Thursday, September 13, 2018

Wiro Sableng (2018)


Ketika akhirnya Wiro Sableng tayang di bioskop setelah lama dipromosikan saya masih nggak tau apa yang seharusnya saya harapkan. Konon ini produksi yang sangat epik dengan dukungan studio Hollywood, Cing! Soal cerita Wiro Sableng sendiri saya pun tidak begitu familiar. Serial televisinya saya hanya ingat samar-samar. Waktu itu rasanya hampir tidak mungkin untuk tidak menonton paling tidak 1-2 episodenya di televisi karena waktu itu kan belum ada netflix. Selain dari itu, seorang teman yang sudah menonton duluan terdengar tidak begitu terkesan dengan filmnya dan mengatakan ia bosan ketika sampai di tengah film.

Demi mengetahui sendiri dan demi agar tidak ketinggalan film yang epik ini, akhirnya menontonlah saya film Wiro Sableng ini di bioskop dengan mood nggak jelas dan harapan yang nggak jelas juga.

Ternyata, cukup mengejutkan bahwa saya benar-benar menikmati film ini dari awal sampai akhir. Salah satu faktor penting yang berperan membuat saya bisa asik padahal teman saya bosan adalah berkat keterlibatan saya dalam sebuah pojokan fandom Game of Thrones yang suka membuat analisa-analisa terhadap serial tersebut. Gara-gara sering membaca analisa mendalam terhadap adegan-adegan di GoT saya jadi terbiasa untuk menonton film dengan super atentif dan dengan lensa pembesar 1000x. Setiap adegan saya memperhatikan benar dialog, setting, musik, kostum dan lain sebagainya, dan hasilnya ternyata saya sangat asik menonton Wiro Sableng. Meskipun banyak kekurangannya tapi film ini betul-betul indah. Ini adalah apa yang saya harapkan untuk bisa dilakukan terhadap materi-materi dongeng, cerita dan sejarah milik nusantara, yaitu memproduksi film atau serial televisi dengan nilai produksi yang tinggi. Untuk membahas apa yang saya maksud, di sini saya akan membuat catatan-catatan tentang hal-hal yang saya sukai dan hal yang saya kurang sukai dari film tersebut.

Hal-hal yang saya suka

  • Soundtrack. Soundtrack. Soundtrack. Mungkin saya emang tipe yang gampang dibikin seneng sama soundtrack kali yah. Contohnya film King Arthur yang dihina dina semua orang saya suka banget dan salah satunya adalah karena soundtracknya keren. Begitupun di film Wiro Sableng ini, soundtracknya sungguh keren dan bikin adegan perkelahiannya jadi sangat nikmat ditonton.

  • Tim penjahat. Saya amat sangat suka bahwa tim penjahat terdiri dari jago-jago silat dengan bentuk dan karakter yang amat berbeda-beda. Si iblis bentuknya beda banget dengan si feminin yang agak mengingatkan pada salah satu jago silat di serial Condor Heroes yang dulu saya suka banget (berambut panjang warna merah dan suka ngisep darah, lupa namanya siapa). Dan tentu saja Kala Ijo. Ya Awloh Kala Ijo! Tidakkah adegan perkelahian dengan Kala Ijo itu paling keren sepanjang film dengan keterampilannya yang unik (sebuah mantra yang hanya mempengaruhi laki-laki) dan kejagoannya yang luar biasa (dia sendirian melawan 4 jagoan kita)? Ya memang sih kita tidak disediakan kisah latar belakang maupun karakterisasi yang matang dari tokoh-tokoh ini. Tapi buat saya itu tidak penting. Bahwa adanya variasi-variasi unik seperti mereka yang hadir di film saja sudah cukup keren buat saya di titik ini.

  • Setting. Perhatikanlah pemilihan setting untuk setiap adegan-adegan perkelahian. Menurut saya settingnya sangat indah dan artistik.

  • Dialog. Menurut saya dialognya menghibur dan dilafalkan dengan sangat natural oleh para pemainnya. Saya nggak peduli soal adanya dialog-dialog yang "kekinian" karena ini bukan film sejarah yang harus tepat akurat. Justru itu adalah suatu bentuk kreativitas yang harus dihargai.

  • Kostum. Mungkin apresiasi saya terhadap kostum di sini ada hubungannya dengan kekecewaan saya terhadap kostum dalam film Sultan Agung yang saya tonton sebelumnya. Kostum di Sultan Agung terlalu amat sederhana dan tidak merepresentasikan keagungan kerajaan Jawa. Padahal Geertz bilang, bagi kerajaan-kerajaan Jawa, power served pomp, not pomp power, maka dari itu kostum kerajaan haruslah super grandeur. Kostum dalam film Wiro Sableng menyampaikan hal itu dengan lebih baik.

Soal editing atau camera angle dan sebagainya saya nggak bisa komentar sih ya karena itu hal teknis banget yang saya nggak tahu. Bagi saya sih kelihatan apik-apik saja. Begitupun dengan koreografi, tampak apik saja di mata saya dan saya cenderung percaya pada keahlian Kakang Mad Dog The Raid. Penggemar-penggemar action coreography mungkin akan jauh lebih fussy daripada saya mengenai ini.

Dari poin-poin di atas terlihat bahwa keindahan film ini baru terasa jika kita memperhatikan benar hal-hal yang terkait dengan nilai produksinya dan jika kita melihat film ini sebagai film silat, dengan tribute-tribute terhadap film-film klasik silat dan kesetiaan terhadap source material yang barangkali memang di mata penonton jaman now bisa dianggap agak "sinetron". Sebagai film silat, bintang utama dari film ini juga adalah adegan-adegan perkelahiannya (padahal saya baru bilang bahwa saya anaknya ga gitu ribet sama koreografi ya hahaha). Maka film ini paling bersinar jika kita melihat dalam potongan-potongan adegan perkelahian silatnya yang bagi saya udah sangat keren meskipun mungkin kurang keren buat para action junky yang fussy soal koreografi (barangkali yah...saya nggak tau sih).

Untuk plot-nya memang ada permasalahan dan buat saya, permasalahan utama datang dari banyaknya Chekov's gun yang tidak ditembakkan dalam cerita film. Ini amat disayangkan karena terbukti plot adalah yang paling utama mempengaruhi kepuasan penonton. Teman saya bosan dan banyak reviewer di luar sana yang mengeluhkan plot bahkan sampai di tingkat mereka merasa film ini nggak ada bagus-bagusnya sama sekali.

Anton Chekov bilang jika ada senapan tergantung di dinding di babak pertama, maka di babak kedua atau ketiga, senapan tersebut tidak boleh tidak harus ditembakkan, kalau nggak, itu namanya ngasih janji palsu. Chekov's gun hampir serupa dengan foreshadowing, yaitu sebuah alat plot yang bertujuan untuk memberi petunjuk terhadap apa yang akan terjadi berikutnya, fungsinya untuk menggoda ketertarikan pembaca/penonton dan selain itu yang penting adalah untuk menjaga agar mereka tidak kecewa nantinya. Intinya, jangan menaruh sebuah foreshadowing jika tidak akan terwujud nantinya. Saya merasa, film Wiro Sableng ini banyak sekali "senapan tergantung di dinding" yang tidak pernah ditembakan, yaitu:

  • Hubungan antara Mahesa Birawa dengan Suci, ibunya Wiro serta Ranaweleng. Ini adalah senapan kaliber terbesar yang tergantung di dinding dan tidak pernah ditembakan. Fakta dari hubungan tersebut tidak mempengaruhi cerita dari segi apapun. Ada sebuah review yang bilang bahwa dia menunggu-nunggu momen seperti "Luke, I am your father" di akhir cerita. Ealah, sama banget mas, aku pun bener-bener terlintas seperti itu persis pas nonton saat-saat terakhir Mahesa Birawa. Selain tidak mempengaruhi cerita, penonton pun tidak diberikan jawaban apapun atas latar belakang cerita Mahesa dengan Suci.

  • Hubungan Wiro dengan Anggini. Di awal pertemuan, guru Anggini langsung menyuruh Wiro dan Anggini untuk menikah. Line ini dinyatakan sampai dua kali. Terlepas dari apa maksud sebenarnya dari penulis naskah (yang mungkin masukin line ini hanya untuk comedic relief), line ini menyetel hubungan antara Wiro dengan Anggini ke arah hubungan percintaan dengan trope yang sangat klasik favorit yaitu hate to love, enemies to lover. Namun kita tidak melihat sama sekali hubungan mereka berjalan ke arah sana, kecuali di beberapa menit pertama. Yang paling konyol, adanya foreshadowing ini jadi mengacaukan plot dengan love interest Wiro yang tersebenarnya yaitu Rara Murni. Rara datang setelah Anggini dan di otak saya yang terpikir adalah apakah akan terjadi cinta segitiga diantara mereka, atau apakah Rara nantinya yang akan membuat Wiro menyadari bahwa Anggini lebih pas untuknya dan lain sebagainya. Adanya foreshadowing ini jadi membuat saya tidak melihat atau tidak mau melihat chemistry diantara Wiro dengan Rara. Apalagi ada shot dimana Wiro dan Rara sedang genit-genitan sedangkan kita melihat ada Anggini di belakangnya, sebuah shot yang menjeritkan cinta segitiga. Akan tetapi saya juga tidak melihat bahwa cerita menuju ke arah hubungan romantis atau seksual antara Wiro dengan Anggini. Entah apakah memang ceritanya tidak menuju arah sana atau ada kegagalan dari para aktor dan sutradara untuk menyampaikan hal tersebut. Tidak ada chemistry, unresolved sexual tension dan ketertarikan diantara mereka dan ini menyebabkan adanya Chekov's gun yang lagi-lagi tidak diletuskan sehingga mengecewakan penonton, atau minimal menghilangkan rasa ketertarikan penonton pada plot.

  • Oke mungkin yang ini amat sangat petty dan pengamatan saya agak keterlaluan, tapi sumpah saya nunggu-nunggu apa yang akan terjadi pada bajunya Wiro Sableng. Soalnya ada pembicaraan yang cukup panjang mengenai baju baru yang putih bersih antara Wiro dengan gurunya ditambah dengan penjelasan simbolik dari baju putih bersih tersebut. Pertama, ada perhatian yang berlebihan diberikan pada baju sebagai simbol padahal yang menjadi foreshadowing semestinya adalah kebersihan hati dan yang lebih penting lagi, hubungan antara kapak naga geni dengan kebersihan hati penggunanya. Jadi semestinya perhatian diberikan pada kapak dan bukan baju sebagai simbol. Kapak naga geni yang tiba-tiba menghilang tidak mau muncul karena Wiro mendendam sama sekali tidak ada foreshadowingnya. Kemampuan kapak menghilang di tengah-tengah perkelahian karena penggunanya mendendam seakan-akan datangnya ujug-ujug saja karena kita tidak diberi tahu sebelumnya mengenai itu. Pun ketika perkelahian terjadi, tidak jelas juga kapan dendam Wiro datang di hatinya dan kapan serta bagaimana ia mampu untuk menghilangkan rasa dendam tersebut sehingga si kapak kembali datang. Selain itu ada juga batu saktinya yang tidak dipakai sama sekali sampai akhir film sebagai tambahan senapan yang tidak ditembakkan.

  • Salah satu foreshadowing yang sebetulnya sudah terjadi tapi kurang sukses buat saya adalah soal "menjadi satu". Ketika ada omongan-omongan soal harus menjadi satu, yang pertama terpikir adalah manunggaling kawula gusti namun ternyata omongan itu adalah soal bersatu dengan teman-teman pendekar lain untuk mengalahkan Mahesa Birawa. Pemelesetan prophecy atau nasihat adalah hal yang lumrah dalam penceritaan dan bukan itu masalah saya. Bagian ini semestinya bisa lebih sukses jika lebih ditekankan dari awal preferensi Wiro untuk sendirian dan keengganannya untuk membentuk tim dengan orang lain. Ini semestinya sudah dieksplorasi dari sejak Wiro masih bersama gurunya, sehingga nasihat dari gurunya tersebut memiliki dasar yang kuat karena gurunya sudah mengamati preferensi Wiro untuk bekerja sendirian.

  • Satu pistol kecil yang tidak tertembak tapi bagi saya cukup mengganggu dan menambah bacaan saya terhadap pola kebiasaan penulis film untuk menggantung Chekov's gun adalah saat sang raja memberikan pedang kepada pangeran dan memintanya untuk menggunakan pedang tersebut meliindungi ibunya. Pedang tersebut dan putra mahkota akhirnya tidak melakukan apa-apa

Mungkin masih ada lagi pistol-pistol lainnnya yang tidak saya perhatikan. Akan tetapi dengan beberapa yang saya identifikasi di atas pun rasanya dinding bangunan plot film ini sudah cukup berat dengan senapan-senapan yang tergantung tersebut. Tidak heran banyak penonton bosan atau tidak puas ketika menonton film ini. Selain hal di atas yang menjadi permasalahan utama, ada beberapa hal lain yang, yah, mungkin tidak esensial dan lebih ke preferensi saya pribadi tentang apa yang ingin saya lihat di film ini tetapi tidak muncul atau muncul secara berbeda.

  • Dialog dan persahabatan antara tokoh-tokoh perempuan. Ketika sebelum ini saya menonton film Sultan Agung, saya sempat meributkan soal bagaimana film tersebut tidak lolos Bechdel test padahal dibiayai oleh seorang perempuan yang mendapatkan kekayaannnya dari perempuan. Tentu saja seorang laki-laki kemudian berkomentar bahwa ya film Sultan Agung ini kan tentang seorang laki-laki, kenapa harus lulus Bechdel test segala. Saya hanya bisa menarik napas. Apakah sang sultan tinggal di sebuah era di mana perempuan tidak ada? Apakah semua perempuan di era sultan bisu? Apakah saat itu para perempuan dilarang untuk berbicara satu sama lain? Apakah dialog antara tokoh-tokoh perempuan begitu tak lazimnya sehingga harus dimaafkan ketika tidak muncul di sebuah film tentang laki-laki?

Bechdel test mungkin terdengar sangat petty dan mungkin saja tidak akurat tapi faktanya begitu banyak film yang tidak lulus terhadap permintaan amat sangat kecil yaitu melihat dua tokoh perempuan saling berbicara satu sama lain. Faktanya adalah ada kelangkaan dialog antara tokoh-tokoh perempuan di dalam film. Entah kenapa para penulis naskah rasanya enggan untuk memberikan dialog bagi tokoh-tokoh perempuan untuk berbicara diantara sesamanya tentang hal-hal yang menjadi concern mereka. Apakah concern-concern perempuan begitu tidak pentingnya sehingga bisa di-dismiss begitu saja? Sebaliknya, apakah ini cara untuk semakin meminggirkan worldview dan concern-concern perempuan agar naratif terhadap dunia tetap dikuasai oleh laki-laki? Yang jelas, Mbak Sheila Timothy sebagai bagian dari tim penulis naskah memiliki kesempatan untuk membenarkan ketidakseimbangan ini namun kesempatan tersebut tidak diambilnya.

Sungguh saya rasanya nggak percaya terhadap bagaimana hubungan antara Anggini dengan Rara diceritakan dialam film ini. Jika seorang perempuan mengembara dalam sebuah kelompok, percayalah ia kemungkinan besar akan terdorong untuk menjalin persahabatan dengan sesama perempuan di kelompok tersebut. Atau paling tidak akan ada masa-masa di mana perempuan-perempuan dalam kelompok yang ada laki-lakinya "terpaksa" untuk melakukan beberapa hal bersama-sama dan maka dari itu akan menciptakan bonding yang berbeda diantara mereka dibandingkan dengan antara mereka dengan laki-lakinya. Di sini kita hanya melihat Rara semakin dekat genit-genitan dengan Wiro semetara Anggini terdorong ke latar belakang. Bahkan Anggini harus disuruh oleh Wiro untuk melindungi Rara di dalam perkelahian. Saya merasa ini sulit dipercaya. Saya lebih percaya bahwa sesama perempuan selalu ada solidaritas tak terucap, selalu ada dorongan tak nampak untuk saling mencari satu sama lain dan menjaga satu sama lain. Kalau saya harus naik bus di malam hari yang banyak penumpang laki-lakinya, percayalah saya akan duduk di sebelah penumpang perempuan lainnya. Percayalah bahwa kehadiran seorang penumpang perempuan lain di dalam bus tersebut meskipun saya tidak duduk di sampingnya akan membuat hati saya lebih tenang. Maka bagaimana saya bisa percaya atas tidak adanya hubungan persahabatan dan solidaritas antara Rara dengan Anggini?

Tentu saja tokoh-tokoh perempuan yang memiliki kedalaman karakter bisa saja saling berkonflik satu sama lain dan dengan demikian tidak menjalin persahabatan. Akan tetapi apakah begitu kasusnya di sini? Sepertinya tidak. Anggini dan Rara tidak punya alasan untuk saling berkonflik (karena plot cinta segitiganya toh nggak jalan). Hubungan emosional diantara mereka berdua simply does not exist karena dialog diantara mereka berdua simply does not exist.

  • Ini mungkin tidak terlampau penting namun saya merasa setting perkelahian antara Raja Kamandaka dengan Werku Alit seharusnya terjadi di ruang tahta istana. Mungkin ini pilihan yang bersifat praktis saja, karena perkelahian antara geng Wiro dengan Mahesa Birawa yang melibatkan lebih banyak orang butuh ruangan yang lebih besar, namun secara simbolis tidak tepat. Sebab Kamandaka dengan Werku Alit berkelahi memperebutkan tahta, sedangkan perkelahian Wiro dengan Mahesa adalah soal hal lain. Dengan demikian secara simbolis sebetulnya lebih tepat kalau perkelahian memperebutkan tahta, terjadi di ruang tahta.

  • Ini juga sama sekali nggak penting tapi saya merasa perawakan tubuh Kamandaka dengan Werku Alit tertukar jika kita mengikut pakem penokohan wayang (meskipun iya sih ini bukan cerita wayang). Ksatria atau geng baik biasanya perawakannya lebih kecil dan halus dibandingkan raksasa atau geng jahat.

  • Ini juga hal kecil yang tidak penting, namun saya sempat memerhatikan keris yang dipakai Kamandaka (lurus) dan Werku Alit (berluk). Belakangan saya suka membaca tentang keris dan ternyata bentuk bilah keris baik yang lurus maupun berlekuk ada artinya dan ada peruntukkannya. Misalnya keris lurus artinya soal pemujaan terhadap Tuhan pencipta, sedangkan keris berluk 5 memiliki makna kekuasaan. Saya nggak tahu apakah ini sudah menjadi perhatian pembuat film atau belum tapi akan sangat menarik jika simbolisasi tradisional seperti ini dipakai dan dieksplorasi di dalam film.


  • Saya juga akan lebih senang kalau kostum Bidadari Angin Timur adalah kostum tradisional Jawa. Menurut saya kostum red carpet ballgown sang bidadari kelihatan nggak masuk ke dalam estetika film secara keseluruhan (meskipun konon katanya kostum ini referensinya adalah Dewi Kwan In). Ditambah kostumnya juga kelihatan nggak istimewa di mata saya.

Maka demikianlah ulasan panjang tentang apa yang menurut saya berhasil dan tidak berhasil dari film Wiro Sableng. Semoga ulasan panjang ini tidak membuat saya terdengar seperti complete psycho yang teramat lebay dalam menonton film. Yang jelas, film Wiro Sableng ini sukses kok membuat saya senang karena keindahan visualnya dan juga mampu menginsipirasi analisis mendalam terhadapnya. Tapi mungkin review saya ini nggak bisa dipercaya juga karena saya nggak terlalu rewel soal adegan action hehehe. Kelemahan plot adalah alasan utama film ini tidak dapat mencapai potensi masksimalnya. Tiga dari lima bintang deh untuk Wiro Sableng.


Thursday, September 6, 2018

Komentar terhadap Film Sultan Agung (2018): Skandal Jari Telunjuk di Kerajaan Mataram


Sebagai fans berat serial Game of Thrones, sebetulnya sudah lama saya gatal soal kenapa kita orang Indonesia nggak bisa bikin cerita, film dan serial televisi sebagus GoT. Dengan sejarah nusantara yang panjang, dengan kerajaan-kerajaan kunonya, baik yang Hindu-Buddha maupun Islam, materi yang kita punya pasti begitu banyaknya. Selain banyak, materi tersebut juga unik karena pasti berbeda dengan sejarah orang Barat yang sudah banyak dieksploitasi dalam karya-karya populer mereka. Game of Thrones diinsipirasi oleh War of the Roses, yaitu sejarah nyata kerajaan Inggris tentang dimulainya dinasti Tudor . Maka semestinya kita juga bisa membuat cerita yang sama menariknya dengan inspirasi dari sejarah kerajaan-kerajaan nusantara yang penuh intrik dan drama, peperangan dan pengkhianatan. Salah satu yang paling populer misalnya cerita tentang Ken Arok dan kisah naiknya ia menjadi Raja Singasari. Saya ingin sekali melihat cerita-cerita ini dibuat lagi dengan nilai produksi yang tinggi.
Ketika ada film tentang Sultan Agung di bioskop, saya cukup bersemangat. Selain yang main adalah aktor Indonesia yang teramat ganteng, cerita tentang raja Jawa pun terasa cukup dekat di hati saya. Belum lama Bapak saya meninggal dan dalam kesedihan saya berusaha mendekatkan diri kembali dengan kebudayaan Jawa, dalam usaha untuk memahami Bapak saya tersebut. Beliau tetap memiliki kepercayaan kejawen, meskipun dalam kesehariannya dia sangat tidak Jawa. Di masa kuliah saya mengambil satu kelas yang mengharuskan saya membaca tentang filosofi mendasar yang tipikal bagi kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Beberapa tulisan yang dapat menjelaskan ini mengambil kerajaan Jawa sebagai contoh. Salah satu yang amat membantu saya memahami filosofi mendasar tersebut adalah esai klasik oleh Benedict Anderson berjudul “The Idea of Power in Javanese Culture (Anderson 1990). Membaca esai tersebut saya jadi menyadari betapa berbedanya konsepsi orang Jawa terhadap dunia ini, khususnya tentang politik, serta bagaimana karakteristik Raja dan cara ia berkuasa, serta apa artinya benda-benda pusaka yang biasanya dikumpulkan oleh orang Jawa. Sewaktu Bapak saya meninggal, dan ada beberapa benda pusaka yang harus diurus oleh anak-anaknya, saya memutuskan untuk membaca kembali esai tersebut.
Soal benda pusaka Bapak saya, itu adalah cerita untuk lain waktu, namun yang jelas esai Anderson berbicara utamanya mengenai raja dan kekuasaannya. Sunggu relevan dengan film Sultan Agung, yang menceritakan sang raja Jawa di jaman keemasan Kerajaan Mataram. Maka ketika saya melangkah ke bioskop untuk menonton film ini, tentu saya sudah berbekal sedikit pengetahuan dan ekspektasi yang barangkali sedikit keterlaluan untuk diterapkan bagi film ini. Barangkali, penonton umum tidak akan segalak saya dalam mengamati dan menikmati film ini. Mas-mas yang duduk di samping saya, yang bisa ikut bernyanyi tembang Jawa saat ada di film, sepertinya senang-senang saja (FYI, saya nggak bisa bahasa Jawa). Sementara mata elang saya yang bersenjatakan esai Anderson menangkap momen-momen yang menunjukkan ketidakselarasan tampilan di film dengan filosofi mendasar tentang kekuasaan di Jawa.
Konsep Kekuasaan Jawa
Kekuasaan, dalam hal ini yang disebut oleh orang Barat sebagai “power” memiliki konsepsi  yang sangat berbeda. Power dalam pengertian Jawa lebih tepat disebut sebagai “kesaktian” atau “wahyu” yang sifatnya material, mungkin seperti “the Force” dalam jagat Star Wars. Ia bersifat material dan seringkali memiliki wadah (dan di sinilah benda pusaka berperan). Kesaktian dapat diperoleh dengan mempraktikkan pertapaan; menahan diri dari berbagai nafsu, melakukan semedi, menjauhkan diri dari hal-hal yang sifatnya duniawi dan tidak boleh pamrih, atau melakukan segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri. Sifat halus adalah hasil dari pertapaan ini. Jika seseorang menunjukkan nafsunya, termasuk nafsu amarah, maka ia lemah.
Seorang raja Jawa adalah orang yang memegang kesaktian tertinggi, maka dari itu sifat raja adalah sifat terhalus, jauh lebih halus dari abdi-abdinya apalagi musuhnya. Cara ia memerintah dan berkuasa pun sangat halus dan kehalusan ini yang membuat ia menjadi powerful. Dalam kata-kata Anderson:
"The slightest lifting of his finger should be able to set a chain of actions in motion. The man of real Power does not have to raise his voice nor give overt orders. The halusness of his command is the external expression of his authority" (Anderson 1990, 54).

Bukan hanya perintah, namun dalam menghadapi pertengkaran dengan musuh pun, raja akan menunjukkan kesaktiannya dengan kehalusannya. Kita dapat melihat ini dalam tarian-tarian wayang dalam adegan pertempuran antara ksatria dengan raksasa. Ksatria akan berpose dengan anggun dan diam, tak terganggu dengan gerak-gerik kasar raksasa, kemudian dia akan mengalahkan raksasa dengan satu gerakan elegan yang tampak sama sekali tidak menguras tenaganya. Maka demikian pula semestinya gerak-gerik sang raja Jawa dan orang-orang Jawa pada umumnya di masa itu. Pembawaannya halus, bicaranya halus, sopan santun dan merendah. Suami saya pun cerita bahwa ia pernah menyaksikan pertengkaran lalu lintas di Jogja. Semakin bertengkar bahasa yang dipakai semakin halus; “njenengan” bukan “kowe” yang dipakai. Lalu apakah karakteristik ini termanifestasi di film? Jawabannya adalah tidak.

Pengamatan Gerak Tubuh dan Dialog dalam Film

Ada pengalaman yang menarik ketika saya menonton film Star Trek Beyond yang di dalamnya bermainlah aktor Indonesia Joe Taslim.

Setelah Star Wars, sekarang Star Trek. Apakah hubungannya dua film tentang peperangan di luar angkasa dengan cerita seorang Raja di Bumi tanah Jawa?

Saat nonton Star Trek Beyond, saya tidak mengetahui bahwa Joe Taslim turut bermain di film itu sebagai karakter Manas. Karakter Manas adalah karakter alien, sehingga aktor pemainnya ditutupi dengan make up sehingga ketika Joe muncul, saya sama sekali tidak tahu bahwa itu Joe. Namun ketika Manas menganggukan kepala sambal memejamkan mata saat bersiap untuk bertempur, saya merasa agak tercolek sedikit dengan gestur tersebut. Saya nggak tahu apa yang “salah” dengan gestur itu dan sampai sekarang pun saya tidak dapat menjelaskannya. Yang jelas, begitu tahu itu Joe, saya tiba-tiba memahami dan memaklumi gestur tersebut. Barangkali saya tidak pernah melihat orang bule melakukan gestur seperti itu dan itu adalah gestur khas orang Indonesia.

Lalu bagaimana dengan gestur karakter-karakter dalam film Sultan Agung yang semestinya sangat Jawa? Ada beberapa yang saya perhatikan kurang sesuai dengan ekspektasi.

Yang pertama, beberapa karakter (termasuk karakter Sultan) menggunakan jari telunjuk untuk menunjuk, kemanapun, dan terutama ke orang. Ini dianggap sangat tidak sopan bagi orang Jawa dan saya sungguh tidak dapat membayangkan orang Jawa di masa itu akan pernah menggunakan telunjuknya untuk menunjuk. Di masa kini pun di Jogja tempat saya tinggal atau di kota-kota lain di Jawa jika kita meminta penunjuk arah kepada orang lokal, selain menerima petunjuk arah utara, selatan, timur atau barat (yang akan membuat orang Jakarta sangat frustrasi karena mengharapkan petunjuk kanan kiri), orang tersebut mungkin akan menggunakan jempolnya untuk menunjuk. Demikian juga ketika mempersilakan. Orang Jawa akan menggunakan jempolnya.

Ada seorang ahli politik yang menganalisa kepemimpinan Obama dan mengatakan bahwa gaya kepemimpinan Obama ternyata sangat Jawa. Hipotesis dia dimulai ketika memperhatikan cara Obama menggunakan jempolnya seperti orang Jawa di dalam sebuah acara debat (Fox 2013). Dan begitulah pentingnya jari jempol vs telunjuk dalam gestur Jawa yang sayangnya tidak diperhatikan dalam film ini.

Selain hal kecil seperti penggunaan jari telunjuk, secara umum sifat kehalusan orang Jawa kurang diperhatikan di film ini. Banyak adegan Sultan serta karakter-karakter lain mengeluarkan emosi kemarahan, suara naik, membentak, bahkan menggebrak meja. Barangkali ini bagus untuk menampilkan drama dalam film akan tetapi sebagai karakterisasi kurang tepat. Ditambah lagi dalam hubungan kekuasaan antara Sultan dengan abdinya, ada dialog-dialog yang kurang pantas diutarakan oleh seorang abdi. Seperti misalnya “Sultan harus segera membuat keputusan” yang merupakan sebuah kalimat perintah langsung yang sangat keras. Orang Jawa dikenal dengan bahasanya yang “muter-muter” karena ia tidak akan menyampaikan maksudnya secara langsung agar maksud tersebut sampai secara halus. Raja sendiri pun tidak akan membuat perintah langsung, akan tetapi ia akan membuat perintah dalam Bahasa yang halus, tidak terkesan seperti perintah, lebih seperti permintaan, namun bobot dari perintah dengan bahasa halus tersebut janganlah diremehkan. Sesuai dengan karakteristik kesaktian dalam budaya Jawa, perintah yang diutarakan dalam kehalusan justru memiliki kekuatan yang lebih besar.

Namun, jika karakterisasi tepat dan semua karakter harus berdialog dengan halus, tidakkah film akan terasa membosankan? Justru di sinilah menurut saya tantangan bagi kreativitas dan kejagoan pembuat film dan juga untuk aktor. Dan juga di sinilah kita bisa bermain dengan identitas dan karakter unik dari budaya asli nusantara daripada bermain aman dengan karakterisasi dan dialog populer. Salah satu pesona dari serial televisi Downton Abbey yang membuatnya sangat disukai misalnya, adalah logat British yang posh dan dialog-dialog dengan kalimat Inggris yang njelimet, muter-muter dan penuh sopan santun seperti di Inggris masa lalu. Dan itu pula yang membuat Pride and Prejudice karya Jane Austen diadaptasi berulang-ulang dan ditonton (serta dibaca) berulang-ulang oleh para fansnya. Salah satu alasan mengapa  Mr. Darcy membuat cewek-cewek klepek-klepek adalah karakternya yang stoic. Mengapa seniman-seniman Indonesia tidak coba bereksperimen dengan bahasa Jawa kromo yang asli nusantara dan karakter-karakter halus bak ksatria dalam wayang?

Tentang Lembayung dan Representasi Perempuan

Membicarakan film Sultan Agung tentu harus membicarakan tentang tokoh utama perempuannnya yang cukup mengambil porsi plot. Tokoh ini bernama Lembayung yang tidak nongol di halaman sejarah tentang Sultan Agung dan memang merupakan tokoh fiktif (Daryono 2018). Ceritanya Lembayung yang jagoan silat adalah pacar Sri Sultan saat ia muda dan belum menjadi raja.

Saya memiliki pendapat personal mengenai cewek-cewek jagoan yang sangat memengaruhi perasaan saya tentang tambahan plot Lembayung di film ini.

Seperti semua gadis-gadis kecil di luar sana, saya selalu ingin menjadi cewek jagoan. Toh saya tumbuh dengan serial Wonder Woman dan Xena Warrior Princess. Jangan salah, sampai sekarang pun saya masih suka banget dengan cewek jagoan dan saya akan nonton film apapun yang ada cewek jagoannya dan saya sangat mendukung cewek-cewek yang suka dan mau jadi jagoan silat. Tentu saja perempuan sebaiknya boleh memilih apa yang disukainya dan perkembangan yang sangat bagus bahwa di masa sekarang perempuan bebas jika mau melakukan aktivitas-aktivitas dan sifat yang bernuansa maskulin. Akan tetapi saya belakangan menyadari betapa budaya dan/atau media kita sekarang sangat memberi penghargaan tinggi terhadap hal-hal yang “berkode” maskulin dan tidak menghargai hal-hal yang berkode feminin. Mengenai hal ini saya sempat bahas di postingan terdahulu yang merupakan review film Tomb Raider. Tokoh perempuan baru dianggap menarik jika iya menampilkan kekuatan bersifat maskulin; kuat secara fisik misalnya, bisa silat, berilmu yang bukan ilmu kerumahtanggaan dan domestik, berani melawan dan sebagainya. Sifat-sifat feminin dianggap kelemahan, misalnya lembut dalam berbicara, nurturing, memakai rok, penurut dan sebagainya. Tokoh dengan sifat feminin yang digambarkan positif biasanya dalam bentuk ibu, dan semakin jarang sebagai perempuan muda yang menjadi pahlawan utama dalam cerita atau love interest si pahlawan. Kalaupun ada tokoh feminin yang dianggap “kuat” maka biasanya ia adalah tokoh feminin yang memanfaatkan seksualitasnya untuk mengontrol orang lain.

Coba tanyakan pada fandom Game of Thrones, tokoh mana yang lebih mereka suka, Sansa Stark atau Arya Stark? Pasti sebagian besar akan menjawab Arya, dan bahkan akan mengatakan mereka benci Sansa. Sansa adalah gadis feminin, sedangkan Arya adalah adiknya yang lebih berkode maskulin. Padahal di dalam cerita, Sansa diceritakan dapat bertahan hidup sebagai prisoner of war dengan soft power yang dimilikinya, yaitu ketabahan, kebaikan hati dan kemampuannya untuk bersopan santun, mengatakan hal-hal yang tepat di saat yang tepat. Jika salah bicara, maka ia bisa saja mendapatkan hukuman dari penangkapnya. Namun tetap saja sebagian besar penonton GoT membenci Sansa dan mengatakan Sansa adalah tokoh yang paling tak berguna.

Kembali ke Sultan Agung, saya hanya bisa berspekulasi mengenai penambahan tokoh Lembayung ke dalam cerita ini (karena ia fiksi). Karena jujur, plot dengan Lembayung bagi saya sangat terasa ketidaksinambungannya dengan sisa cerita, yaitu mengenai naiknya Sultan ke tahta dan kampanyenya melawan VOC. Ini adalah alasan utama cerita film tidak terasa bulat bagi saya.
Apakah tokoh Lembayung ditambahkan karena film ingin memiliki tokoh utama perempuan yang “kuat”?

Film Sultan Agung dibiayai oleh seorang perempuan (Mooryati Soedibyo) yang mendapatkan kekayaannya dengan menjual kosmetik (Mustika Ratu) pada perempuan. Maka apakah penambahan tokoh perempuan adalah untuk kepentingan penonton perempuan?

Ada dua hal yang ironis jika ini memang benar. Pertama film ini tidak lolos Bechdel test. Bechdel tes adalah sebuah tes untuk menilai representasi perempuan dalam karya fiksi dengan melihat apakah ada tokoh-tokoh perempuan yang berbicara satu sama lain tentang hal selain laki-laki (Wikipedia 2018). Tes ini mungkin bukan tes yang paling akurat untuk menilai representasi perempuan dalam sebuah karya akan tetapi yang menarik dari tes ini adalah betapa gampangnya hal yang dimintanya, hanya dua atau lebih tokoh perempuan yang memiliki nama, saling berbicara satu sama lain tentang hal selain laki-laki. Ada beberapa tokoh perempuan dalam film ini dan tidak sekalipun kita melihat dialog diantara mereka. Barangkali yang paling gawat adalah antara Gusti Ratu Banowati (ibu Sultan Agung) dengan Gusti Ratu Tulung Ayu (ibu Pangeran Martopuro) ketika jelas ada rivalitas diantara mereka untuk menaikan anak masing-masing ke tahta Mataram, namun tak ada satupun dialog diantara mereka. Begitupun tokoh Lembayung dengan Ratu Batang, kedua tokoh perempuan ini tidak berbicara satu sama lain, melainkan Ratu Batang hanya mengintip Lembayung berbicara dengan suaminya dengan curiga dan kesedihan. Apakah ini terjadi karena sebagian besar tim pembuat film merupakan laki-laki?

Hal ironis kedua, sebetulnya tokoh Lembayung tidak perlu ditambahkan, karena sudah ada tokoh-tokoh perempuan di dalam hidup Sultan. Apakah pembuat film enggan mengeksplorasi tokoh-tokoh ini karena femininitas mereka? Lalu kenapa pada akhirnya Lembayung mengubah keputusan Sultan dengan soft power of persuasion? Apakah Lembayung harus jago silat dulu agar Sultan bisa jatuh cinta padanya sehingga akhirnya baru mampu mempengaruhi keputusan-keputusannya? Ini tuduhan serius yang tidak mau saya tuduhkan dengan serius, toh ini cuma spekulasi saya saja.

Salah satu period drama yang saya tonton dalam rangka lebih memahami War of the Roses berjudul The White Queen. Serial TV tersebut memiliki satu quote yaitu “men go to battle, women wage war”. Peran perempuan dalam sejarah seringkali dikecilkan karena barangkali sejarah ditulis oleh laki-laki. Padahal naik turunnya raja tidak lepas dari peran ibunya dan siapa ratunya. Di dalam The White Queen dan sequelnya, The White Princess, naiknya Henry Tudor diceritakan tidak lepas dari perjuangan sang ibu, Margaret deBeaufort dan menikahnya ia dengan Elizabeth of York yang menyegel bersatunya keluarga Lancaster dengan York menjadi dinasti Tudor. Begitupun jatuh bangunnya Edward IV dan Richard III sebelum Henry Tudor, tidak lepas dari peran Elizabeth Woodville yang merupakan isteri Edward IV.

Seperti Gusti Ratu Banowati dan Gusti Ratu Tulung Ayu, siapa yang tahu langkah politik apa yang mereka lakukan untuk menaikkan anaknya ke tahta? Lalu dukungan dan kesetiaan macam apa yang diberikan Kesultanan Cirebon pada Sultan Agung karena Ratu Mataram berasal dari Kesultanan Cirebon? Apakah perempuan-perempuan yang sedang kita bicarakan ini jago silat? Kayaknya tidak. Apakah perempuan-perempuan yang kita bicarakan ini kuat? Pasti. Bayangkan jadi seorang putri, harus menikah dengan laki-laki yang dijodohkan oleh keluarga untuk alasan politik. Ketabahan dan kesetiaan ia dalam menghadapi nasib tersebut bisa menentukan kejayaan atau kejatuhan politik seorang raja.

Renungan untuk Lain Hari

Anyway, semua yang saya omongkan di atas adalah renungan untuk lain hari. Saya hanya bisa berharap apa yang saya tulis di sini ada manfaatnya untuk membantu menaikan nilai karya-karya selanjutnya. Saya hanya seorang penikmat karya yang meminta terlalu banyak, hehehe. Dalam hal ini, kedalaman pemahaman terhadap konteks budaya yang ditampilkan dapat membantu menghasilkan visualisasi yang bukan hanya akurat namun juga memiliki pesonanya sendiri. Pemahaman ini dapat dengan mudah didapat dengan melakukan riset bacaan. Tulisan-tulisan yang dibuat oleh antropolog yang telah melakukan riset bertahun-tahun mengenai topiknya bisa dapat sangat membantu.

Atau, dalam kasus kerajaan Jawa, bayangkan, kita masih punya kerajaan Jawa beneran di masa sekarang ini! Apabila pihak kerajaan berkenan, barangkali riset pun bisa dilakukan di sana, dengan banyak ngobrol dengan keluarga kerajaan, mengamati dan meniru gerak-geriknya dan mempelajari protokolnya.

Lalu mengenai representasi perempuan, saya akan sangat senang sekali jika ada karya-karya yang dapat mengeksplorasi politik, atau apapun dari sudut pandang perempuan. Tren di Barat saat ini adalah karya-karya yang berpusat pada perempuan, seperti misalnya The White Queen yang sudah saya sebut di atas dan juga Big Little Lies, atau re-make beberapa franchise dengan mengganti karakternya menjadi perempuan seperti Ocean’s 8 atau Miss Sherlock. Ini sangat menyenangkan buat saya yang perempuan dan akan lebih menyenangkan lagi kalau ada karya-karya Indonesia yang seperti ini.

Works Cited

Anderson, Benedict R. O'G. 1990. “The Idea of Power in Javanese Culture.” Dalam Languange and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia, oleh Benedict R. O'G Anderson, 17-77. Ithaca: Cornell University Press.
Daryono, Iqbal Aji. 2018. Sultan Agung, Kebenaran Sejarah vs 'Kebenaran Film'. 31 August. Diakses September 8, 2018. https://hot.detik.com/premiere/4192003/sultan-agung-kebenaran-sejarah-vs-kebenaran-film.
Fox, Edward L. 2013. No drama, King Obama. 7 February. Diakses September 9, 2018. https://aeon.co/essays/is-obama-the-first-javanese-president-of-the-us.
Wikipedia. 2018. Bechdel test. 29 August. Diakses September 9, 2018. https://en.wikipedia.org/wiki/Bechdel_test.