Sunday, March 18, 2018

Tomb Raider (2018): Sebuah film beretika, produk jaman now yang membesarkan hati

Ketika gw memutuskan nonton film ini, gw ga ada niatan apapun untuk membuat sebuah postingan blog untuk mengulas filmnya. Akan tetapi ada beberapa hal yang amatlah menarik buat gw bahas, dan lagi-lagi, no surprise, tema bahasan gw berkaitan dengan poskolonialisme. Film yang tokoh utamanya adalah seorang aristokrat Inggris yang kerjanya merampok benda-benda arkeologi di makam kuno sepertinya memang bakal sulit lari dari topik favorit gw ini. Akan tetapi, kesan gw terhadap film Tomb Raider yang baru ini, surprisingly, positif. Gw melihat film ini ada usaha untuk tampil lebih politically correct dalam hal hubungan kekuasaan antara Lara Croft sebagai arkeolog kulit putih dengan lokasi makam jarahannya. Cukup kontras dengan dua film Lara Croft yang dibintangi Angelina Jolie di tahun 2001 dan 2003.

Beberapa ulasan yang gw baca memang memperhatikan betapa berbedanya Lara Croft versi Alicia Vikander dengan versi Jolie. Akan tetapi gw belum menemukan tulisan yang membahas implikasi dari perbedaan karakterisasi Lara yang baru ini  terhadap bagaimana hubungan dia dengan lokasi jarahannya. Atau justru sebaliknya, bagaimana ideologi film ini dalam memandang hubungan antara subyek berprivilege seperti Inggris dengan subyek-subyek yang lebih lemah mempengaruhi bagaimana Lara dikarakterisasikan di film ini. Atau mungkin keduanya? Lagi-lagi gw hanya bisa berspekulasi tentang maksud pembuat film.

Gw akan menggunakan istilah Barat vs The Other di dalam tulisan ini untuk mengacu pada dualitas antara subyek kulit putih yang ber-privilige tinggi dengan subyek-subyek lain dan dalam hal ini mengacu pada Lara dengan subyek target jarahannya. Penggunaan istilah 'the Other'[1] dalam studi antropologi, khususnya dalam Oriental Studies-nya Edward Said, adalah mengenai pertemuan antara 'Barat' dengan kebudayaan lain dengan hubungan yang sifatnya hegemonik, yaitu hubungan antara subyek dominan dengan yang didominasi. Subordinasi secara kultural terhadap 'the Other' (dalam hal ini penduduk asli dari lokasi-lokasi koloni) diperlukan agar dapat menjustifikasi pemanfaatan tenaga kerja, tanah dan sumber daya lain yang mereka miliki. Proses Othering yang terjadi di sini menghasilkan hubungan tidak seimbang antara subyek "Other' dengan penjajah yang menganggap diri mereka lebih superior secara kultural (peradaban) dan dengan demikian menjustifikasi kolonialisasi sebagai tindakan penyelamatan terhadap orang-orang tak beradab tersebut. Kolonialisasi tentu saja sudah berakhir namun hasil dari proses Othering secara kultural belum tentu sudah berhenti atau menghilang, dan kita bisa menyaksikan sisa-sisanya melalui Lara Croft..

Istilah 'the Other' ini juga digunakan Simone de Beauvoir untuk menjelaskan hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang diwarnai oleh dominasi privilege laki-laki[2]. Perempuan digambarkan sebagai 'the sexual Other' dalam hubungannya dengan laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai kondisi default, atau positif atau netral bagi spesies manusia, maka dengan demikian perempuan adalah 'the Other sex' atau 'the Second sex'. Dalam bahasa Inggris, kata untuk manusia dan manusia laki-laki adalah man, sedangkan kata untuk perempuan adalah woman, sebuah kata yang mengandung negasi dari kata man.

Penjelasan mengenai penggunaan istilah 'the Other' dalam hubungan antar jenis kelamin dan gender ini cukup relevan juga untuk membahas Lara Croft sebagai tokoh jagoan perempuan yang harus meniti dengan hati-hati garis antara maskulin dengan feminin untuk memuaskan konsumennya. Ini akan menjadi salah satu hal yang akan gw bahas terlebih dahulu karena begitu pentingnya topik ini bagi tokoh Lara Croft, dan juga mempengaruhi bagaimana ia berinteraksi dengan 'the Other' nantinya. Jadi untuk membahas apa yang gw maksud dengan film Tomb Raider mulai menampilkan hubungan antara Barat dengan the Other dengan lebih politically correct, gw akan mengeksplorasi tema demi tema yang dapat dikontraskan tampilannya di dalam film Tomb Raider versi Jolie dengan Tomb Raider versi Vikander yang baru ini.

Penampilan Fisik

Ini adalah satu hal yang paling banyak dibincangkan dan dibandingkan dalam film ini. Maka dari itu sebelum kita membahas tentang hubungan Lara Croft dengan the Other, menarik untuk membahas topik ini dengan bagaimana Lara sudah mengalami proses Othering-nya sendiri sebagai karakter perempuan, berhubungan dengan penjelasan De Beauvoir di atas.

Konon, waktu awalnya video game Tomb Raider dibuat, sulit untuk menampilkan dengan jelas bahwa karakter Lara Croft adalah perempuan dikarenakan keterbatasan tampilan dalam teknologi 32-bit untuk video game saat itu[3]. Pembuat video game memilih untuk memperbesar dada dan pinggul Lara sebagai penanda bahwa Lara adalah perempuan, karena rambut panjang sulit terlihat dalam gambar video game. Perhatikan di sini bahwa laki-laki dianggap sebagai kondisi default dari manusia (self) sehingga tanpa penanda bahwa ia adalah perempuan (the Other sex), ia akan dianggap sebagai laki-laki.

Namun pada akhirnya, bentuk tubuh Lara yang seperti itu membantu menjual video game-nya pada konsumen laki-laki heteroseksual dan jadilah dia dijual sebagai karakter seksi yang menyenangkan mata laki-laki heteroseksual, lalu Angelina Jolie harus menggunakan beha yang disumpal untuk mencapai ukuran dada yang diinginkan untuk Lara[4]. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk pinggul dan sepertinya dada yang besar dianggap cukup saat itu. Ditambah dengan wajah cantik dengan bibir tebal, penampilan fisik Jolie dianggap sebagai mewakili keseksian Lara.

Penampilan Vikander dalam versi baru Tomb Raider ini amat jelas berbeda dengan citra yang diinginkan dalam Lara versi Jolie. Perbedaan penampilan ini adalah salah satu elemen yang paling banyak dibicarakan dalam ulasan film baru tersebut. Tidak ada lagi lekuk tubuh dan bibir tebal dan ekspresi-ekspresi sensual Lara di film yang baru ini. Tubuh Vikander kekar, tanpa pinggul dan dada besar yang feminin. Lalu wajahnya meskipun cantik tidaklah luar biasa sensual seperti Jolie. Pemilihan aktris dengan tubuh yang bisa dibilang cukup maskulin ini seakan-akan disengaja untuk menolak Othering yang terjadi di masa video game pertama dan di masa Jolie dan menantang obyektifikasi Lara oleh the male gaze, atau lebih mudahnya menghilangkan “ogle factor"[5] dalam karakter Lara. Katanya sih, perubahan ini sudah terjadi dalam versi reboot video game-nya di tahun 2013. Sayangnya pengetahuan gw soal video game ini sangat terbatas, hanya dari yang dibaca sekelewatan saja di berbagai sumber. Maka analisis terhadap isi, karakter-karakter, plot dan sebagainya untuk tulisan ini hanya terbatas pada film saja.

Kekuasaan maskulin dalam aksi dan kekerasan

Di atas sudah dibahas bagaimana tubuh Lara harus diberikan penanda-penanda sebagai tubuh perempuan untuk membedakannya dari laki-laki dalam Lara versi Jolie. Sehingga secara eksternal, bisa dibilang Lara diberikan pengkodean feminin. Akan tetapi, secara internal, atau secara sifat emosional, Lara versi Jolie diberikan pengkodean yang sangat maskulin. Ini bisa terlihat saat Lara terlibat dalam baku hantam dan tembak atau saat dia harus terlibat dalam aksi untuk survival-nya saat menjarah makam. Lara versi Jolie adalah perempuan seksi dengan aura maha jago. Ia tampil dengan penuh kuasa saat berantem dan berakrobat, tak sekalipun menampilkan emosi takut atau lemah dan dia selalu tau apa yang harus dilakukannya dan tak segan memberikan senyum bangga saat berhasil mengalahkan lawan dengan kejagoannya. Ini semua terlihat dalam raut wajah yang dibawakan Jolie, wajah penuh determinasi, wajah sombong dan tak sekalipun wajah ketakutan. Ia penuh dengan kekuasaan maskulin tanpa cela. Siapa yang bisa lupa adegan Jolie melukai lengannya, mengeluarkan darah agar hiu datang, lalu ia menonjok hiu tersebut, biar bisa numpang sampai ke permukaan laut? Juga bagaimana ia mendominasi tokoh laki-laki utamanya dengan menunjukkan kepintarannya membuka teka-teki makam secara benar ketika tokoh Daniel Craig menebak dengan salah, atau bagaimana ia mendominasi tokoh Gerard Butler dengan membubarkan ide-ide Butler tentang cara sampai ke markas Shay Ling dan menggunakan caranya sendiri (padahal ia dengan khusus membebaskan Butler dari penjara untuk memanfaatkan pengetahuan Butler mengenai Shay Ling).

Lara versi Vikander tidak seperti itu dan ia tak kurang pujian dari para kritikus yang menyatakan bahwa akting Vikander adalah bagian paling bagus dari film ini[6]. Lara di film ini sangat realistis dan relatable. Meskipun memiliki bekal fisik yang kuat dan seni bela diri dan kecerdikan, tak serta merta itu membuat ia menjadi maha kuasa. Faktor keberuntungan terlihat sangat bermain di dalam survival-nya, dan tak kalah penting juga bantuan dan pengorbanan orang lain.  Ia berhasil kabur dari tangkapan Vogel karena bantuan dan pengorbanan Lu Ren. Ia tidakklah kebal, perutnya tertusuk besi tajam saat berusaha menyelamatkan diri, dan seseorang kemudian harus merawat luka tusuknya. Sebuah luka yang secara serius mengancam keselamatannya, bandingkan dengan luka nggak penting di lengan Jolie yang disembuhkan dengan teh ajaib dari biksu Kamboja. Kemudian pada adegan saat Vikander hampir jatuh di air terjun, ia selamat karena untungnya menemukan sebuah parasut, meskipun tentu ia harus cukup cerdik untuk menggunakan parasut tersebut dan harus punya kekuatan tubuh yang cukup untuk bergelantungan. Kepintarannya dalam menjawab teka-teki sama sekali tidak ditampilkan untuk mengangkat superioritasnya terhadap karakter lain. Kita melihat Lara pintar bermain puzzle ala Jepang karena sudah diperkenalkan sejak kecil oleh ayahnya. Kemudian ketika di dalam makam ia harus mejawab teka-teki sambil panik karena hidup mereka terancam jebakan makam. Dan penonton pun tidak ditutup dari proses berpikir Lara karena proses berpikir tersebut dinarasikan. Sama sekali berbeda dengan pemecahan teka-teki ala Jolie dengan faktor dramatis dan wow serta wajah smug.

Dan tentunya, adegan saat ia harus membunuh orang untuk survive adalah adegan yang emosional dan dibawakan dengan brilian oleh Vikander. Emosi Lara sepanjang film juga adalah emosi dan ekspresi yang tulus, ia ketakutan, kebingungan, dan hanya panik berusaha menyelamatkan hidupnya.

Emosi-emosi yang ditampilkan oleh Lara versi Vikander dianggap sebuah kelemahan dalam budaya maskulin dan tentunya tak boleh muncul dalam karakterisasi yang berkode maskulin seperti Lara-nya Jolie. Budaya yang seperti ini disebut sebagai "toxic masculinity", yang mencakup sifat dominasi, devaluasi perempuan, kemandirian yang ekstrim dan surpresi emosi[7]. Selain devaluasi perempuan, sifat-sifat yang disebut barusan ada pada Lara Croft yang dibawakan Jolie. Di sisi lain, Vikander membawakan karakter Lara yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat toxic masculinity tersebut. Dengan demikian, film Tomb Raider yang baru ini mensubversi dua hal dari karakter Lara Croft dari film sebelumnya, yaitu membalik pengkodean eksternal dari feminin menjadi maskulin, dan pengkodean internal dari maskulin menjadi feminin, seakan-akan menantang seluruh pemikiran ideologis yang mendasari penciptaan karakter Lara Croft.

Pemeran utama laki-laki dan pemeran-pemeran lain

Sekarang mari kita bandingkan pemeran utama laki-laki yang bertugas menemani Lara dalam petualangannya. Di film Jolie pertama kita dapat Daniel Craig, seorang pria kulit putih, di film Jolie kedua kita dapat Gerard Butler, seorang pria kulit putih juga. Di film Vikander, kita dapatkan Daniel Wu, seorang laki-laki Cina. Ya mungkin pemilihan karakter dan aktor Cina ini adalah bagian dari usaha memasarkan film ini di Cina, akan tetapi tentu saja ada implikasi terhadap keanekaragaman etnisitas dalam deretan pemeran film dan bagaimana karakter-karakter saling terhubung dalam film. Di film ini kita bisa melihat bagaimana seorang karakter beretnis lokal yang Lara temui di situs lokal diberikan peran yang penting dan berdaya, memiliki agency dan dapat mempengaruhi plot.

Dan umm… tidakkah Daniel Wu cukup ganteng? Lebih ganteng malah daripada Craig dan Butler. Atau seperti kata temen gw: Daniel (g)Wu-anteng. Gw bisa memahami sih bagaimana film ini agak semacam menuju ke arah membuat Lu Ren sebagai love interest, tetapi tidak dipastikan di akhir film. Karena mungkin membuat Lara dan Lu Ren mengekspresikan ketertarikan secara eksplisit setelah Lara keluar dari makam yang hancur akan membuat film ini beresiko dianggap terlalu klise dan cheesy. Karena God forbid seorang tokoh jagoan cewek mempunyai love interest tanpa ia dianggap jadi lemah dan orang-orang berteriak "ia tak butuh cowok untuk menjadi karakter cewek yang menarik", sebuah ide yang entah bagaimana jadi membuat jagoan cewek diatribusikan sifat toxic masculinity, yang by the way, ditampilkan oleh plotnya Jolie dengan Craig dan Butler (Jolie annihilated these two men in the movies).

In any case, film ini tidak membubarkan ide Lara Croft x Lu Ren sama sekali, it still probably can happen off screen or whatever.

Lalu bagaimana dengan peran-peran lain? Di film Jolie yang pertama peran-peran penting semuanya adalah laki-laki kulit putih. Yup. Tak satupun perempuan. Satu-satunya perempuan dewasa yang terlihat di film ini adalah Jolie. Laki-laki kulit hitam ada dengan peran sebagai kurir dan tukang pukul. Di film yang kedua ada seorang perempuan tua yang muncul sebentar dan seorang Afrika berkulit hitam. Keduanya adalah pembantu Lara di dua lokalitas yang berbeda. Juga ada sekumpulan antek-antek penjahat yang beretnis Cina, namun peran mereka hanyalah antek-antek penjahat yang dengan mudah bisa digantikan dengan etnis apapun. Di film Vikander, selain Lu Ren sebagai laki-laki Cina, ada Kristin Scott Thomas yang punya peran cukup penting meskipun screetime beliau di film ini masih sedikit. Jadi bisa disimpulkan dari soal keanekaragaman dan kepentingan peran, Tomb Raider yang baru meskipun belum maksimal, sudah mulai mengakomodasi keseimbangan.

Keterikatan karakter Lara Croft terhadap identitas kelas sosial-ekonomi dan kebangsaan

Di kedua film Jolie, Lara seringkali dipanggil dengan sebutan 'Lady Croft', ia tinggal di istana warisan keluarganya, dan memiliki semua sumber daya yang diperlukan untuk menjarah makam dimanapun. Ditambah lagi, ia punya hubungan baik dengan militer Inggris dan dapat meminta bantuan mereka saat diperlukan. MI6 pun meminta bantuan Lady Croft saat terjadi krisis yang ada hubungannya dengan artefak arkeologi. Lara Croft versi Jolie didukung sepenuhnya oleh privilege dari kelas sosial-ekonomi yang dimilikinya dan kebangsaannya dalam bertualang. Privilege ini terekstensi hingga ke seluruh dunia, karena tentunya memang privilege orang kulit putih berkebangsaan Inggris seluas itu tampaknya. Lara memiliki sumber daya di setiap target situs arkeologi yang ditujunya, baik itu Kamboja, Siberia, Yunani, Cina dan 'Afrika' (sungguh, film tidak menyebut negara tujuan Lara di Afrika, dan menyebut dengan santai 'Afrika' sebagai lokasi the Cradle of Life').

Lagi-lagi, Lara versi Vikander memilih jalan yang kontras dengan ini. Ia terdisintegrasi dengan identitas aristokratiknya bersama dengan kekayaannya dan identitas kebangsaannya tidak terlalu terpamerkan di sini. Ia memilih untuk mencari penghidupan sendiri sebagai kurir sepeda karena ia menolak mengakui bahwa ayahnya sudah meninggal. Ketika masuk ke gedung perusahaannya sendiri dan dikira kurir oleh resepsionis, ia tidak langsung mengkoreksi si resepsionis sampai di saat terakhir ketika ia diminta mendaftarkan namanya. Kita masih mendapatkan sedikit-sedikit gambar dimana Lara tumbuh sebagai anak perempuan aristokrat Inggris yang kaya raya, namun film masih membuat Lara harus bertualang dengan sumber daya terbatas. Ia harus menggadaikan sebuah kalung dan dengan uang terbatas itulah ia pergi ke situs arkeologi tujuannya, dan ini adalah poin yang sangat penting yang meredefinisi hubungan Lara Croft dengan 'the Other' di film ini.

Selain itu, juga sangat penting, dalam film ini juga Lara tidak pergi kuliah dan lulus sebagai seorang arkeolog. Arkeologi dengan samaran sebagai sebuah ilmu pengetahuan (sains) yang bersifat ‘netral’ atau ‘murni’ seringkali digunakan menjadi alat dominasi pengetahuan, budaya, politik dan sosial-ekonomi oleh dunia Barat terhadap the Other[8]. Dan tentu saja kita melihat bagaimana Lara Croft versi sebelum ini memperoleh legitimasi untuk menjarah makam-makam di seluruh dunia di bawah payung kepentingan ilmu arkeologi. Arkeologi sendiri di awalnya adalah sebuah disiplin ilmu kolonial (dan ilmu apakah yang juga merupakan disiplin ilmu kolonial? antropologi. uwu), digunakan untuk menjustifikasi kehadiran orang-orang Barat di berbagai lokalitas karena misinya untuk menyelidiki asal-usul peradaban serta sebagai ilmu yang membantu membentuk pengetahuan Barat terhadap ‘the Other’ dengan menginvestigasi dan mengelompokan mereka melalui penyelidikan artefak[9]. Ini lagi-lagi menjadi poin penting dari pertimbangan pembuat film (barangkali), terhadap perubahan karakterisasi dan cerita Lara Croft di film ini.

Lokasi situs arkeologi

Kita sudah semakin dekat ke tema sentral dari tulisan ini yaitu hubungan Lara Croft dengan 'the Other', namun sebelum sampai ke sana, penting untuk membahas perbedaan subyek 'the Other' sebagaimana ditampilkan dalam kedua film Jolie dan film Vikander, sebab ada perbedaan yang cukup penting. Lokasi situs arkeologi di film-film Jolie adalah Kamboja, Siberia, Yunani, Cina dan Afrika. Kesemuanya adalah situs-situs 'eksotis' yang memiliki penduduk lokal dan kita bisa melihat interaksi tokoh-tokoh penjahat dan Lara sendiri dengan penduduk lokal tersebut yang akan gw bahas di bagian berikutnya.

Untuk film Vikander, mitologi arkeologi yang menjadi bahan adalah ceritanya dari Jepang, yang bisa dbilang 'Oriental' sih, akan tetapi film meminimalisasi wacana Orientalisme dengan meletakan makam di sebuah pulau tak berpenghuni Yamatai. Di Yamatai, memang ada subyek-subyek Orient yang menjadi budak untuk si penjahat, namun mereka adalah pelaut-pelaut yang terdampar di sana. Mereka tersubordinasi bukan karena mereka adalah penduduk lokal yang memiliki kekuatan ekonomi politik lebih lemah, namun karena nasib buruk mendamparkan mereka di sebuah pulau yang dikuasai si penjahat. Their power was stripped through natural disaster not through political economic subjugation.

Pilihan Jepang sebagai dasar mitologis juga menurut gw cukup membantu meminimalisasi wacana hubungan kekuasaan, karena, well, Jepang dulu adalah juga bangsa penjajah bukan? Dan kekuatan ekonomi politik mereka sekarang sebagai sebuah bangsa juga cukup kuat. Gw tidak bisa membayangkan misalnya seorang penjahat kulit putih akan bisa dengan mudahnya menjarah makam di Jepang dan menyewa tenaga lokal untuk membantunya menjarah makam sebagaimana yang dilakukan Iain Glen di Kamboja misalnya. Meletakan makam di pulau tak berpenghuni yang aksesnya berbahaya berarti juga memindahkan situs arkeologi jauh dari jangkauan kekuasan negara Jepang. Akses menuju pulau ini pun melalui Hongkong, dan di sini lah Lara memiliki interaksi dengan penduduk lokal yang akan dibahas di bagian berikut.

Lara dan pertemuan dengan the Other

Baiklah, seluruh bahasan panjang-panjang di atas adalah pengantar menuju bagian ini. Sekarang kita akan membandingkan pertemuan Lara dengan the Other di film-film tersebut. Di film Lara Croft pertama, kita melihat Jolie di Kamboja, diturunkan dalam mobil jipnya oleh angkatan udara Inggris. Kita melihat si penjahat menggunakan tenaga-tenaga orang lokal untuk membobol pintu makam. Kemudian, Lara dituntun oleh hantu anak perempuan dan tanaman bunga melati ajaib menuju sebuah jalur masuk rahasia ke dalam makam. Di sini kita melihat Lara bisa membaca dan berbicara bahasa Kamboja saat menemukan sebuah tulisan di makam. Kemudian setelah Lara dan penjahat berhasil merampok makam dan lolos dari perangkap makam, Lara kabur dengan menggunakan sampan dan kemudian ditolong oleh seorang biksu. Kita melihat biksu tersebut megangin antena saat Lara menelepon. Lalu ia ikut bermeditasi dan diberikan the yang menyembuhkan lukanya dengan cepat. Lokasi berikutnya di film pertama adalah Siberia. Lagi-lagi ada hantu anak perempuan yang memperingatkan Lara dan kita melihat Lara berbicara bahasa setempat dengan anak itu. Di lokasi ini, kita melihat dengan terang-terangan karakternya Noah Taylor menawarkan 'mucho US greenback' untuk membawa semua anjing-anjing penarik kereta.

Kemudian di film kedua, Lara dibantu pelaut dan penjarah makam lokal di Yunani dan ia menunjukkan superioritasnya dengan membawa data tentang arus laut yang mengantar mereka ke tempat yang benar. Kemudian di Cina, lagi-lagi ia diantar oleh angkatan udara Inggris ke sebuah lokasi dimana ia sudah mempunyai pembantu perempuan tua lokal, yang menyiapkan semua peralatan yang diperlukannya. Mereka berpelukan dengan hangat. Lalu ia kabur dari atas gedung tinggi dengan parasut khusus dari penyedia lokal, kemudian dengan bahasa Cina yang lancar, meminjam televisi dari sebuah keluarga lokal. Di sini lagi-lagi kita melihat seorang anak perempuan, yang permen karetnya dipinjam Lara untuk menempelkan kamera video. Mereka memandangi Lara dengan mulut ternganga. Di lokalitas terakhir 'Afrika', Lara juga sudah memiliki pembantu laki-laki lokal yang menyiapkan peralatannya dimana dia dengan dramatis mendarat dengan parasut langsung ke atas jip yang dikendarai pembantunya tersebut. Di sini terdapat pertemuan dengan suku lokal yang cara hidupnya masih tradisional dan memperingatkannya mengenai bahaya dari artefak yang dicarinya. Lalu Lara mengatakan bahwa ia hanya berusaha melindungi artefak tersebut dari orang jahat yang juga mencarinya. Ia langsung memenangkan simpati dan loyalitas beberapa laki-laki prajurit dari suku tersebut yang bersedia menemaninya sampai ke situs artefak, padahal suku tersebut sebelumnya tidak pernah berani ke sana. Mereka sempet ngetawain Lara saat berbicara bahasa lokal, katanya aksennya aneh. Kemudian saat penjahat datang beberapa prajurit tersebut mati dengan gagah berani, mengorbankan dirinya demi sang Lara Croft.

*tarik napas panjang*

I mean…. WOW!

Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, Lara Croft di film ini dengan latar belakang aristokrat kaya raya dari negara penjajah yang sangat kuat memiliki sumber daya yang diperlukan untuk menjarah makam apapun dengan sumber daya yang dimilikinya terekstensi hingga ke seluruh dunia. Ia tampaknya memiliki pembantu, teman dan benda-benda di lokasi manapun petualangan membawanya. Dan kita pun melihat bagaimana penduduk lokal melayani kebutuhannya dan memberikan loyalitasnya pada Lara. Dan penting untuk membuat tokoh penduduk lokal sebagai subyek-subyek 'innocent' seperti biksu, anak kecil, perempuan tua (yang diperlihatkan memiliki hubungan afektif dengan Lara), suku tradisional, yang seakan-akan memberikan loyalitasnya tanpa meminta pamrih, karena Lara adalah tokoh pahlawan yang menginsiprasi kekaguman mereka dan layak mendapatkan afeksi, terutama juga karena ia bersikap afektif terhadap mereka. Subyek-subyek yang 'innocent' ini ada bertujuan untuk menandai kemurnian penghambaan terhadap tokoh Lara yang karismatik dan suci. She is the ultimate superior and holy white saviour woman. Ia adalah sang wanita Barat yang lebih superior daripada subyek-subyek Other.

Lalu bagaimana dengan Lara baru versi Alicia Vikander? Adegan pertemuan Lara dengan penduduk lokal yang bisa kita saksikan di film adalah di sebuah pelabuhan di Hongkong. Tanpa didukung oleh uang dan kekuasaan milik keluarga aristokratnya dan kekuatan militer bangsa Inggris, film dengan realistis menampilkan Lara kesulitan di sana. Pertama, ia tak bisa bahasa lokal. Maksud gw, seberapa realistisnya sih Lara versi Jolie yang selalu bisa bahasa lokal? Lara versi Vikander, kebingungan nanya sana sini, mencari siapa yang bisa bahasa Inggris dan bisa membantunya. Kemudian, ketika ia menemukan bantuan, ternyata mereka malah mencopet ranselnya. Lara tak kehilangan kepahlawanannya di sini, ia mengejar pencopet itu dan dengan bekal seni bela diri tinju yang dimilikinya, ia berhasil mendapatkan kembali tas ranselnya. Namun kemudian para pencopet itu mengancam balik dirinya sehingga dia akhirnya diselamatkan oleh Lu Ren, si tokoh utama laki-laki. Lu Ren tidak bermaksud menyelamatkan Lara di sini, ia hanya berusaha mengusir mereka dari kapalnya. Para pencopet tersebut kabur karena Lu Ren memegang senapan, namun sebelum Lu Ren mengusir Lara juga, ia pingsan karena sedang mabuk. Lu Ren pun diberikan motivasinya sendiri untuk membantu Lara, yaitu untuk mencari ayahnya yang juga hilang bersama ayah Lara, dan juga uang dalam jumlah besar yang dijanjikan Lara.

Yup, adegan pendek tersebutlah yang sudah menginspirasi gw untuk membuat tulisan panjang ini. Di adegan tersebut Lara tidak diberikan privilege khusus. Respon penduduk lokal terhadap dirinya tidaklah selalu positif, mereka berusaha mengambil keuntungan darinya. Tidak ada loyalitas dan afeksi tanpa pamrih di sini. Lara pun tidaklah selalu superior. Ia hanya bisa bahasa Inggris dan ia canggung berada di lingkungan yang asing. Tidak seperti Jolie yang seakan bisa langsung beradaptasi dengan lingkungan lokal dimanapun dia berada sebagaimana ditampilkan dengan kebisaannya berbahasa, ikutan meditasi atau memakai baju tradisional setempat. Juga tidak ada subyek-subyek 'innocent' di sini, Lara berada di sebuah pelabuhan yang isinya adalah pelaut dan pencopet.

Bagaimana dengan Yamatai? Satu-satunya subyek lokal yang loyal pada Lara di sana adalah Lu Ren, mungkin karena naksir atau apa. Sebagai male lead dalam film ini memang seharusnya dia loyal pada Lara Croft. Sedangkan subyek-subyek lokal lainnya, yaitu para pelaut yang terdampar dan diperbudak oleh Vogel mengikuti Lu Ren karena mereka menghormati ayahnya yang katanya mengorbankan nyawanya untuk keselamatan mereka. Jadi tetap gw melihat film ini berhasil menghindari hubungan yang menggambarkan dominasi Lara dengan privilege kulit putih-nya terhadap 'the Other' dengan menggunakan perantara Lu Ren sebagai subyek lokal. Tampaknya pemilihan karakter male lead dengan etnis lokal ini memecahkan beberapa masalah sekaligus, yaitu keragaman dan penghalusan hubungan kekuasaan. Lagipula, mereka berusaha membebaskan diri mereka dengan membantu Lara mengalahkan penjahat, bukan karena penghambaan kepadanya.
Interaksi Lara dengan penduduk lokal yang tidak diwarnai dominasi juga sesuai dengan karakterisasi Lara dari awal sebagai pahlawan yang vulnerable, bercela dan seringkali inferior dibandingkan lawannya. Vulnerabilitas Lara juga tampak dalam interaksinya dengan inferioritasnya dalam berbahasa dan berada di tempat asing dikelilingi orang-orang asing, dimana cultural capital yang dimilikinya sebagai orang berkebangsaan Inggris tidaklah sedemikian berharga. Ia tidak berjalan di lokalitas asing dengan sikap seakan-akan ia berhak dan memiliki tempat tersebut sebagaimana mungkin Jolie terlihat. Singkatnya, ia tidaklah menguasai dunia.

Sebuah antitesis terhadap film terdahulu

Dari pemaparan beberapa tema di atas, tampak sepertinya film Tomb Raider yang baru ini berusaha menjauh dari elemen-elemen ideologis yang muncul di film terdahulu. Hampir di setiap tema, film Tomb Raider baru menampilkannya secara berkebalikan dari yang lama dari penampilan dan sifat Lara, pemilihan situs arkeologi dan interaksi Lara dengan subyek-subyek lokal. Film ini juga menjawab panggilan untuk lebih memiliki deretan pemain dengan etnisitas beragam.

Gw sungguh tidak menyangka akan nulis blog sepanjang ini mengenai film ini, akan tetapi gw selalu menemui hal-hal menarik saat berusaha menuliskan apa yang gw maksud dan terutama kesan gw terhadap adegan di pelabuhan Hongkong tersebut. Gw terkesan dengan bagaimana film ini menjawab panggilan untuk lebih beretika dalam aspek-aspek gender, hubungan antar etnis dan kenegaraan dalam membuat film. Jika Lara Croft versi Jolie di tahun 2001 dan 2003 adalah produk jamannya, maka sungguh membesarkan hati bahwa di jaman sekarang kita mendapatkan Lara Croft versi Alicia Vikander dan Roar Uthaug. Gw hanya berharap makin banyak orang yang memperhatikan hal ini. Saat ini dari beberapa review yang gw lihat belum ada yang memperhatikan bagaimana 'the Other' dicitrakan dalam film ini dalam hubungannya dengan Lara. Kalau ada yang nemu, tolong kasih tau gw ya (mestilah di luar sana ada tulisan yang lebih baik dari tulisan blog ini!).

Sebetulnya gw agak takut, karena kan katanya film ini adalah film origin, makanya Lara-nya masih bego. Gw sungguh berharap bahwa franchise Tomb Raider yang baru ini tidak bermaksud mencapai Lara Croft sebagaimana ditampilkan oleh Jolie di film terdahulu. Meskipun ini film origin dan Lara Croft masih berevolusi, gw berharap karakternya nanti akan makin badass tapi juga tetap mempertahankan etika yang diterapkan di film ini.
Dari segi estetika dan kenikmatan plot dan sebagainya sebetulnya sih film ini tidak luar biasa hebat, tapi film apapun dengan jagoan cewek pasti gw tonton. Dan sungguh, gw menikmati film Tomb Raider ini dengan cara yang khusus yang sudah gw ulas dalam tulisan panjang ini. Bagaimana menurut teman-teman?


[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Other_(philosophy)
[2] Ibid.
[3] https://www.hollywoodreporter.com/heat-vision/tomb-raider-fans-slam-criticism-alicia-vikanders-body-movie-1094440
[4] Ibid.
[5] http://www.latimes.com/entertainment/movies/la-et-mn-tomb-raider-review-20180314-story.html
[6] https://www.hollywoodreporter.com/heat-vision/tomb-raider-review-roundup-1094464
[7] https://en.wikipedia.org/wiki/Toxic_masculinity
[8] https://www.archaeologybulletin.org/articles/10.5334/bha.20102/
[9] Ibid.

Sunday, March 4, 2018

Black Panther (2018): Wakanda-Aid Forever

Menulis postingan blog sepanjang 4.000 kata adalah mungkin bukan reaksi yang normal terhadap pengalaman habis menonton Black Panther. Kecuali kalau kerjaan sehari-hari lo emang kaitannya dengan menulis, baik sebagai jurnalis atau blogger atau pemerhati perfilman. Dulu gw lumayan rajin sih nulis blog, sampai kemudian akhirnya gw merasa terlalu sadar diri, sehingga sekitar 5 tahun yang lalu gw berhenti menulis blog sama sekali. Akan tetapi sehabis menonton film ini, rasanya tergoda banget untuk menulis lagi. Bagaimana tidak, film ini ngomongin tentang hal-hal yang menjadi topik perhatian gw selama ini; poskolonialisme dan pembangunan. Dan keduanya dibalut dalam sebuah film superhero Marvel.

Jadi begitulah tulisan ini ada.


Black Panther dan Plot Subversif terhadap Poskolonialisme dan Development


Sejak berkenalan dengan poskolonialis-poskolonialisan di sebuah mata kuliah dulu, gw merasa sulit untuk berpaling dari studi yang mempelajari bagaimana kolonialisme sangat berperan dalam membentuk pengalaman hidup manusia di saat ini. Ya, sebagai subyek poskolonial, salahkah kalo gw seringkali baper dengan hubungan antara negara-negara "maju" dengan negara "berkembang". Dan lihatlah film Black Panther dengan premis subversifnya. Wakanda, sebuah negara di benua Afrika yang semua orang kira adalah negara berkembang, ternyata diam-diam lebih kuat dan lebih kaya dari negara-negara para kulit putih penjajah.


Lebih jauh lagi, melalui plotnya, Black Panther juga punya cerita subversif soal development. Di akhir cerita, Wakanda akan melakukan development project di sebuah negara maju adidaya Amerika Serikat. Ha ha ha ha! Sungguh kampret sekali.

Lalu kemanakah plot subversif ini akan membawa kita? Jujur gw tidak tahu sejauh mana maksud satire si pembuat film, terutama dengan plot development project outreach centre untuk African American di Oakland, California tersebut. Akan tetapi gw tidak bisa tidak kecewa bahwa sebuah agenda politik penting yang dibawa oleh sang villain Erik Killmonger, harus dibungkam dengan pendekatan apolitis Wakanda-Aid. Lebih jauh lagi, untuk memajukan agenda "development" ini, mereka harus melakukannya dengan membantai story arc Erik, membuatnya menjadi karakter yang mletot-mletot (kagak bulet gitu maksud gw).


The Anti-Politics Machine



"The Anti-Politics Machine", James Ferguson menyebutnya. Development, maksudnya. Sebuah mesin yang bisa mentransformasi masalah-masalah politis menjadi tidak politis. Saat persoalan-persoalan kekurangan bisa diubah menjadi persoalan teknik pertanian, soal "kapasitas", soal kredit permodalan, soal pasar. Semua ini adalah persoalan-persoalan teknis, sehingga kita tidak harus menghadapi kenyataan bahwa dunia ini penuh akan ketimpangan ekonomi politik yang secara struktural menciptakan kekurangan-kekurangan tersebut. Maka ketika Erik ingin ada perubahan untuk kehidupan kaum kulit hitam yang teropresi secara politis, apakah Wakanda-Aid bisa mencapainya dengan education dan technology sharing? Sementara film ini jelas-jelas menempatkan "aid" sebagai solusi dari permasalahan yang diajukan Erik.

The Ever-So-Suave Villain



Konon Marvel dianggap payah kalo bikin villain, kritik demi kritik dilayangkan untuk villain-villain Marvel yang katanya kurang menarik. Bahwa dari setadi satu-satunya karakter yang udah gw sebut adalah si Erik, apakah ini berarti doi adalah villain yang sukses? Sepertinya sih pada dasarnya iya. Banyak yang mencintai Erik. Coba aja scrolling sebentar di tag #Black Panther di Tumblr, kita bisa liat banyak cinta untuknya. Atau lihat artikel ini yang membandingkan dia dengan Magneto. Ya, gw setuju dia villain yang sukses, akan tetapi gw juga akan bilang bahwa arc karakter dia di film ini kacau.

Sekarang mari kita bahas kenapa dia sukses. Ngganteng? Pasti. Backstory? Cukup untuk membuat penonton bisa berempati padanya, dan memahami kemarahannya. Ia harus menyaksikan dan mengalami kehidupan keras orang-orang kulit hitam di AS, sementara T'Chaka, sang raja superpowerful dari Wakanda malah membunuh ayahnya dan meninggalkannya di sana. Padahal ayahnya hanya ingin menolong nasib sesamanya. Dan ya, ia mewarisi motivasi tujuan besar ayahnya untuk menolong sesama kaum kulit hitam. Ditambah dengan dialog-dialog suave “hey auntie” nya, tak heran dia panen cinta penonton. Singkat kata, dia punya semua latar belakang dan sifat yang diperlukan untuk menjadi seorang Byronic hero, salah satu archetype karakter dalam cerita yang hampir dijamin membuat semua cewek klepek-klepek.

Apakah Erik Seorang Pejuang Radikal atau Hanya Preman



Lalu apanya yang kacau? Gw akan mengutip beberapa artikel lain, karena gw payah dalam menjelaskan hal ini. Ini kata Lebron di Boston Review yang gw kutip sebagian sebagai berikut:

“In the course of Killmonger’s swift rise to power, however, Coogler muddies his motivation. Killmonger is the revolutionary willing to take what he wants by any means necessary, but he lacks any coherent political philosophy. Rather than the enlightened radical, he comes across as the black thug from Oakland hell bent on killing for killing’s sake—indeed, his body is marked with a scar for every kill he has made. The abundant evidence of his efficacy does not establish Killmonger as a hero or villain so much as a receptacle for tropes of inner-city gangsterism.”


Gw terjemahkan sebagai berikut: [Dalam kenaikan Killmonger menjadi penguasa, sayangnya, Coogler (Ryan Coogler - penulis dan sutradara film) mengotori motivasinya. Killmonger adalah sang revolusioner yang mau mengambil apa yang dia mau dengan cara apapun yang diperlukan, namun ia kurang filosofi politis yang koheren. Daripada seorang radikal yang tercerahkan, dia sampai ke penonton sebagai preman kulit hitam dari Oakland yang bersikeras untuk membunuh demi pembunuhan itu sendiri--sehingga, tubuhnya ditandai dengan luka untuk setiap pembunuhan yang dilakukannya. Banyaknya bukti terhadap kemampuannya tidak menetapkan Killmonger sebagai pahlawan maupun penjahat sebanyak pengejawantahannya sebagai preman kota"]


Yap setuju banget, tidak ada koherensi antara tindakannya dengan filosofi politis yang dianutnya. Semua hal yang Erik lakukan, tidak ada yang bisa dijustifikasi untuk mendukung tujuan politiknya. Yang paling membingungkan gw adalah, kenapa dia dibikin jadi agen black ops CIA?? Apalagi tugasnya menggulingkan pemerintahan negara-negara dunia ketiga. Padahal bukankah filosofi politis dia adalah menolong mereka yang teropresi?

Dan semakin plot film maju, semakin jelas bahwa Erik memang mau dilukiskan sebagai penjahat sosiopat dan dibawa ke sebuah irredeemable path. Mungkin dia tumbuh dengan masa lalu pahit yang membuat dia memiliki kemarahan besar dan hasrat untuk balas dendam, tapi kemarahan dan balas dendam tidak serta merta membuat orang kehilangan empati dan dan belas kasihan dan tentunya tidak kehilangan arah. Karena arah adalah sesuatu yang harusnya Erik punya, karena Erik sudah mewarisi arah tersebut dari bapaknya. And remember that it is a very empathic cause. Keinginan N'Jobu untuk membantu pembebasan kaum kulit hitam datang dari rasa empati yang sangat besar. Anaknya sang N'Jadaka semestinya mewarisi tujuan besar itu dan rasa empati besar itu.

Namun di film kita melihat Erik memperoleh panggilan "Killmonger" karena efisiensinya dalam membunuh. Ia lalu tampak seperti membunuh sana sini tanpa arah yang jelas, tanpa berhenti untuk belas kasihan dan ia membunuh karakter-karakter yang disayangi penonton. Dia membunuh pacarnya sendiri tanpa berpikir panjang, saat sang pacar dijadikan tameng oleh Ulysses Klaue, lalu dia juga membunuh Klaue dan antek-anteknya, dia membunuh sang shaman Zuri yang dipanggilnya dengan "Uncle James", sebuah panggilan yang menunjukkan bahwa mereka pernah punya hubungan dekat, dia membakar semua herba bentuk hati (yang sampai sekarang gw ga jelas KENAPA), sambil mengancam hidup seorang ibu-ibu penjaga herba itu, dia hampir membunuh Shuri kalau saja T'Challa tidak datang menyelamatkan, dan... dan dia punya tanda torehan di badannya yang membuatnya sangat sangar dan menunjukkan betapa banyaknya orang yang dia bunuh. Dan sekarang mari kita bicarakan soal tanda-tanda torehan tersebut.

The Scars of a Criminal or a Thug



Soal scarification di badannya itu adalah hal yang menjadi perhatian gw. Gara-garanya belum lama gw nonton satu episode Elementary, serial Sherlock Holmes yang Watsonnya Lucy Liu. Di episode ini Holmes berhasil mengidentifikasi masa lalu seorang tersangka sebagai child soldier di Uganda saat melihat si tersangka tanpa baju. Holmes melihat ritual scarification di torsonya, dan mengidentifikasi si tersangka sebagai bagian dari suku tertentu di Uganda. Kemudian si tersangka diidentifikasi oleh Holmes sebagai mantan child soldier yang banyak melakukan pembunuhan, dari luka-luka senjata di tubuhnya dan iklan pencarian war criminal di Uganda yang ditemukannya.

Lumayan mirip kan. Akan tetapi di film ini Erik membuat satu torehan di badannya untuk setiap nyawa yang dia bunuh, ala penjahat DC Victor Zsaz, dan seluruh torso serta lengannya sudah penuh dengan tanda torehan. Jadi bukan saja dia mampu membunuh, namun dia juga mengumpulkan trophy dari setiap pembunuhan yang dilakukannya. Victor Zsaz, sudah jelas adalah seorang psikopat sadis. Nah yang menarik, ritual scarification adalah praktik yang umum bagi suku-suku Afrika, hanya saja hasil googling gw menunjukkan bahwa torehan ini menandai status sosial, etnisitas atau tingkat kedewasaan. Tidak ada yang berhubungan dengan penandaan yang berhubungan dengan perang atau pembunuhan.

Jadi serial Elementary dengan benar mengasosiasikan ritual scarification dengan identitas kesukuan, meskipun akhirnya ada asosiasi tidak langsung dengan identitas seorang war criminal kejam. Tapi film Black Panther kemudian secara langsung mengasosiasikan ritual scarification dengan sifat sosiopati. Kenapa sebuah film yang semestinya mengangkat budaya dan identitas keAfrikaan malah menciptakan stereotipe negatif adalah sesuatu yang tidak gw pahami.


Sebuah Invalidasi akan Sebuah Tujuan Politis



Jadi begitulah, bagaimana beberapa bagian plot Erik tidak masuk dengan filosofi politisnya, dan bagaimana plot-plot tersebut merampok dia bersama tujuan politisnya dari simpati penonton. Keluhan keras akan hal ini sudah datang dari tulisan Lebron, yang kemudian menyatakan bagaimana plot Erik yang membawanya ke irredeemable path justru semakin menjatuhkan orang kulit hitam Amerika. Lagi-lagi gw akan mengutip beliau di sini

Black Panther presents itself as the most radical black experience of the year. We are meant to feel emboldened by the images of T’Challa, a black man clad in a powerful combat suit tearing up the bad guys that threaten good people. But the lessons I learned were these: the bad guy is the black American who has rightly identified white supremacy as the reigning threat to black well-being; the bad guy is the one who thinks Wakanda is being selfish in its secret liberation; the bad guy is the one who will no longer stand for patience and moderation—he thinks liberation is many, many decades overdue. And the black hero snuffs him out.

Gw terjemahkan sebagai berikut: [Black Panther menampilkan dirinya sebagai pengalaman radikal untuk kulit hitam di tahun ini. Kita dimaksudkan untuk merasa disemangati dengan citra T'Chall, seorang laki-laki kulit hitam yang memakai pakaian pertempuran yang sangat kuat melawan orang jahat yang mengancam orang-orang baik. Namun pelajaran yang saya ambil adalah ini: orang jahatnya adalah orang kulit hitam Amerika yang sudah benar mengidentifikasi supremasi kulit putih sebagai ancaman terhadap kelangsungan hidup orang kulit hitam; orang jahatnya adalah ia yang berpikir Wakanda bersikap egois dalam pembebasan rahasianya; orang jahatnya adalah dia yang tidak lagi mau berdiri dengan sabar dan rendah hati--ia berpikir pembebasan sudah terlambat selama berdekade-dekade. Dan si pahlawan kulit hitam menyingkirkannya."]
Keluhan Lebron mewakili sisi kekecewaan Black Americans, yang semestinya identify dengan tokoh Erik dan juga tujuan besarnya. I'm not a Black American, but I am disappointed all the same. Karena gw membaca karakter Erik sebagai perwakilan dari keberanian yang mengakui sebuah masalah politik sebagai apa adanya dan lebih penting lagi sebagai juxtaposisi dari pilihan lain yang diajukan di film ini yaitu development.



Nakia dan Pilihan Non-Politis yang Aman


Ketika Erik dan agenda liberation-nya sudah dikalahkan, agenda development aid dimajukan sebagai solusi. Kita sudah diumpankan dengan ide ini dari awal oleh karakter Nakia. Karakter Nakia sendiri dari awal sudah dimantapkan sebagai seorang pahlawan yang harus 100% mendapatkan simpati penonton. Ia jagoan, baik hati, penolong (dengan sedikit atau banyak bumbu white saviour complex) dan cantik, T'Challa saja selalu terpaku setiap kali melihat Nakia. Maka kita penonton pun juga harus mencintainya. Ia tidak sekalipun melakukan perbuatan dengan moral yang meragukan dan selalu mendukung T'Challa 100%. Bandingkan dengan tokoh Okoye, yang pada satu titik harus memilih loyalitasnya. Ia adalah prajurit tersumpah pada tahta kerajaan, maka saat Erik dengan sah memperoleh tahta, Okoye tak punya pilihan selain "mengkhianati" T'Challa. Tidak dengan Nakia.

Kalau tidak percaya, lihat di bawah ini. Gw punya kutipan reaksi penonton yang mendiskreditkan Erik dan berpaling pada Nakia sebagai solusi. Dari mana? Dari Tumblr tentu saja, sumber paling valid untuk segala hal terkait fandom, hehehe. Berikut adalah kutipan dari user bernama twentythreeyearoldelusivemimi:


"what really bothers me about Black Panther discourse is how willingly people attribute the change in T’challas mentality to Killmonger and how easily they excuse Killmongers actions because he said a few things they agreed with. Killmonger is not an antihero and guaranteed he doesn’t care about Black liberation half as much as he claims. you know who does? Nakia! the woman who was actively liberating Black people, the one who first brought up the idea of providing aid to T’challa, the one who was so dedicated to her mission of liberation that she left the man she loved. Nakia saw a need unfilled and she filled it. literally by herself. Meanwhile Eric spent his time murdering people of color and destabilizing their countries in the name of an imperialistic government. What did Eric actually ever do to back up all his talk? All we know he did is murder people, including his girlfriend. Eric talks about the way Wakandans never used their resources to help other black people, but what did he, the brilliant MIT grad, do to further the cause? The truth is that Eric was never about that life. Eric cared about Eric and used talk of Black liberation to mask his selfish desire for revenge. the fact that no one sees him for the fraud and hypocrite that he is annoys me almost as much as the way that everyone ignores Nakias unwavering dedication to her beliefs. Nakia didn’t just talk the talk, she walked the walk."
Gw terjemahkan sebagai berikut: [yang paling mengganggu saya tentang wacana Black Panther adalah bagaimana orang mau saja mengaitkan perubahan mentalitas T'Challa kepada Killmonger dan bagaimana dengan mudahnya mereka membenarkan tindakan Killmonger hanya karena ia mengatakan beberapa hal yang mereka setujui. Killmonger bukanlah seorang antihero dan dijamin dia tidak peduli tentang pembebasan kaum kulit hitam sebanyak yang dia katakan. kau tau siapa peduli? Nakia! Perempuan yang secara aktif membebaskan kaum kulit hitam, yang pertama kali memberikan ide pemberian bantuan kepada T'Challa, yang sangat berdedikasi pada misinya untuk pembebasan sampai ia meninggalkan laki-laki yang dicintainya. Nakia melihat adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi dan dia mengisinya. Sendirian. Sementara Eric menghabiskan waktunya membunuh orang-orang dengan kulit berwarna, dan mengacaukan negara mereka atas nama sebuah pemerintahan imperialis. Apa yang pernah Eric lakukan untuk mendukung omongannya? Kita hanya tau bahwa ia membunuh orang, termasuk pacarnya sendiri. Eric berbicara tentang cara orang Wakanda tidak pernah menggunakan sumber dayanya unntuk membantu orang kulit hitam lain, namun apa yang ia lakukan, ia yang seorang lulusan MIT yang pintar lakukan untuk memajukan tujuannya? Kenyataannya adalah Eric tidak pernah peduli akan kehidupan itu. Eric hanya peduli pada Eric dan menggunakan pembicaraan tentang pembebasan kaum kulit hitam untuk menutupi hasrat egoisnya untuk balas dendam. Fakta bahwa tidak ada yang melihat dia sebagai penipu dan munafik mengganggu saya hampir seperti bagaimana semua orang mengabaikan dedikasi utuh Nakia terhadap kepercayaannya. Nakia tidak hanya ngomong, namun ia juga berbuat] 

Dan begitulah, pembuat film mencapai tujuannya, untuk memajukan solusi Nakia dan menginvalidasi Erik. Kedua karakter tersebut dimaksudkan sebagai juxtaposisi dan dari karakterisasi dan plot keduanya, jelas agenda mana yang didukung oleh film ini. Sebagai seseorang yang merasa bahwa hegemoni development harus ditantang, tentu ini adalah sebuah kekecewaan. Karakter Nakia adalah ekstensi lebih jauh dari hegemoni tersebut dengan memanjangkan wacana development kepada subyek-subyek kulit hitam. Tidak sedikit anggota fandom yang merupakan perempuan kulit hitam pada akhirnya mengidolakan Nakia karena mereka identify dengan Nakia sebagai sesama perempuan kulit hitam, saat Nakia mewakili stereotype tokoh yang *tahan napas* *berbisik* amat sangat kulit putih.

I mean come on, tidakkah?...

Lihatlah adegan kehebatan dia saat membebaskan tawanan penjahat itu dan besarnya compassion yang ia miliki terhadap seorang child soldier. Lihatlah betapa ia menguasai development lingo dengan "aid, refuge, education, technology sharing" saat ia membujuk T'Challa. Lihatlah kosmopolitanismenya seperti yang ditunjukkannya di Busan, seperti seseorang dengan paspor yang bisa membawanya kemanapun kapanpun dengan mata uang yang bisa membantunya kemanapun kapanpun, lihatlah...dorongannya yang besar untuk membantu mereka yang keadaan hidupnya...berada di bawahnya, lihatlah loyalitasnya yang besar pada tujuan yang "benar" dan besarnya agency yang dimilikinya sementara Okoye tunduk terhadap sumpah tradisi. Semua adalah stereotype seorang white heroine in an exotic setting. Dia hanya kurang memakai kemeja putih, celana safari, sepatu boot dan scarf.



Women and Erik's Archetype


Ngomong-ngomong soal Nakia dan Okoye, coba perhatikan bagaimana T'Challa dikelilingi sosok perempuan-perempuan hebat dalam hidupnya; Ramonda, Shuri, Nakia dan Okoye. Sementara Erik hanya punya bapaknya. Menarik bagaimana ibu Erik yang katanya orang AS sama sekali tidak muncul di film dan tidak mempengaruhi narasi sama sekali. Pacarnya pun hanya nongol selama beberapa menit, tidak memiliki peran yang signifikan dan mati dibunuh oleh Erik sendiri (lagi-lagi sebuah plot tak masuk akal yang hanya bertujuan untuk membuat kita kehilangan simpati pada Erik).

Masih dalam rangka ngomong-ngomong, fakta tentang hilangnya sosok ibu untuk Erik yang baru saja gw omongin itu sungguh membuat Erik sangat masuk dalam archetype "the Usurper". Gw membaca soal archetype karakter ini ketika sedang obses sama Kylo Ren dan Rey dari Star Wars Sequel Trilogy. Penjelasannya amat panjang, dan silakan untuk membacanya di sini, akan tetapi singkatnya archetype ini mengacu pada Oedipus. Elemen yang mau gw bahas adalah elemen ketiadaan sosok ibu untuk si tokoh Usurper, sehingga dia sepanjang hidupnya mendambakan sosok ibu dan ini bercampur dengan hasrat seksualnya.


Enemies to Lover is My Jam


Gosh, kalau kalian pikir Marvel payah dalam bikin villain, menurut gw Marvel lebih payah lagi dalam membuat cerita cinta-cintaan. Gw ga akan pernah memaafkan apa yang mereka lakukan dengan Nat x Bruce! Sementara pasangan-pasangan lain semuanya adem-adem aja, nggak ada yang sungguh menarik.

Gw tidak puas ketika Erik sudah mengejawantahkan archetype seorang Usurper akan tetapi tidak ada kecenderungan bagi dia untuk mencari atau menemukan sosok sang Holy Mother. Yang lebih goblok lagi, kalau menurut gw mereka punya satu tokoh yang berpotensi besar menjadi Holy Mother untuk Erik yaitu Shuri. Shuri adalah The Princess of Wakanda, sedangkan Wakanda adalah sang ibu pertiwi bagi Erik yang ia dambakan sepanjang hidupnya. Lebih gampang lagi kalau gw bilang bahwa Erik itu Kovu, sedangkan Shuri adalah Kiara, dan kalau gw bisa girang liat dua ekor singa jatuh cinta setelah sebelumnya sebel-sebelan, gw pasti lebih girang lagi kalau kedua singa itu adalah Michael B. Jordan dan Letitia Wright.

Gw ngomongin The Lion King 2, by the way. Dan ya, gw tau Shuri usianya 16 tahun dan di film Erik berusaha membunuh dia tanpa ampun sampai diselamatkan oleh T'Challa. Tapi lagi-lagi, kedua hal ini adalah keputusan pembuat film yang bisa aja diubah kalau aja mereka mau.

I meaaaaaan, forbidden love, enemies to lover, unresolved sexual tension, AAAANNNGGGGSSSTTTTT! Ripe for the taking untuk kedua tokoh itu, dan tentu saja Marvel TIDAK memilih jalan itu. Tapi yang mereka lakukan hanyalah meledek gw dengan membuat si Mr. Suave hey auntie memanggil Shuri dengan "princess".


Lahirnya Wakanda-Aid


Baiklah, balik ke soal development.

Yah, pada akhirnya T'Challa (dan juga penonton) berkompromi dengan jalan yang diajukan Nakia sebagai jalan yang benar untuk Wakanda mulai berpartisipasi menolong sesama. Sebuah pilihan yang jauh lebih aman dan menghindari konflik, tidak menyentuh sisi politis. Ini hanya soal teknis yaitu teknologi Vibranium. Wakanda mengumumkan di rapat PBB bahwa mereka akan mulai membuka diri dan membagi kemajuan teknologinya pada dunia. Kemudian kita ditunjukkan T'Challa membuka pusat outreach di California, AS.

Yeeesss!

Gw sungguh nggak tau apakah pembuat film bermaksud subversif di sini atau ini sesederhana bahwa film ini sangatlah AS-sentris. Karena terasa sekali bahwa fokus cerita adalah terhadap Black Americans.

Soalnya gini, jika ada hal yang juga membingungkan untuk gw adalah juga bagaimana negara-negara lain di benua Afrika (yang bukan negara fiksional) hampir sama sekali tidak muncul atau mempengaruhi narasi. Hanya satu kali, saat negara tersebut digunakan untuk mengangkat sifat kepahlawanan karakter Nakia. Ketika Erik harus memperoleh skillset yang diperlukannya untuk bisa menginfiltrasi Wakanda, pembuat film memilih CIA. Gw jujur bertanya-tanya, mengapa Erik tidak memilih untuk pergi bertualang di negara-negara Afrika, untuk bisa lebih dekat dan juga memperoleh intel soal Wakanda. Kemudian ketika berbicara soal black liberation, Erik hanya menyebut New York, London dan Hong Kong. Ketika berbicara soal Wakanda-Aid, T'Challa melakukannya di AS, nevermind negara-negara tetangga Wakanda di Afrika yang konon begitu amat sangat kekurangannya sebagai akibat dari kolonialisme berabad-abad.

Kita hanya bisa berspekulasi apakah alasan pembuat film memilih plot Wakanda-Aid di AS. Mungkin agenda mereka untuk film ini memang hanya berpusat pada masalah kehidupan orang kulit hitam di sana. Atau ada keengganan untuk lagi-lagi menampilkan citra Afrika sebagai kawasan miskin tertinggal. Atau memang mereka memaksudkan agar penonton bisa berefleksi atas wacana 'development aid' dengan subversi mereka terhadap AS.

I mean..., development aid bertumpu pada usaha besar untuk meletakan negara-negara sasarannya dalam kategori "less developed countries", negara-negara yang tertinggal dalam pembangunan, dan harus mengejar untuk mencapai keadaan yang sama "maju"nya dengan negara-negara kuat yaitu negara-negara kaya yang dulunya adalah pengkoloni. Seluruh hubungan antara negara-negara developed dan less developed bertumpu pada ketimpangan power, yang satu lebih baik dari yang lain, yang satu lebih kuat dari yang lain.

Memasukan AS ke Dalam Anti-Politics Machine


Ferguson sudah mengatakan bahwa ini adalah salah satu hal pertama yang dikutak-katik oleh anti-politics machine kita. Yaitu dengan mencoba mencitrakan calon beneficiaries sebagai negara yang "tertinggal" (masyarakat tradisional dan sebagainya), bukan menampilkan situasi ekonomi politik yang merugikan mereka. Untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan ini, dalam literatur lain yang lebih baru, seorang antropolog lain bernama Engelke menjelaskan bagaimana subyek-subyek yang biasanya menjadi target beneficiaries development aid dipandang sebagai masyarakat yang terjebak di masa lalu dan harus dibawa masuk ke "masa depan". Dengan mengklaim bahwa mereka "hanya" tertinggal dalam waktu membuat kita tidak harus melihat situasi mereka apa adanya, yaitu bahwa mereka hidup di masa sekarang dalam situasi yang dibentuk oleh dinamika ekonomi dan politik. Sehingga yang harus mereka lakukan hanyalah mengejar ketertinggalan, sementara kita tetap nyaman dalam ketimpangan penguasaan sumber daya.

Jadi...., apakah ini yang akan dilakukan Wakanda? Mengklaim bahwa negara-negara lain tertinggal secara teknologi dan harus mengejar kemajuan Wakanda, dan Wakanda akan membantu dengan development aid-nya, dengan technology sharing dan education. Padahal kita semua tau bahwa hanya Wakanda yang memiliki Vibranium dan selama ini mempertahankan eksklusifitas Vibranium untuk mereka sendiri. Lalu, selain membagi teknologinya, apakah Wakanda berencana untuk membagi Vibranium-nya? Apakah ada gunanya membagi teknologi Vibranium tanpa membagi Vibranium itu sendiri?

Lebih jauh lagi, dengan menggunakan pendekatan education, Wakanda meletakan tanggung jawab terhadap rehabilitasi keadaan kaum kulit hitam di AS di tangan mereka sendiri. Jika mereka tak mampu bangkit dengan bantuan education, maka itu adalah salah mereka sendiri. Ini mengalihkan tanggung jawab dari AS sebagai sebuah institusi kenegaraan terhadap kemaslahatan warganya. Sebuah pendekatan neoliberalis.

Dan tidakkah ini menjadi sebuah pengamatan untuk development aid yang benar-benar ada saat ini. Saat negara maju mengklaim bahwa negara-negara lain tertinggal dalam pembangunan dan harus mencapai tingkat pembangunan yang sama dengan mereka, saat pada kenyataannnya ada ketimpangan besar akan penguasaan sumber daya bumi sebagai akibat dari berabad-abad kolonialisme, dan ditambah lagi ukuran-ukuran yang dipakai adalah ukuran yang ditentukan oleh mereka sebagai penguasa. Seperti kalau Wakanda mau mengukur teknologi AS dengan ukuran kemajuan teknologi Vibranium.

Lebih jauh lagi, bagaimana persoalan orang kulit hitam di AS yang terepresi secara politis akan dipecahkan dengan pendidikan dan outreach tentang teknologi Vibranium Wakanda? Atau, pendidikan seperti apa yang bisa diberikan oleh Wakanda yang bisa membantu membebaskan mereka dari opresi politik? Bagaimana cara Nakia me-reframe masalah orang kulit hitam AS untuk menjustifikasi intervensi teknis oleh foreign aid Wakanda? Seperti apa kebijakan development aid-nya T'Challa? Mana concept note, white paper dan log-framenya? Bagaimana dengan sistem monitoring dan evaluationnya?

But no, really. Tutup mata dan bayangkan, bagaimana cara Wakanda untuk masuk ke AS? Berapa pertanyaan yang akan ditanyakan oleh AS dan berapa banyak scrutiny yang harus mereka lalui? Apa efek dan hasil dari proyek? Bagaimana mereka menjamin efek proyek mereka tidak melenceng dari tujuan awal dan merugikan negara AS? Kenapa harus Wakanda yang melakukannnya? Bagaimana mereka menjamin tidak akan ada penyalahgunaan? Dan seterusnya dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan yang semestinya juga dilayangkan oleh negara manapun yang menjadi sasaran development project. Sayangnya biasanya negara-negara ini tidak cukup memiliki kekuasaan untuk melakukannya.

Jokes aside, it's a nice subversion, hanya saja gw tidak sepenuhnya yakin bahwa ini adalah maksud dari si pembuat film.

Jadi begitulah, semacam rangkuman dari kekecewaan gw terhadap bagaimana film Black Panther mengangani cerita yang semestinya menyentuh hati para subyek poskolonial dimana-mana. Sebuah premis cerita yang berpotensi menjadi sangat hebat, akan tetapi pada akhirnya memilih jalan yang aman, sehingga pada akhirnya berujung pada ketidakpuasan akan seorang karakter villain. Tapi ya, fakta bahwa gw menulis blog ini adalah sebuah bukti bahwa paling tidak film Black Panther sudah berhasil mengangkat pembicaraan tentang masalah-masalah yang penting yang bisa merangsang refleksi kita terhadap masalah-masalah tersebut. Tentu saja, tulisan ini adalah refleksi yang sifatnya cukup ngasal dan sama sekali tidak luput dari kesalahan. Untuk itu, semoga pembaca bisa memaklumi.