Saturday, July 26, 2014

I adore the adornment

Salah satu hal yang membuat saya begitu terpukau dengan Argentine Tango adalah gerakan-gerakan kecil yang sekilas tidak signifikan tapi membuat saya tergila-gila dan membuat keseluruhan tarian jadi menarik. Sebuah ketukan kecil sebelum melangkah, gerakan menggambar lingkaran dengan kaki dan tentunya gerakan sensual mengelus betis pada saat menari, gerakan-gerakan ini disebut adornos atau bahasa Inggrisnya adornment atau embelishments. Penghias gerakan yang membuat gerakan jadi indah dan menarik. Partner-partner dansa saya pasti tahu betapa "boros"nya saya memakai adornment ini ketika menari because I love it too much


Lihat di sini kalau penasaran kayak apa sih adornos yang saya maksud


Damn it, I haven't dance for too many months :(


Tapi bukan hanya adornment pada Tango yang membuat saya terpukau. Saat menonton wayang orang pun, saya menyadari adanya gerakan-gerakan serupa "adornment" yang membuat pertunjukkan menjadi menakjubkan.


Saya tidak pernah menyangka bahwa saya akan bisa menikmati sebuah pertunjukkan wayang orang. Tidakkah hiburan ala TVRI tersebut begitu membosankan? Tapi ketika kelompok wayang orang dari desa di kaki gunung Merapi tempat Tito penelitian tampil di acara pernikahan kami, saya hanya bisa ternganga, terpukau dan ingin melihat lagi dan lagi.


Arjuna dan Buto Chakil ditampilkan oleh Mas Ateng dan Mas Markayun


Saya diajak Tito datang ke tempat tinggal mereka untuk berkenalan. Betapa beruntungnya saya berkesempatan menyaksikan sebuah latihan pentas. Latihan tanpa kostum saja bisa membuat saya benar-benar terpukau. Segitu ditambah saya nggak bisa bahasa Jawa, namun dialognya tetap terdengar indah. Saya pun benar-benar terpesona melihat transformasi para pemain, yang dari orang biasa-biasa saja yang sehari-harinya sangat humble, namun di panggung bisa punya energi dan kepercayaan diri yang begitu besar, dengan gerakan-gerakan dan dialog yang powerful. Dan ini saya menonton mereka belum memakai kostum loh dan dialog masih salah-salah dan harus dikoreksi terus dan diulang-ulang. Nggak kebayang ketika nonton pertunjukkan benerannya.



Kemudian saya pun memerhatikan gerakan-gerakan kecil yang mereka lakukan; menggoyang-goyangkan kain saat berdialog, gesture dengan goyangan tangan dan kepala dan sebagainya. Saya pelan-pelan pun mulai paham keindahan seni ini. Mungkin ini equivalent dengan pertunjukkan opera di Barat dan saya sungguh nggak terima kelompok wayang orang dari desa ini tidak bisa tampil di tempat semegah Royal Albert Hall ditonton seluruh dunia dan diapresiasi setinggi-tingginya.


Dan di sini saya akan berhenti menulis sebelum saya mulai ngoceh tentang Foucault dan power relation. It would make me too much as a typical SOAS student :p 


Plus, I'm just lazy.