tidak di pelaminan.

Dengan tidak adanya hal-hal di atas, pelaminan jadi sangat terbuka, suasana seluruh ruangan juga jadi terbuka dan terang dan lega. Hal yang saya takutkan sama sekali nggak terjadi. Suasana yang santai dan open terjadi karena barrier-barrier antara pelaminan dengan floor dihilangkan. Tamu dan pengantin bebas keluar masuk pelaminan (bokap gw, if you know his habit, adalah pastinya mahluk pertama yang ngilang dari pelaminan, dan juga berkali-kali ngilangnya sampe harus dihalo-halo pake mic). Anak-anak juga senang bermain di atas dance floor, apalagi waktu penampil wayang orang merontokan melati ke atas dance floor. Biasanya setelah penampilan, anak-anak akan langsung meniru dan memeragakan di atas dance floor, gerakan-gerakan yang tadi mereka lihat.

Saya sangat senang dengan cara Chikal menghias pelaminan dan ruangan dengan bunga-bunga pilihan saya (warna merah dan putih ditambah bunga peacock putih, lalu mereka tambah untaian melati). Terutama pelaminan deh, cantik banget dan nggak pelit bunga! Lampion putih yang tadinya saya pilih diganti dengan lampion rotan dan sangkar burung yang menurut saya lebih bagus daripada si lampion putih. Awalnya si orang Chikal bingung mau ditaruh mana lampu-lampu ini dengan tidak adanya si karpet jalan (biasanya lampion ada di pinggir kanan kiri karpet jalan). Akhirnya Nadiya WO lah yang membantu mengarahkan peletakan lampion ini. Awalnya saya sempet kuatir karena dekorasi yang customize ini kok agak susah mengarahkannya karena sepertinya dekorasi yang tersedia sangat standard template. Tapi ternyata hasilnya benar-benar bagus.

Ice carving juga saya hilangkan. Secara estetika, tidak cocok dengan selera saya, apalagi font-nya kan gak bisa dicustomize, hehe.

Lalu, detail lain yang harus diperhatikan adalah pemilihan taplak. Jujur aja, kain taplak yang ditawarkan Chikal menurut saya kurang elegan karena bahannya mengkilap. Untung saja dia punya satu renda taplak warna putih yang tidak dari bahan itu. Saya pilih putih dengan cover emas, dan ini juga membantu membuat ruangan menjadi lebih terang.


In my case, less is definitely more J

Sunday, October 6, 2013

Seri Kawinan #4: Acara

Sebagaimana sudah dibahas dalam “konsep”, tema acara yang kami usung adalah simple cut-the-crap namun juga entertaining. Tema ini cukup membuat pusing saya dan juga para vendor karena di luar standar. Beberapa hal yang buat saya merupakan “crap” untuk di “cut” adalah:
  • -          Ganti baju dari akad nikah ke resepsi
  • -          Dengan tidak adanya hal di atas, kirab pengantin otomatis jadi tidak relevan juga
  • -          Dipajang di pelaminan
  • -          Antrian salaman
  • -          Group photo “wajib” untuk SETIAP kelompok keluarga dan pertemanan

Lalu untuk entertainment, hmm…mungkin sudah sangat jelas bahwa saya sangat mencintai Argentine Tango. Maka saya bilang sama (waktu itu) calon suami bahwa saya ingin menari di hari pernikahan saya, tapi masa nari sama orang lain? Akhirnya dengan bujukan itu, sukses lah saya menyuruh dia untuk belajar menari Argentine Tango. Akan tetapi kami diam-diam saja mengenai rencana kami ini, sampai kira-kira sebulan sebelum acara, barulah kami memberitahukan guru dan teman-teman sekelas. Inipun dipicu oleh kefrustrasian saya mengarahkan vendor untuk acara yang aneh-aneh ini, ditambah ternyata saya tidak ada waktu dan keahlian untuk membulatkan susunan acara yang rapi, sehingga ketika ternyata ketahuan bahwa salah satu teman sekelas saya adalah seorang wedding organizer (Nadiya wedding organizer), saya memutuskan untuk memakai jasanya.

Obsesi suami untuk menampilkan wayang orang di acara pernikahan juga baru terkonfirmasi kira-kira seminggu sebelum acara.  Padepokan Wayang Orang Tjipto Budoyo dari Muntilan, Yogyakarta adalah penampilnya.

Penampil satu lagi adalah Indah, teman sekelas di Tango yang juga bisa belly dance. Waktu itu iseng aja saya tembak, apakah dia mau perform atau tidak, dan ternyata dia mau! Hanya saja saya pastikan bahwa kostum dan tarian tetap sopan.

Jadi acaranya pertama adalah akad nikah dengan tamu-tamu keluarga, teman dekat dan tetangga. Susunan cukup standar: Rombongan mempelai pria disambut oleh keluarga mempelai wanita, didudukan di meja pelaminan lalu mempelai wanita dipanggil. Ijab Kabul berlangsung, dilanjutkan dengan sungkeman dan foto keluarga. Setelah foto keluarga, di sini lah dansa Argentine Tango oleh kedua mempelai ditampilkan dengan koreografi yang dibuat oleh guru kami Neil Abaroea, dengan lagu pilihan kami theme song Cinema Paradiso. Diikuti dengan penampilan wayang orang dengan lakon raja dan ratu. Habis itu harusnya, band pesenan kami Wonderbra tampil, tapi karena alat-alat mereka terlambat datang, jadi sempat kosong lah acara hiburan. Maka untuk mengisi, Neil diminta untuk berdansa dengan saya, lalu habis itu ber-salsa dengan Indah salah satu teman sekelas saya yang akan tampil juga hari itu.



Acara kedua, kalau bisa dibilang acara kedua, soalnya semuanya bablas plong anyway, adalah resepsi dengan tamu-tamu kedua. Pada dasarnya saat kami sedang ngobrol dan menyapa para tamu, tampillah Tari Bambangan Cakil dari Padepokan Wayang Orang Tjipto Budoyo. Lalu setelah tarian itu, kami menarikan kembali Argentine Tango yang tadi, diikuti dengan penampilan belly dance dari Indah. Setelah itu, Wonderbra kembali bermain.

Untuk band, pesan saya dari awal hanya satu: jangan gedumbrangan. Pokoknya jangan sampai pesta jadi berisik dan orang nggak bisa menikmati pestanya, makan dan ngobrol dengan nyaman. Saya sebetulnya membebaskan mereka untuk main lagu apapun asalkan nyaman untuk didengar, tapi tentu saja mereka eksplorasi apa yang disukai oleh pengantin. Karena salah satu personil band ini adalah teman dekat mempelai pria, dia tentunya sudah tau selera musik dia: Naif dan Float (setidaknya itulah dua yang nggak gedumbrangan). Untuk saya, ketika ditanyakan saya minta Latin dengan banyak Bossa Nova (paling lembut, dan saya tahu ada Oom saya yang suka banget, juga nadanya elegan dan “hipster”)


Dengan susunan acara seperti itu, feedback yang saya terima adalah orang-orang senang dengan tarian-tariannya (semuanya), suasana sangat santai, anak-anak terutama juga senang sekali dengan adanya tarian dan orang tua tidak susah mengawasi si anak, karena kegiatan terpusat di dance floor. Sayangnya tamu-tamu yang datang belakangan tidak kebagian acara tari-tarian. Suasana yang santai terutama dikarenakan tidak adanya jeda antara akad dengan resepsi, tidak adanya kirab pengantin dan pelaminan yang “open” (akan dijelaskan di bagian dekor nanti) dimana pengantin dan ortu bisa kabur-kaburan dari pelaminan dan orang bebas menghampiri pelaminan. Saya sempat touch up make up sebentar, dan ketika meninggalkan maupun kembali ke pesta saya pun cuma nyelonong aja, nggak pake ritual apapun dan tidak diumumkan oleh MC. Mempelai pria pun cuek aja ditinggal dan ngobrol dengan tamu sendirian. Pokoknya santai lah. Keseluruhan sangat memuaskan, dan kedua mempelai beserta tamu (ini tamu saya yang bilang lho, beneran) masih bisa merasakan euphorianya (seriously can’t get over it) bahkan hingga 48 jam setelah pesta selesai. A sign of a good party.

Seri Kawinan #3: Vendor Catering dan Dekorasi

Catering adalah vendor kedua setelah gedung yang harus dipilih karena ini adalah potongan terbesar dari keseluruhan acara dari segi tanggung jawab dan biaya. Karena biasanya mereka menawarkan paket dan agar menghemat waktu dan tenaga, untuk dekor dan make up, ikuti dari catering saja. Saya menyesal karena selama ini ke kawinan nggak pernah merhatiin nama dan kualitas dari catering. Hanya waktu ke kawinan teman saya Indon aja saya merhatiin cateringnya, soalnya: ENAK BANGET bo! Sampai sekarang masih terbayang-bayang kambing gulingnya. Si Indon make vendor catering yang usut punya usut (browsing di weddingku), ternyata adalah salah satu vendor yang sedang naik daun di Jakarta.

Jadi hal pertama yang saya lakukan adalah mengumpulkan informasi via internet. Website weddingku sangat membantu, karena di situ kita bisa membaca komen langsung dari pengguna vendor-vendor itu dan juga mencari vendor yang track recordnya bagus. Dari hasil browsing, saya langsung mengincar si catering yang dipakai Indon dan beberapa catering yang namanya paling sering disebut. Nyokap yang berhubungan dengan pihak gedung (venue saya di PU) juga diminta mencari vendor catering dari gedung dan dihubungi oleh salah satu catering.

Untuk menghemat waktu, ketika menghubungi catering, langsung minta penawaran harga (paket saja untuk langsung bisa bikin perbandingan) dan jadwal untuk test food. Usahakan untuk mencicipi makanan saat ada pesta karena seperti kata teman saya Windy “kan masak buat 5 orang sama masak buat 800 orang beda ya bo”. Catering pertama yang saya cicipi bersama nyokap adalah catering yang dicarikan pihak gedung. Untuk dekor, dia relative ok meskipun agak aneh karena ada dekor bergaya Bali meskipun kayaknya acara mantenannya bukan Bali. Tapi venue gedung pendopo PU yang menurut pengalaman berpotensi menjadi “sempit dan suram” jadi cukup terang dan lega dengan pilihan warna putih dan gold dan pelaminan warna putih. Mbak marketingnya juga sangat kooperatif dan mudah diajak bicara. Sayangnya ketika mencicipi makanannya, kurang sedap. Tidak sampai nggak enak sih, tapi juga kurang terasa sedap. Harga memang relative murah. Paling murah daripada semua quotation yang saya terima, dan lokasi kantornya terjangkau dari rumah.

Vendor catering yang ngetop yang dipakai teman saya Indon, mengirimkan penawaran harga. Harganya paling mahal meskipun tidak begitu jauh mahalnya daripada yang lain. Sayangnya ketika saya minta jadwal test food, nggak dikasih sama sekali sampai sekarang. Barangkali saking banyaknya peminat kali yah. Karena saya nggak ada waktu buat ngejar-ngejar vendor somse macam begini, akhirnya saya relakan untuk tidak pakai si catering enak ini.

Lalu test food berikutnya adalah vendor yang akhirnya saya pakai maka saya sebut namanya di sini yaitu Chikal. Selain si vendor ngetop, Chikal adalah catering lain yang paling sering disebut oleh capeng lain di weddingku. Akhirnya saya meminta penawaran dan jadwal test food, kemudian tidak lama saya dikasih penawaran dan test food di gedung Pertamina Simprug. Waktu mau test food tapinya nggak ada kabar di sana saya harus ketemu siapa dan bagaimana. Ketika saya coba telepon juga tidak diangkat. Laah, gimana ini, apa saya harus nyusup ke kawinan orang ya. Akhirnya ya sudahlah, dengan nekat saya dan nyokap dateng ke kawinan ini dan pura-pura jadi tamu. Pada saat masuk, dekorasinya bagus tapi bukan selera saya. Jadi untuk urusan dekorasi saya tidak begitu terkesan. Apalagi kain yang dipakai untuk taplak dan kanopi adalah kain mengkilap yang menurut saya tampak kurang elegan. Tapi begitu nyoba makanannya, wah, langsung terasa bahwa masakannya sedap. Pacar saya (suami) selalu menggunakan nasi goreng sebagai patokan menilai sebuah masakan, dan Chikal melewati tes nasi goreng dengan sangat sukses. Makanan lainnya juga sedap dan Ibu saya memerhatikan bahwa makanan cepat habisnya karena memang rasanya enak. Kru juga sigap membersihkan piring dan pesta terlihat rapi. Harga pun dia termasuk kedua termurah dari berbagai penawaran yang saya terima. So far bagus sekali, tapi saya agak khawatir karena komunkasi buat saya kurang lancar dan markas Chikal cukup jauh dari rumah saya.

Setelah dua itu, ada satu catering lagi yang saya incar, dan saya senang dengan catering ini karena komunikasi dengan salesnya sangat lancar. Review di weddingku juga bagus. Sayangnya jadwal test food yang ditawarkan amat sangat jauh dari rumah saya. Jadi saya nunggu jadwal test food di daerah Jakarta Selatan. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ada juga. Saya ke sana lagi-lagi bersama nyokap, agar penilaiannya setara dengan yang lainnya. Melihat dekornya rasanya biasa saja dan ketika dicicipi makanannya, tidak sampai tidak enak sih, tapi rasanya di bawah Chikal. Nyokap malah lebih kecewa daripada saya dan tidak merasa sreg dengan catering ini. Padahal saya merasa nyaman sekali dengan komunikasi yang terjalin dengan salesnya dan lokasi kantor mereka tidak terlalu jauh amat.

Karena kecewa dengan catering yang terakhir dicoba, nyokap mengajak untuk test food ke catering yang pernah dipakai salah satu sepupu saya dan mendapat review yang cukup baik. Saya terus terang waktu kawinan sepupu saya yang itu belum kepikiran buat kawin dan belum memerhatikan vendor-vendor jadi saya tidak ingat bagaimana kualitasnya. Yah setidaknya berarti catering ini tidak jelek kan. Nyokap sih sebagaimana saya merasa nyaman dengan sales catering sebelum ini, merasa nyaman dengan pemilik catering yang ini yang merupakan seorang ibu-ibu dan markas catering ini amat dekat sekali dengan rumah. Tapi ya bo, test foodnya… di Cinere. Okelah, ini usaha terakhir. Saya dan nyokap ke sana. Untuk makanannya, lagi-lagi nggak jelek, tapi juga buat saya tidak sedap sekali dan kalau dibanding Chikal juga masih di bawahnya. Tapi pesta itu, selain dari makanannya, benar-benar membuat saya ngeri. Katanya sih si catering hanya bertanggung jawab untuk makanan, sedangkan yang lain-lainnya dikerjakan vendor lain. Pesta yang buat saya mengerikan ini jadinya saya gunakan untuk pembelajaran saya bukan untuk menilai si vendor catering ini. Soalnya waktu sepupu saya, pestanya sama sekali nggak kacau begini kok. Untuk detailnya, bisa dibahas di masing-masing tema nanti.

Jadi setelah test food yang terakhir ini, saya memutuskan memakai Chikal dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Telepon orangnya, bayar DP kemudian saya diminta ke kantor mereka untuk membicarakan rinciannya. Nah ini dia nih, yang pe’er, tapi nggak apa-apa lah demi. Dengan ditemani sepupu saya yang sangat baik hati dan mau membantu saya mengurusi semua ini, kami ke sana lah. Chikal juga punya sanggar sendiri yang mengurusi soal perdandanan. Sampai di sana, saya agak kesulitan menyampaikan konsep yang saya inginkan dan si mas-mas yang mengurusi saya pusing banget dengan permintaan saya yang menghilangkan ini itu yang sifatnya standard ada di pernikahan (nanti baca detilnya di acara dan dekorasi). Selain mereka jadi harus “mikir” dengan konsep pesta yang berbeda, mereka juga ngeri kalau performance mereka jadi tidak bagus dan orang akan menilai mereka jelek. Ya, konsep pesta yang “baru” atau “berbeda” memang membutuhkan pemikiran matang. Akhirnya saya pakai bantuan WO yang merupakan teman saya di kelas dansa, tapi itu cerita lain. Setelah struggling menyampaikan maksud dan keinginan saya, performance Chikal di pesta saya melebihi ekspektasi! Makanan jelas ok, dekorasi sangat indah dan sesuai selera saya, dan make-up memuaskan.

Dari paket yang ditawarkan Chikal dan saya bayarkan, saya hanya ambil makanan, dekorasi dan dandan. Paket foto dan video saya ubah jadi kambing guling dan bonus MC tidak saya ambil. Ini karena suami saya kerjanya di bidang film, performance, communication dan art, maka urusan foto, video dan MC itu departemennya dia lah, dan jelas dia nggak mau terima yang standar vendor kawinan pada umumnya.
Karena tamu saya terbagi dua, akad dan resepsi (untuk menanggulangi masalah aula gedung yang tidak terlalu besar), makanan atas saran WO diatur seperti ini:
  • Pagi setelah akad jatah bonus sarapan soto 100 porsi, ditambah bonus buffet keluarga 100 porsi yang diubah menjadi 100 porsi lontong cap gomeh (pagi-pagi buffet belum selesai dimasak), ditambah 4 pondokan (siomay, roti jala, chicken cordon blue dan pasta).
  • Resepsi yang siang hari, buffet dibuka ditambah 4 pondokan lainnya (kambing guling, Korean bbq, poffertjes, es puter).

Dengan pengaturan ini, sampai akhir pesta, semua tamu masih kebagian makan tapi sisa makanan tidak terlampau banyak. Saya sangat-sangat puas dengan semua ini dan feedback dari tamu juga mengatakan makanannya ok, malah katanya roti jalanya “enak Masya Allah”.

Kesimpulannya: saya sangat hepi dan puas dengan Chikal. Untuk dekor dan make up akan dibahas dalam postingan yang berbeda.

Seri Kawinan #2: Venue

Venue adalah hal pertama yang harus dipilih. Keputusan lain-lain baru bisa dibuat setelah membuat keputusan mengenai venue. Gedung biasanya memiliki rekanan catering, dan setelah memutuskan gedung lalu catering, baru hal-hal lain bisa bergulir. Tapi untuk bisa memutuskan venue, harus tahu dulu jumlah undangannya ada berapa. Kami sepakat untuk dibatasi saja 300 undangan karena budget juga terbatas sekali, dengan pembagian: 100 untuk masing-masing ortu dan 50 untuk masing-masing kami.
Hal lain yang kami putuskan dan kami keukeuh dengan ini adalah, lokasi harus strategis. Lagi-lagi demi kenyamanan para tamu kami memutuskan daerah paling strategis adalah Jakarta Selatan (Senayan dan sekitarnya, huehehehe, kayaknya subjektif ya). Tapi iyalah, menurut kami daerah ini adalah yang paling netral dengan lingkungan yang cukup ramah.

Gedung pertama yang kami taksir adalah Granadi. Dengan lokasi yang masih di tengah, aula yang indah dan lapang dan juga ada balkon penonton yang tadinya membuat CPP bersemangat, Granadi memang sangat ideal. Tapi kenyataannya adalah, Granadi mahal sedangkan kami nggak punya budget, dan antriannya panjang. Jadi impian untuk pakai Granadi kami lupakan. Apalagi rencana awalnya kami cuma mau nyebar 300 undangan, takutnya gedung yang terlalu lapang akan membuat pesta jadi tidak meriah.

Carakaloka adalah gedung kedua yang dari segi lokasi sangat ideal karena ada di seberang kantor CPP. Sayangnya gedung milik Deplu ini sedang berganti pengurus dan tidak disewakan ketika kami sedang sibuk mencari venue. Ada beberapa gedung lain di daerah Senayan, tapi entah kenapa saya nggak minat meriksa (Manggala Wanabakti, Aula Serbaguna Senayan, Menpora). Aula Masjid Al-Bina juga cukup ok dan murah, tapi saya malas bikin pesta di masjid karena takutnya ada berbagai restriksi terkait pestanya. Apalagi masjid adalah tempat “umum” sedangkan saya ingin pesta saya private.

Akhirnya yang paling keren adalah nyokap. Saat rencana baru mulai diwacanakan, dilamar aja belum nih, suatu hari sepulang rapat pensiunan UN di daerah Al-Azhar, nyokap inisiatip mampir ke pengurus gedung PU dan ujug-ujug booking tanggal! HWAKAKAKAKAK. Gedung Pendopo PU hanya disewakan kepada orang-orang PU (bokap pensiunan PU), harga sewanya sangat-sangat murah, tidak perlu pakai DP, jadi nyokap langsung aja booking. Kalaupun tidak jadi kan tinggal dibatalkan saja.


Saya ingat pernah ke kawinan teman di gedung ini. Dan memang aulanya cukup seadanya dan tidak begitu besar dengan langit-langit rendah. Tapi toh undangan kami juga rencananya akan dibatasi tidak banyak, jadi saya pikir paling dekorasi harus ok. Tapi ok nggak ok, itulah yang kami bisa dapatkan dari segi waktu dan biaya. Berikutnya adalah mencari vendor catering dan dekorasi yang biasanya satu paket.

Seri Kawinan #1: Konsep

Pernikahan impian saya dan (waktu itu) calon suami adalah pergi ke KUA di suatu hari (hari kerja bukan akhir pekan), bersama hanya orang tua dan saksi kemudian selesai. Kita pulang lalu mungkin makan bersama di restoran, atau makan bersama di rumah. Betapa simpelnya dan bebas tektek bengek. Nggak romantis? Emang. Kami orangnya emang santai dua-duanya, dan kami tidak merasa memerlukan syahdu-syahdu-an. Tapi tentunya ide kami ini HOROR buat orang tua. Saat saya bilang ke nyokap, doski langsung mem-veto dan mau mengadakan acara akad nikah di rumah. Waktu kakak saya yang perempuan menikah, seluruh acara diadakan di rumah dan disiapkan dalam waktu 2 minggu saja. Terburu-buru karena calon suaminya yang orang Spanyol nggak bisa lama-lama di sini dan kakak saya mau diboyong ke Spanyol setelah menikah (ya iyalaaah). Nyokap janji bikin acara di rumah itu “gampang” kok.

Ya, gampang kalau setelahnya tidak ada resepsi lagi di gedung. Masalahnya karena kakak perempuan saya tidak resepsi di gedung, dan kakak saya yang satu lagi laki-laki, nyokap sangat ingin agar saya punya pesta pernikahan di gedung. Nah, barangkali kalau dari awal saya bersedia akad nikah di gedung, rencana akad di rumah itu tidak akan muncul. Mungkin ada beberapa hal mengenai ide menikah di KUA yang harus saya ceritakan. Terus terang saja, kami ingin berusaha menghentikan “ritual” korupsi, dengan meng-“cut the crap” acara akad nikah nan syahdu yang membuat penghulu merasa sok penting dan berhak meminta tip banyak-banyak. Kalau kami yang nyamper ke kantornya dan semua administrasi dilakukan di kantor si penghulu, harusnya celah untuk korupsi semakin sempit daripada seluruh upacara pernikahan syahdu-syahdu-an di gedung. Lalu kedua, saya ingin nikahnya di KUA Tangerang saja, yang harapan saya “biaya”nya tidak setinggi KUA Jakarta Selatan. Sepupu saya dapet penghulu yang paling cunihin sejagat waktu menikah di Jakarta Selatan (rasanya tidak perlu saya ceritakan secara detail) dan membuat saya merasa alergi dengan KUA Jakarta Selatan. Jadi itulah latar belakang cerita mengapa awalnya saya tidak mau akad nikah di gedung.

Akan tetapi, dengan adanya dua acara (rumah dan gedung), membuat semua orang merasa repot harus datang dua kali. Apalagi acara akad direncanakan hari Jum’at dan rumah saya jauh. Akhirnya, rasa empet dengan korupsi harus ditekan dan perjuangan memeranginya harus disalurkan dengan cara lain dan kami memutuskan untuk melangsungkan akad nikah di gedung saja. Syukurlah, laporan dari abang saya yang survei ke KUA Jaksel mengatakan bahwa pelayanan di sana baik sekali. Mungkin gara-gara Jokowi-Ahok! Maka saya juga berhutang terima kasih untuk Pak Jokowi dan Pak Ahok. Makasih ya Pak! J

Lalu bagaimana dengan pestanya sendiri? Kalaupun harus pesta…. Hmm.. idealnya sih buat kami nggak usah ada pesta dan uangnya buat DP rumah aja, hehehe. Tapi let’s face it, orang-orang yang kami kedua mempelai, dan orang tua sayangi ada banyak sekali dan kami ingin berbagi kebahagiaan dengan orang-orang tersebut. Jadi…pesta yang saya inginkan (ya, saya…bukan kami, hwekekek) idealnya sebetulnya garden party. Karena semuanya sangat santai dan juga secara estetika, sesuai dengan selera saya. Awalnya saya sempet survei venue-venue garden party. Hanya saja memang kebanyakan tempat-tempat seperti itu hanya menampung sedikit orang. Lalu ketika saya menghadiri beberapa pernikahan teman dengan konsep itu…astajiiim, panasnya udara dan betapa tidak nyamannya. Sementara buat kami, yang amat sangat terpenting adalah kenyamanan para tamu. Kami memang secara umum tidak begitu bersemangat menghadiri pesta-pesta pernikahan, jadi kami hanya ingin agar tamu kami nyaman. Itu adalah gol nomer satu!

Lalu bagaimana dengan ide dari calon mempelai pria? Lagi-lagi inspirasi didapatkan ketika menghadiri pernikahan teman di Gedung Granadi. Aula Granadi memiliki balkon tempat penonton seperti aula untuk menonton opera, dan memang ada panggungnya. Ide dari CPP yang seorang film maker dan juga anak teater adalah, konsep “menonton pertunjukan”. Jadi tamu datang seperti untuk menonton teater. Pertunjukkannya inginnya wayang orang, karena CPP punya hubungan baik dengan kelompok wayang orang dari Muntilan. Akan tetapi konsep ini eksekusinya mahal, karena aula seperti Granadi begitu sewanya mahal, dan juga kami harus membayar honor dan ongkos para pemain yang pasti mahal, begitupun segala macam ongkos produksi yang lain. Tentunya makanan juga tetap harus kami sediakan. Bayangkan berapa total biaya untuk produksinya. Sementara budget kami sebetulnya adalah 0, dan semua biaya adalah hasil korek-korek sana sini. Tapi meskipun ide ini tidak jadi, kami setuju bahwa a good show atau hiburan yang bagus merupakan salah satu servis yang penting untuk membuat tamu nyaman dan merasa worth it untuk menghadiri pesta pernikahan.

Kemudian, hal lain yang juga kami tidak sukai adalah betapa seringkali (tidak semuanya), pengantin menjadi zombie di hari pernikahannya, di atas pelaminan, karena harus menghadapi antrian tamu yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan itu. Kami mengundang tamu atas rasa sayang dan ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka. Maka kami sangat ingin tetap “terkoneksi” dengan tamu-tamu kami dan dengan tulus menyambut mereka dan berbagi cerita juga. Jadi saya tidak ingin konsep duduk di pelaminan. Buat saya jadi manten itu bukan menjadi raja dan ratu sehari dan diperlakukan sebagai raja dan ratu yang berjarak dengan si rakyat jelata. Saya ingin tetap menjadi diri saya sendiri dan saya ingin bisa mengekspresikan kebahagiaan dan rasa sayang saya pada tamu-tamu saya.

Apa lagi? Jarak antara akad dengan resepsi dan mengganti baju setelah akad nikah untuk resepsinya. Saya tidak merasa perlu punya dua baju yang berbeda. Saya ingin praktis, satu baju saja, satu dandanan saja. Jadi saya ingin agar setelah akad nikah berlangsung, habis itu langsung resepsi saja. Tidak perlu balik ke ruang make-up dan kemudian masuk lagi dengan kirab yang formal. Resepsi yang saya maksud juga santai, menyapa tamu-tamu, menerima ucapan selamat dan foto bersama yang sifatnya spontan. Kami juga paling benci acara foto bersama yang terkesan sebuah kewajiban dengan MC memanggil-manggil macam di terminal bus saja.

Kemudian pemilihan waktu pun juga senyaman mungkin untuk tamu. Minggu siang kami anggap paling cocok, karena lalu lintas tidak sepadat Sabtu dan malam harinya orang masih bisa istirahat untuk berangkat kerja di hari Senin.

Jadi pendeknya, konsep acara santai, cut-the-crap, dan banyak hiburan dan sosialisasi. KISS = Keep It Simple Stupid. Urutannya: akad nikah kemudian langsung bablas resepsi santai, dan foto-foto spontan.

Untuk detail eksekusi dari konsep ini, ikutilah terus blog ini.

Seri Kawinan #Introduction

Ini adalah beberapa catatan mengenai pesta pernikahan saya yang dibagi-bagi dalam beberapa tema agar lebih mudah dan fokus menulisnya. Pernikahan saya baru saja berlangsung saat blog ini ditulis dan karena saya dan keluarga cukup hepi dengan pestanya, maka saya mau share mengenai proses dan eksekusinya. Tentunya selera setiap orang beda, dan impian pesta pernikahan setiap orang juga pasti beda-beda. Syukurlah semua hal yang terjadi di pesta saya sesuai dengan keinginan dan bahkan lebih baik lagi. Blog ini ditulis juga sebagai ungkapan terima kasih pada para vendor yang sudah mewujudkan keinginan saya. Semoga pembaca dapat menikmati tulisan ini.



Wednesday, September 4, 2013

Really seeing Indonesia?

When two German guest came to Indonesia and one of them has never been to Indonesia before, her fellow foreigner (from US), who is actually an expatriate working here and not just visiting, commented; “Oh how lucky are you to come here for the first time and get the chance to see Berau. You are really seeing Indonesia!”

Berau is a district in East Kalimantan, where there’s lots conservation/forestry/oil palm projects. The island in the district called Derawan is also a popular diving spot for tourists. I was accompanying these guests to go there and well…do stuff (you know, conservation stuff…not tourism stuff)

That's where Berau is
en.m.wikipedia.org

The comment from the US expatriate is embedded in my memory, maybe because I can reflect on how true (or untrue) it is.

Indonesia, is very vast, very heterogenic and very plural, that you cannot claim that you have seen Indonesia, only by visiting, Jakarta or Bali, or Berau, or Aceh, or Papua alone. I, who have been living here all my life, have never seen Indonesia. I’ve lived in Jakarta, I’ve been to several cities in Java and Bali, and Sumatra, I’ve visited (only) plantations or factories in Kalimantan and Sumatra, but there are lots of other place (too many!) that I have not seen.

One of the images you will get if you google "Indonesia"
www.hdwpapers.com

However, referring to the expatriate’s comment, I myself, even though not a foreigner (but I’m a Javanese born in Jakarta, so what do I know about Indonesia other than Java!), have been lucky enough to see Berau, Muara Wahau, Sampit, Lubuk Linggau, Kembang Janggut, Kerinci, Buatan, and other remote places. Why lucky? Because most people rarely seen, rarely know, rarely can imagine how these places looks like. Hell, most people may not have these places in their minds at all. And when you have been to these places, the concept and image of Indonesia that you have may be deconstructed, and you may have to revisit them (unless you are a hardcore activist, with only NGOs report as reference instead of tourism brochures). So yes, maybe one could say that if you have visited Berau, then you would have a good counter image of Jakarta and Bali.

Unfortunately, this is one of the view of Berau District :(
Image courtesy of Fabian Schmidt

So in way, the expat’s comment can be so true, even though we can argue that Berau doesn’t represent Indonesia as a whole either. Well, there’s nothing wrong by never really see Indonesia, who have the time to do that anyway, but I personally feel that seeing a “different” image of Indonesia made me have…a different perspective, that’s all. A different perspective of my existence and being, in this country, in the world, and in the universe eventually.


Have you had an experience being in a place that made you reflect on yourself?

Thursday, August 29, 2013

A License to Judge People? :)

A friend of mine once said that I can come and judge a society because I have a degree specifically on that. I can say "Dude, I'm judging you and I can! I have a degree for that!" Haha. Yes, I have a degree on Anthropology, a science which tries to figure out human beings. That's just about it. Human beings. Anthropos.

Spending almost 4 years in college, learning a science of unravelling the nature of human being, seeking pattern in their behaviour and trying to describe and explain "culture", you would think that I, the person who manage to hold a degree on anthropology, would be able to explain human beings and culture a lot easier than those who doesn't. While this may hold true for other anthropologists out there, it is just completely the opposite for me. But maybe I'm just a really crappy anthropologist :)

I have met a lot of people who would talk a lot about what they know and what they think, about people, society and culture. They would speak in a very confident manner, going through various topic about various people and society. Most of the time, I just listen and most of the time, I didn't and couldn't reciprocate. I would have this complicated toughts racing in my head, faster than I could understand it and a lot faster than I could articulate it.

Why? Because the first thing I learned from my anthropology courses is that: I don't know a damn thing about people. People and society are just....complicated.

First of all, do you know that there are more than 400 definitions of culture? So when somebody ask a question that they considered simple question "what is culture?" I would just think "well, shit".

Second, anthropologist spend years, and I mean years, doing research in a society until they are confident enough to write an ethnography (a description) about what they think (what the anthropologist think) about that particular society (only that particular society). In anthropology, we learn about cultural relativism, we learn about ethnographic method, we learn about how careful we must be in drawing a conclusion about a society. Almost the same with how careful a chemist must be in creating a chemistry experiment; taking notes, ensure safety, selecting the right tools, ensure the tools are clean, ensure the measurement is correct, etc. The different is, we cannot measure "people" with a beaker glass or scale and we cannot label them with alphabets and make equation out of them. The only tool an anthropologist has is him/herself; his/her senses and his/her judgement.

I don't actually know what I wanted to say in this post, except that sometimes, people who doesn't take such careful measure before judging something bothers me. A lot. I myself still make this mistake sometimes; too easy in judging something, but I try not to and I am lucky to have a wise person in my life to always remind me :) But some people...doesn't even try, and can't be reminded of it. And that bothers me.

Friday, August 16, 2013

Beda Yoga dengan Pilates

Yoga dan pilates amat sering dibandingkan dan dianggap mirip satu sama lainnya. Saya sendiri awalnya nggak ngerti bedanya apa, well…sampai sekarang juga nggak ngerti-ngerti amat sih bedanya apa, secara saya juga bukan instruktur yoga apalagi pilates. Jadi mendingan Anda nggak usah jadi baca tulisan ini deh, hehehe. Tulisan ini bukanlah pendapat ahli, hanya refleksi pengalaman dari orang awam yang pernah mencoba dan mempraktikan kedua jenis olah tubuh ini ditambah kegemaran meng-google dan membaca-baca. Tulisan ini juga bukan dimaksudkan untuk memberikan opini berimbang karena saya jelas-jelas penggemar yoga.

Pengalaman saya mencoba yoga dan pilates adalah di kelas salah satu gym yang pernah saya jajal kira-kira 4 tahun yang lalu. Saat mencoba kedua kelas ini, saya berada dalam kondisi tidak fit; nggak pernah olahraga, makan tidak diatur baik jumlah maupun jenisnya, dan usia juga membuat saya makin kehilangan metabolisme tubuh yang baik. Pertama dicoba, kelas yoga. Perasaan selama kelas adalah ngos-ngosan, keringetan dan otot jerit-jerit karena dipaksa kerja, dan tentunya saya pingin banget nonjok si instruktur yang perilakunya tenang macam air itu. Tapi setelah kelas, wuaah, kok rasanya badan enak dan lega ya, semua otot rasanya terrenggang dengan baik. Minggu depannya, nyoba kelas pilates. Ternyata kelas ini lebih bikin nangis, tapi saya nggak berani kepingin nonjok si instruktur, soalnya doski adalah alpha female yang sangat galak. Sepanjang kelas perintah-perintahnya ala ospek senior yang kalo di antrop UI, dinamakan “pos bangsat” dan doski juga nggak ragu-ragu ngatain “gendut”, “badannya berat sih”, dan “abis ini makannya kwetiau goreng ya”. Saya cinta banget sama si instruktur ini! :D  Keringet mengucur super deras, dan setelah kelas rasanya otot sakit semua dan capek. Lalu….besoknya otot paha saya super sakit dan saya nyaris nggak bisa jalan apalagi naik turun tangga selama 2 hari. Dua hari itu saya jalan dan naik turun tanggal kayak nenek-nenek. Pengalaman tak terlupakan.

Waktu berlalu, saya berhenti nge-gym, lalu mulai lagi, lalu berhenti lagi, lalu mulai lagi. Kali ini dengan kekuatan penuh; les dansa, rutin treadmill + strength training, plus yoga seminggu sekali karena kebetulan ada kawan-kawan yang ngajakin untuk patungan manggil instruktur yoga. Pengalaman yang dirasakan masih sama, sepanjang kelas mau nangis dan keringet bercucuran, tapi setelahnya badan terasa enak, lega dan ringan. Saya bersemangat banget ikutan yoga karena saudara-saudara, saya payah banget di dansa karena tidak punya postur, keseimbangan dan core strength yang baik.

Lalu, ngobrol-ngobrol dengan kawan saya si dokter olahraga, dia menyarankan untuk melakukan pilates aja kalau memang tujuannya untuk memantapkan kebisaan berdansa. Senam pilates memang banyak digunakan oleh penari karena berfokus pada postur, keseimbangan dan terutama sekali adalah core strength. Jadi…saya mencari di youtube, video pilates untuk pemula. Mencari video instruksi senam adalah kebiasaan baru yang saya lakukan dan sudah saya lakukan untuk yoga, buat nambah-nambah rutinitas sama instruktur sekali seminggu. Terus ketemu lah satu video pilates untuk pemula yang kemudian saya praktikan. Dan yak, perasaannya masih sama. Otot-otot, terutama otot perut, paha dan pantat berasa dihajar bener (padahal cuma setengah jam latihannya), dan di akhir latihan, rasanya cuma bete dan sakit.

Pilates juga menggunakan alat untuk membantu allignment tubuh
www.pilatesofdunwoody.com

Berdasarkan pengalaman melakukan latihan pilates (yang cuma 2 kali itu), dan yoga, kalau boleh saya membandingkan, di yoga jauuh lebih banyak perenggangan, sedangkan di pilates jauuuh lebih banyak crunching (maaf saya nggak bisa nemukan padanan dalam bahasa Indonesia, apa ya, pengkontraksian? Pengerasan?) otot. Itu aja sih beda utama yang saya rasakan, dan itulah mengapa di akhir kelas yoga tubuh terasa lega, sedangkan di akhir kelas pilates tubuh terasa..uhm, sakit. Pilates juga jauh lebih fokus pada kekuatan otot perut, paha dan pantat karena orientasinya pada core strength, sedangkan yoga melatih berbagai otot, dari segi kekuatan dan juga fleksibilitasnya.

Hm, sebelum saya membahas lebih jauh lagi, sebagai latar belakang, yoga yang saya lakukan adalah hatha/power/vinyasa yoga dan juga ashtanga (versi introduction). Ini adalah jenis-jenis yoga yang relatif berfokus pada gerakan fisik, jadi saya tidak merapal mantra, meditasi, bahkan tidak melakukan pernapasan yang macam-macam, hanya ujayi saja. Akan tetapi bahkan dengan mempraktikan yoga jenis ini saja saya merasakan pendekatan yoga lebih “spiritual” dibandingkan pilates. Yoga mendekati tubuh secara lebih halus, memahami tingkat keadaan tubuh, “memaafkan” tubuh jika belum mampu mencapai sebuah pose (tiap pose ada tingkatan mudah hingga sulit), melatih tubuh secara perlahan dan fokus pada pernapasan dan kesadaran mendalam (inner awareness). Sementara pilates lebih “memecut” tubuh untuk dapat mencapai sebuah kondisi tertentu; core yang kuat, postur yang benar, keseimbangan yang baik. Inilah mengapa bagi tubuh-tubuh yang tidak fit, latihan pilates bisa terasa amat menghajar. Tapi siapa tahu, latihan pilates bisa sangat memuaskan bagi tubuh yang sudah relatif fit dan membutuhkan tantangan. Kalau aja gratis, saya sih mau aja nanti nyoba-nyoba pilates lagi, hehe.

Yoga sangat lekat dengan ilmu spiritualitas asal Timur (India)
www.guideyoga.org

Jadi kesimpulannya, yoga dan pilates beda kan? Tapi enggak ada salahnya kalau mau melakukan keduanya, karena keduanya sebetulnya saling mendukung dan tidak berkontradiksi. Lakukan mana yang paling sesuai dengan kebutuhan dan sifat Anda.

Wednesday, August 14, 2013

Kumpulan tips olahraga dan diet

Dikarenakan saya sudah beberapa waktu sejak tulisan terakhir saya, sedangkan (katanya) blogger yang sakses adalah yang konsisten bikin postingan, maka dari itu saya mencoba membuat tulisan ringan ini.

Saya adalah internet junkie, dan saya sering 'tersesat' di internet. Tiap orang candunya beda-beda, kalau saya: 9gag, fashion blog, wikipedia, video nari-nari daaaan...saya paling demen nge-google tips atau how to. Tentunya tips/how to ini terkait dengan interest saya, yaitu tentang fashion atau kecantikan, diet, olahraga, sampai cara menulis essay buat melamar beasiswa (saelah, biar kesannya pinteran dikit, gak cuma urusan muke ame bodi doang). Yang saya mau bahas di tulisan ini, khusus tips diet dan olahraga ajah. Bukan cuma dari internet aja sih, tapi juga dari teman-teman dan juga pengalaman pribadi. Saya baru aja sakit sebulan (istilah Sundanya harugrag, makanya lama beut sakit), dan tentunya urusan diet dan olahraga jadi tertinggal. Karena sekarang sedang berusaha kembali pada jalur, maka saya terinspirasi menulis ini. Beberapa hal yang ada di sini adalah pengulangan dari tulisan-tulisan terdahulu.

Sebelumnya, apakah saya sukses mencapai target diet dan olahraga dengan tips-tips ini? Kalau pakai standar saya sih, saya akan mengatakan bahwa saya sukses! Tapi kalau standar Anda adalah turun berat badan 10 kg...waduh...maap saya cuma turun 3 kg sajah. Tapi saya merasa metabolisme saya jauh lebih bagus, saya makan lebih baik, badan saya meskipun berat tapi tidak glombor-glombor seperti dulu waktu belum ikut rejimen olahraga dan diet.

Baiklah, kita mulai saja

1. Pemanasan dan pendinginan sebelum olahraga adalah super wajib. Lakukan dynamic stretching saat pemanasan, dan static stretching saat pendinginan.

Ini saya ketahui sejak SMA. Dengan stretching pemanasan dan pendinginan, ambil nilai lari tidak membuat paha saya sakit seperti biasanya. Akan tetapi saya belum lama mendapatkan tips baru, bahwa ketika badan masih 'dingin' sebaiknya jangan melakukan stretching statis. Tau kan stretching statis? Yang ototnya ditarik ajah tanpa banyak gerak. Stretching statis saat badan masih dingin beresiko otot bisa putus. Serem kan? Gerakan-gerakan dynamic stretching bisa ditemukan di youtube.

2. Minum kafein sebelum olahraga meningkatkan pembakaran dan membuat semangat berolahraga.

Ini sih logis lah? Gw kalau minum kafein biasanya jadi agak hiperaktif, dan cara apa yang lebih baik untuk menyalurkan energinya kalau bukan olahraga. Kafein juga meningkatkan resistensi otot, jadi kita gak cepet ngerasa "sensasi terbakar" saat otot lelah. Sebagai informasi, dosis kafein tertentu dilarang di Olimpiade. Kafein dianggap doping.

3. Metabolisme, metabolisme, metabolisme

Hidup akan lebih mudah jika metabolisme kita bagus. Saya kadang agak kaget ketika saya lagi gak gitu kontrol, makan agak banyak atau jenisnya yang berkalori tinggi, tapi badan saya nggak langsung menggendut tuh. Ini karena saya udah meningkatkan metabolisme. Ada tiga cara tubuh kita membakar kalori: melalui olahraga dan bergerak, melalui pencernaan makanan kita, dan melaksanakan fungsi dasar tubuh seperti memompa darah, berpikir dan menghangatkan tubuh alias metabolisme basal (lihat di sini). Nah 70% dari kalori yang kita bakar setiap hari adalah dari metabolisme basal ini (yang ahli, silakan mengkoreksi kalau ini salah). Jadi kalau metabolisme basal ini bisa ditingkatkan, enak kan? Nggak ngapa-ngapain tapi badan sibuk bakar kalori.

Caranya gimana? Yaitu dengan memperkuat otot. Kalistenik, pilates, yoga, angkat beban adalah berbagai olahraga yang dapat memperkuat otot. Disarankan untuk memprioritaskan jenis olahraga ini daripada cardio jika waktu kita terbatas. Saya pribadi, hanya melakukan yoga, dan sekali-sekali jalan cepat kalau pas bisa. (Cardio adalah kemewahan buat saya, soalnya harus jadi anggota gym atau turun di car free day. Jogging di kompleks? Enggak lah yaw).

Cara lain? Jangan membiarkan diri Anda kelaparan. Ketika tubuh lapar, dia akan panik dan mulai berhati-hati membakar kalori, alias...metabolisme akan turun. Jadi pastikan Anda mengatur asupan makanan Anda agar kalori tidak berlebihan tapi juga badan tidak terlalu kelaparan (kelaparannya dikit ajah).

4. Kalau baru mulai, paling mudah dengan cardio

Berlainan dengan tips sebelum ini, kalau Anda memulai dengan kondisi tubuh yang kurang fit, barangkali overweight atau obesitas, atau bodyfat tinggi, paling mudah dan aman memulai dengan cardio dan paling enak make alat di gym (treadmill, sepeda atau eliptical, lebih enak soalnya lebih stabil dan kita bisa atur tantangannya). 3-4 kali seminggu sejam, diikuti dengan strength training.

5. Kalau otot kesakitan, artinya si otot makin kuat

Maka disyukuri aja, jangan dirutuki. Eh ini maksudnya sakit otot yang pegal-pegal karena abis olahraga loh ya, bukan cedera seperti keseleo atau putus. Tapi jangan dipaksa untuk berolahraga dalam kondisi pegal begini. Tunggu 1-2 hari sampai dia berkurang sakitnya. Kalau saya pribadi, mempercayakan minyak kayu putih untuk meredakan sakit (just FYI, cara ini ditentang habis oleh teman saya yang dokter olahraga dengan alasan belum ada bukti ilmiah untuk ini, sedangkan bukti ilmiah yang ada justru menyuruh agar otot dikompres dingin, but seriously...minyak kayu putih works O______O), dan beberapa gerakan stretching ala yoga.

6. Yang penting adalah total asupan kalori seharian

Terserah mau diatur makan banyaknya siang atau malam atau pagi, dibagi 3 kali makan atau 6 kali makan, pokoknya yang penting total kalori seharian tidak berlebihan. Sesuaikan dengan rutinitas dan gaya hidup dan apa yang nyaman buat Anda. Saya pribadi, paling menahan diri di pagi hari, agak menahan diri di siang hari, dan makan yang kenyang di malam hari.

7. Jangan terjebak dengan obsesi untuk menjadi sempurna

Ini terutama jebakan banget buat saya si Virgo yang perfeksionis. Gagal menahan diri untuk nggak makan seporsi penuh makan siang? Nggak apa-apa, lanjutin aja dietnya abis itu. Nggak sempet olahraga selama seminggu? Nggak apa-apa, mulai aja lagi. Ini adalah yang harus terus-menerus ingat. Soalnya seringkali terjebak untuk menyerah sama sekali ketika gagal sekali aja dan kemudian susah mulai lagi. Nggak usah perfect-perfect amat dan nggak perlu total menahan diri. Jajan aja bubble tea atau es krim kalau mau, atau makan aja sepotong cake coklat sisa Lebaran itu, asalkan ingat untuk nggak bablas. Jujur, meskipun turun berat badannya lamaaa dan nggak sebanyak yang diinginkan, cara ini lebih baik daripada bisa turun banyak, jadi kurus, tapi nggak tahan lama. Sejauh ini, ini adalah badan ter-ok saya (bahkan dibandingkan waktu SMA), dan bertahan paling lama juga.

So that's it, I guess. Good luck!

Thursday, August 1, 2013

Gerakan yoga sudah ada dalam shalat?

Siapapun yang bilang bahwa "gerakan yoga itu udah ada di dalam shalat", bakalan ane fentung!

Apakah shalat menyuruh Anda melakukan gerakan ini

Locust Scorpion Pose
www.fitsugar.com

 Atau ini

Peacock pose
www.yogaposeweekly.com


Atau ini

King Pigeon Pose
www.fitsugar.com


Sebagai seorang yogi yang meskipun pemula (enggak, gw gak bisa melakukan pose-pose di atas) tapi sedang tekun-tekunnya mempraktikan yoga, dan bener-bener merasa “dihajar” tiap habis sesi latihan (saat ini deltoid dan quad gw lagi sakiiiiit abis yoga kemarin), saya tiba-tiba sebal ketika teringat bahwa ada yang bilang bahwa “gerakan yoga udah ada di dalam shalat”.

Apanya!

Usut punya usut (google punya google), ternyata pernyataan itu asal muasalnya adalah dari sebuah buku berjudul Ketika Dokter Memaknai Shalat yang ditulis oleh dr. Bahar Azwar SpB Onk. Saya nggak tau sih isi buku itu apa, tapi usut punya usut (google punya google) poin-poin penting dapat ditemukan di blog ini.

Ah! Tipikal cocologi Islam. Cocologi, atau yang istilah kerennya Bucailleism adalah usaha untuk mencocok-cocokan agama (khususnya Islam), atau kitab suci (khususnya Qur’an) dengan fakta-fakta ilmiah. Kegiatan ini dipelopori oleh Maurice Bucaille dengan mempublikasikan buku berjudul The Bible, The Qur’an and Science yang bahwa pernyataan dalam Qur’an tidak berkontradiksi dengan sains dan bahwa isi Qur’an sesuai dengan fakta-fakta ilmiah. Ada banyaaaak sekali cocologi yang kita temui, dari yang “serius” tentang Teori Big Bang yang katanya sudah ada di Qur’an, perkembangan embrio yang katanya sudah ada di Qur’an, bumi bulat, 7 lapisan langit, sampai yang “aneh-aneh” kayak gambar satelit mengkonfirmasi bulan pernah terbelah, daging babi bahaya buat kesehatan, atau Neil Armstrong mendengar azan di bulan (eh itu masuk cocologi bukan yah?). Anyway, list cocologi (beserta debunk-nya) bisa ditemui di sini.

Mengutip blog ini, ada dua kata kunci dalam membahas cocologi; prediksi dan postdiksi. Cocologi adalah ilusi mereka yang merasa sedang melakukan prediksi, padahal sedang melakukan postdiksi. Temuan ilmiahnya ada dulu, baru kemudian diklaim cocok dengan kitab suci. Akan tetapi tidak pernah, berdasarkan kata-kata dari kitab suci, kemudian menghasilkan penemuan. Ya jelas, karena metode ilmiah harus mendasarkan hipotesis dari fakta dan fenomena yang diamati, baru kemudian melakukan berbagai pengujian untuk mengkonfirmasi hipotesis. Lalu ingat, bahwa sains selalu dapat dikoreksi. Sekarang misalkan sebuah teori sains sudah dianggap “sesuai” dengan sebuah ayat. Eh, tau-tau ternyata ada ilmuwan yang kemudian menemukan bahwa teori tersebut salah, dan menemukan fakta baru dengan penelitian yang dilakukannya. Lalu bagaimana? Sedangkan kitab suci semestinya berisi kebenaran absolut.

Ada banyak sekali orang yang senang dengan cocologi. Mereka tidak punya maksud jahat. Mereka tentu senang mendapat konfirmasi bahwa kitab suci agama yang dianutnya adalah benar, bahkan superior. Ini membuat mereka semakin semangat beribadah dan semakin yakin dengan kepercayaannya. Bagaimana bisa disalahkan? Akan tetapi di sini sains yang menjadi korban. Saya yang cuma urusan yoga aja bisa sebal, apalagi ilmuwan seperti Copernicus, Newton dan Einstein. Seperti saya yang lagi kesakitan otot hamstring dari latihan yoga, para ilmuwan ini bekerja keras untuk penemuannya. Sementara para cocolog meng-klaim kemenangan dengan mengatakan “oh itu sudah lebih dulu disebut di kitab suci”, sementara tidak satu pun pencapaian sains yang diapat dengan menggunakan kitab suci.

Ada baiknya berhenti melakukan cocologi meskipun kita pikir itu harmless. Kalau masih butuh konfirmasi sains dan pengakuan dari orang lain, mungkin Anda harus merenungkan kembali iman Anda. Anda shalat karena butuh olahraga atau karena perintah agama? Anda nggak makan babi karena takut cacingan atau karena perintah agama? Soal kenapa agama memerintahkan demikian, apakah Anda berhak mempertanyakan itu? Apakah Anda berani menilai kebenaran perintah Tuhan?

Balik ke yoga dan shalat, ada statement hebat di situ yaitu “shalat lebih canggih daripada yoga”. Masalahnya, lebih canggih dengan cara yang bagaimana itu tidak dijelaskan. Nah, kenapa saya nggak setuju. Ada beberapa hal

Pertama dari segi stretching…. Serius nih mau ngebandingin shalat sama yoga? Mendingan nggak usah kali ya?

www.athomeyoga.typepad.com

Kedua dari segi muscle endurance and strength, shalat sama sekali nggak ada gerakan yang menantang muscle endurance and strength. Gerakan shalat mungkin dianggap sama dengan yoga karena di yoga ada urutan pemanasan yang dinamakan Surya Namaskara atau Sun Salutation.

Gerakan Shalat
http://fitrianijafar.blogspot.com/2012/11/sunnah-sunnah-shalat.html
Sun Salutation
www.yogavibes.com

Bisa dilihat bahwa dalam sun salutation ada gerakan plank yang menantang core muscle, push up yang menantang lengan dan bahu, warrior yang menantang otot paha dan betis. Lebih jauh lagi, dalam yoga, cara melakukan pose benar-benar diperhatikan agar benar, dan semua otot diperhatikan dan dipakai. Dan mengapa muscle endurance and strength itu penting? Karena otot kuat, maka metabolisme tubuh semakin baik. Lebih jauh lagi, beberapa pose (yang tidak ada dalam shalat) bisa merangsang kelenjar hormon untuk berfungsi lebih baik. Dalam hal metabolisme misalnya, pose shoulder stand merangsang kelenjar thyroid yang menjalankan metabolisme.


Ketiga, balance. Shalat tidak melatih balance Anda.

Crow Pose
www.espn.go.com


Keempat, pernapasan. Di yoga, napas adalah satu-satunya yang bisa membuat bertahan. Kalau Anda nggak bisa atur napas dengan baik, wassalam. Berbagai pose dalam yoga membantu untuk lebih “terkoneksi” dengan pernapasan dan bagaimana napas mempengaruhi keadaan tubuh dan kesadaran, karena hanya dengan mengatur pernapasan lah kita bisa mencapai pose tersebut.

Hummingbird Pose
www.fitsugar.com

Kelima, manfaat cardio. Pernah ngos-ngosan karena shalat? Saya sih enggak. Tapi kalau yoga...hmm bisa sampe muka merah, netes-netes, ngos-ngosan, ampe matnya licin dah!

So, maaf ya kalau saya nggak setuju bahwa shalat lebih canggih daripada yoga. Shalat adalah shalat. Shalat adalah ibadah dan bukan olahraga, dan apakah ibadah butuh pembenaran? *elus-elus jenggot. Kalau nggak mau yoga ya nggak usah, nggak apa-apa, tapi juga nggak usah klaim bahwa "gerakan yoga udah ada di dalam shalat" apalagi lebih canggih. Bikin sebel tauk.

Catatan: Argumen mengenai cocologi saya dapat dari kawan-kawan rahasia saya di dunia maya. You probably know who you are.

Monday, July 29, 2013

Book Review: The 100 Year Old Man Who Climbed Out The Window and Dissapeared

The story ended with our (Indonesian) President Yudhoyono, requesting the main character, Allan Karlsson, the 100 year old man who climbed out of the window and dissapeared, to help him make an atom bomb.

Did you see that coming? I didn't.

SBY is cooking a nuclear project with the help of 100 year old man!
Saya prihatin :(

I bought the book because of the curious title of course. The back cover didn't explain anything in terms of what the story is about. Even if there's a synopsis anywhere, it is very minimal. What the hell is this book about? Is it a mystery? Ghost story? Detective story?

Considering I was on vacation at that time, I thought I had the spare time to find out. And so I read it.

It turns out that the book is well written. With lots of cold and somewhat sarcastic European humor (if I may?) that I liked. So yes, the story is about Allan Karlsson, a 100 year old (Sweden) man who runaway from the old's people home on his birthday and find an adventure. He didn't know where to go and what he wanted to do, and just go where his feet takes him and what his gut told him. He ended up stealing a suitcase with lots of money in it, which belongs to a drug dealer. During his run, he picked up friends, including an elephant pet. I'm gonna stop right there cause surely, you don't want me to tell you the whole story, right?

But, what's surprisingly nice for me is, that the past of Mr. Allan Karlsson was also told in this book. And because his life takes place during WW II and Cold War, there was a lot of "history" content in it. In fact, in this fictional story, Allan Karlsson take role in the world's important historical events. For example, he helped Oppenheimer make the atom bomb that blew Hiroshima and Nagasaki. In fact, he accidentally met with important people in history, General Franco, Stalin, Harry Truman, Mao Tse Tung, Kim Il Sung and (little) Kim Jong Il. That was all fun for me, until he decided to go to... Bali.

Crap! What now, do I have to go all post-modernist and post-colonialist on this book?

Well I don't know if this is a post-modernist or post-colonialist take on the story, but how the writer describes Indonesia, really makes me sad. He describes Indonesia as:

Image of "exotic Bali". Many would only remember Bali
when mentioned about Indonesia. But some,
doesn't know Bali is in Indonesia.
Picture taken from http://intrepidberkeleyexplorer.com/Page21F.html
Bali (that's one)

Stupid woman (two)

Marries a bule tourist (yep)

Corruption

Corruption

Corruption

Oh well.





To sum it up, I'm just going to quote the book for you:

"...in Indonesia, everything was for sale, and so anyone who had money could get anything he wanted." (pg. 280).

Some Indonesian might be offended and threatend to take all Indonesian people to pee on Sweden and drown it (hot headed nationalist), some might agree with that statement (Indonesians who are in denial and just couldn't deal being an Indonesian I would say), some would be just sad. Like me. I'm just sad. Like, what could I possibly say? Corruption IS a problem here and that is something that I can't deny. But having the whole Indonesia reduced and described like that is just.... saddening.


Well, the story being, that the stupid Balinese girl who married the wealthy bule, bribe her way up to the governor chair (not so stupid after all), and then monopolize the hotel industry in Bali. After Suharto takes over, she decided she wants to retire and being offered a post as an Ambassador in France. Yep, might be a "familiar" story for us, yeah?

Also, at the end, the 100 year old man who steals the suitcase full of money and kill some people along the way, Indonesia is used as an escape route. Because it is SO corrupt there, that some outlaws plus an elephant pet can get in with no problem as long as they provide bribe money. And we provide charter planes too! No questions asked. And that's how you conclude the and resolve the story of this book.

But hey, don't we all do what the writer is doing? Don't we also "reduce" countries into just names and images and brands in our minds? Argentina is Tango and soccer, Brazil is Samba and soccer, Russia is cold and communist, Thailand is Phuket and transgenders and sex, America is New York and Carrie Bradshaw, or America is cowboys and horses (or Gipsy Danger for all of you Pacific Rim geeks out there).

I personally imagine New York when thinking about United States.
Americans are smart enough to nurture this images through pop culture.
Who hasn't watch Sex and the City? Please!


And do we think of how people would feel when we use these images to describe them and their nation and their country? Nation is an imagined community but nationalism is a power not to be underestimate. So perhaps we should be more considerate? Especially if it is a negative one.

And Sweden is just IKEA! xP