Saturday, January 25, 2014

"Lactose Intolerant" bukan penyakit ah! Justru yang bisa minum susu adalah yang mutan.

"Lactose intolerance" adalah kondisi yang mungkin familiar bagi sebagian orang, tapi di Indonesia nggak umum dibicarakan kayaknya (setidaknya di kalangan orang awam seperti saya). "Penderita" lactose intolerance nggak bisa mengkonsumsi susu cair karena perutnya tidak bisa memproduksi enzim laktase yang semestinya memecah kandungan lactose dalam susu.

Hm, topik ini sebetulnya bukan keahlian saya, tapi bahan bacaan untuk kuliah pendekatan antropologi terhadap pertanian, makanan dan nutrisi minggu ini bikin saya tergelitik. Huuh, mungkin daripada nulis ini mendingan saya baca bahan bacaan untuk kuliah lain yang sudah menggunung, tapi saya bener-bener tergelitik. Apalagi sehabis mencoba meng-google soal lactose intolerance di Indonesia, cukup prihatin membaca bahwa keadaan itu dianggap "penyakit" yang dengan segala cara berusaha disembuhkan. Padahal bahan bacaan yang baru saya baca mengatakan sebaliknya:

Bahwa kemampuan manusia untuk mampu mencerna lactose setelah disapih adalah hasil mutasi. Mamalia yang normal, setelah disapih akan berhenti memproduksi enzim laktase. Fungsi satu-satunya enzim laktase adalah untuk mencerna lactose dan setelah disapih, tentu enzim itu tidak ada gunanya lagi, jadi untuk terus memproduksi laktase dianggap buang-buang energi (Wiley 2011: 64).

Jadi: saya adalah seorang MUTAN! Huahahahahahaha!

Sebelum berbicara lebih jauh, mungkin perlu dijelaskan lagi soal mekanisme evolusi melalui mutasi dan seleksi alamiah. Kita pakai contoh yang ada di buku teks biologi sekolah menengah:
Alkisah, ada jerapah yang lehernya panjang dan lehernya pendek. Leher panjang dan leher pendek ini muncul karena adanya mutasi genetik: "kegagalan" gen untuk mengkopi secara sempurna gen dari orang tua. Kalau Anda tidak 100% mirip Bapak atau 100% mirip Ibu Anda, itu karena hasil dari mutasi ini (jadi mutasi itu maksudnya bukan jadi mahluk bersisik atau bersayap kayak di X-Men). Ini penjelasan yang amat sangat kelewat disederhanakan sih, untuk kebutuhan ilustrasi aja. Nah begitupun jerapah, makanya ada yang lehernya panjang, pendek dan sedang. Nah jerapah yang lehernya panjang, bisa makan daun dari pohon yang tinggi, sehingga di musim kering dia bisa mendapatkan lebih banyak makanan daripada temen-temennya yang lehernya pendek. Hasilnya, jerapah yang lehernya pendek lebih banyak yang mati duluan, dan jerapah yang lehernya panjang, hidup lebih lama, bisa kawin, punya anak dan seterusnya. Sehingga lama-lama, tersisalah cuma si jerapah yang lehernya panjang aja. Kira-kira gitu, semoga penjelasannya bener, buat yang ahli, tolong dikoreksi kalau salah,

Nah, begitupun dengan kemampuan untuk mencerna lactose. Pada masyarakat yang secara historis melakukan domestikasi hewan untuk diambil susunya (domestikasi hewan penghasil susu terjadi baru 8,000 tahun yang lalu, spesies manusia ada sekitar 200,000 tahun yang lalu), frekuensi mutasi untuk terus memproduksi laktase hingga sepanjang hidupnya lebih tinggi. Individual dengan mutasi tersebut, pada masyarakat yang seperti itu, akan lebih sehat (karena mampu beradaptasi dengan sumber nutrisi yang tersedia pada masyarakatnya), dan mampu menghasilkan keturunan yang juga memiliki mutasi tersebut (Wiley 2011: 66).

Lalu gimana dengan individu-individu yang tidak memiliki mutasi itu? Menurut Sahi (1994 dalam Wiley 2011: 66) meskipun dipaksakan minum susu terus, si enzim itu tidak akan serta-merta muncul. Logikanya sih iya ya, karena kan itu keadaan genetik.

Sekarang udah sedih belum dengan kenyataan bahwa alih-alih dianggap keadaan genetik yang normal, orang yang tidak bisa mencerna susu dianggap memiliki "penyakit" genetik yang harus "dirawat"?

Susu memang sumber gizi yang baik, tapi bukan sumber gizi satu-satunya. Di Amerika, anggapan bahwa susu adalah sumber gizi yang premium dianggap sebagai propaganda untuk mempromosikan industri susu dan hasil susu mereka (pernah lihat kampanye "got milk?" di majalah-majalah Amerika?). Bahwa semua orang dianggap harus minum susu adalah hasil dari sebuah bio-ethnocentrims yaitu kepercayaan terhadap superioritas dari sebuah keadaan biologis atau praktik kultural, dalam hal ini keadaan biologis dan superioritas dari orang-orang Eropa Utara (masyarakat dimana frekuensi mutasinya untuk mencerna susu tinggi).

Penulis buku yang saya baca menggunakan istilah lactase persistance/impersistance agar lebih netral secara nilai (tidak menganggap yang manapun sebagai abnormal) daripada lactose intolerant, lactase deficiency, atau lactose maldigestion/malabsorption yang menandakan inferioritas/keabnormalan dari orang-orang yang tidak bisa mencerna lactose.

Ia pun memberikan informasi tentang keberadaan kelompok-kelompok anti-susu: www.notmilk.com, www.milksucks.com. Bahkan sebuah tuntutan hukum dilayangkan pada mereka yang mempromosikan susu pada kelompok minoritas (African American, Asian, Latin American yang mayoritas adalah lactase impersistance).

Jadiiiiiiiii........ ga bisa minum susu ya gak apa-apa laaah. Sumber gizi yang lain masih banyak kok. Nggak perlu terpengaruh iklan, nggak minum susu pun bisa tetap sehat :)

Reference
Wiley, Andrea S. 2011. Chapter 2: "Population Variation in Milk Digestion and Dietary Policy" in Re-imagining Milk. New York: Routledge, 15-36.