Saturday, December 12, 2020

Perjalanan PAUD Si Kentul, Bermain-Main dalam Fandom dan Refleksi Terhadap Sistem Pendidikan Kita

 Beberapa tahun terakhir, ikutan sebuah fandom acara televisi AS bikin saya makin sadar banget betapa kurangnya minat membaca dan menulis orang Indonesia. Di fandom luar negeri, ada ribuan essay  yang ditulis secara sukarela oleh para fans, membahas luar dalam cerita, visual, karakter, dan lain sebagainya dari acara televisi atau film yang mereka gemari, dari analisis yang “dangkal” sampai yang sedalam level tesis S3. Dari sebelum ikutan fandom pun saya sudah menyadari sih kurangnya budaya membaca dan menulis di Indonesia. Saya sendiri merasakan babak belurnya mendadak harus ngejar kemampuan menulis essay saat masuk S1 dan lagi saat masuk S2. Hanya saja saat melihat bagaimana seseorang bisa menulis panjang kali lebar kali tinggi mengenai karakter favoritnya dalam fandom lah saya benar-benar bisa melihat betapa sangat mendarah dagingnya kebiasaan untuk analitis, kritis dan kebiasaan mengekspresikan analisis tersebut dalam bentuk tulisan bagi orang-orang di negara lain.

Lalu apa hubungannya dengan PAUD bagi anak saya si Kentul? Well, kalau Anda mengira bahwa belajar menulis essay itu mulai dilakukan di SMA atau kuliah itu salah banget. Kebiasaan membentuk dan mengekspresikan pikiran, membahas dan membuat argumen itu dimulai dari sejak pra sekolah. Ini adalah pembelajaran yang saya dapat sejak mendampingi sendiri pendidikan anak saya yang sekarang berusia 5 tahun.

Sebagai latar belakang, saya biasa tau beres soal pendidikan anak saya karena dari sejak bayi dia masuk sebuah sekolah/daycare yang sangat baik dekat rumah. Dia kami masukan daycare waktu itu hanya karena saya tidak kuat mengurusi dia sendirian 24 jam sehari 7 hari seminggu. Namun ternyata banyak manfaat pendidikan yang didapat. Sejak usia 7 bulan (baby class) hingga 4 tahun (playgroup) dia menikmati pendidikan dari sekolah, sedangkan saya tinggal menikmati aja perkembangannya di rumah. Tapi lalu kemudian setelah Kentul selesai playgroup kami memutuskan untuk pindah rumah dan di tempat baru TK yang tersedia adalah TK negeri. Awalnya sebagai orangtua kami santai-santai saja. Selain ini “baru TK” kami juga ingin egaliter dan tidak ingin menjadi elitis yang anaknya harus masuk sekolah plus-plus-plus. Ada beberapa kekagetan yang harus saya hadapi masuk TK negeri, dari yang ternyata semua ibu menunggui anaknya di sekolah, sementara sekolah Kentul yang dulu agak-agak Montessori yang mengedepankan kemandirian, sampai soal kebiasaan jajan. Namun kekagetan terbesar adalah ketika ada tugas-tugas menulis di buku kotak atau buku garis yang tidak selesai ia kerjakan di sekolah dan harus dikerjakan di rumah. Ketika saya mendampinginya untuk melakukan tugas itu, dia mengalami kesulitan besar.

Dari situ mulai blingsatan lah saya, gugel ke sana ke mari, bahkan akhirnya saya minta sesi konseling psikologi di sekolahnya yang lama. Dan dari situ saya mulai aktif untuk semacam “semi home schooling”. TK ditargetkan hanya untuk sebagai sarana bertemu dan bermain dengan teman sebaya dan saya tidak menaruh harapan apa-apa dari segi “pendidikan” di sana. Tapi lalu masuk semester kedua di TK A datanglah pandemi. Semakin aktif lah kegiatan home schooling si Kentul bersama saya.

Anyway, kembali pada topik. Saya membeli banyak sekali buku PAUD dari toko buku. Syukurlah saya punya cukup privilege untuk mampu melakukan ini. Saya beli buku keluaran lokal, keluaran Cina, dan terakhir dapat keluaran Amrik. Ada satu latihan di buku keluaran Cina yang simply menyediakan gambar-gambar kegiatan sederhana, lalu instruksinya si anak diminta menceritakan apa yang terjadi di gambar itu. Di saat itu saya kayak, wow. Latihan sederhana seperti ini memaksa dia untuk 1) memperhatikan gambar dengan teliti, 2) membentuk pikiran tentang gambar itu, 3) mengekspresikan pikiran tersebut dalam bahasa lisan 4) mendapatkan apresiasi dari kegiatan tersebut. Ini adalah langkah pertama dalam kebiasaan berpikir kritis dan membuat argumen. Kita harus membiasakan diri untuk mampu mendeskripsikan apa yang terjadi dan membentuk pikiran tentang hal tersebut. 

Jujur untuk saya pribadi, ketika menulis saya paling struggling untuk mendeskripsikan secara detail situasi yang hendak dibahas. Saya tidak merasa pikiran saya tentang situasi yang semua orang sudah tau itu penting untuk ditulis. Sehingga saya merasa tidak mampu atau tidak penting untuk mendeskripsikan ulang situasi tersebut. Saya terbeban untuk hanya menulis hal-hal yang “berat” saja, hal-hal yang memiliki “muatan keilmuan”. Padahal bahasan yang menjelaskan detail-detail yang akan kita bahas juga penting, jangan berasumsi bahwa semua orang sudah mengetahui hal-hal yang sedetail itu. Ini saya sadari saat membaca essay-essay dalam fandom. Misalnya: semua orang bisa melihat seperti apa kostum Kylo Ren dalam Star Wars, tapi untuk bisa membuat argumen mengaitkan kostum tersebut dengan Ksatria Templar si pembuat argumen harus mendeskripsikan detail-detail kostum yang membuatnya mirip dengan Ksatria Templar. Detail-detail tersebut tentu saja nampak bagi semua orang dan bisa dilihat sendiri, tapi mungkin mereka tidak perhatikan. Sebagai contoh kalau saya yang disuruh menulis argumen tersebut saya mungkin akan skip bagian deskripsi detail dengan asumsi kan semua orang bisa lihat buat apa dengerin saya mengulang semua itu. Atau saya cuma akan taruh gambarnya saja berdampingan dan mengasumsikan semua orang akan langsung bisa mengaitkan sendiri. Kan bego ya? Bahasan detail tersebut bagian penting dari argumen because it may not be obvious for everyone. Saya tidak terbiasa menghargai pikiran saya dan tidak terbiasa diminta mengekspresikannya.

Dan yep, ini baru saya sadari ketika membahas hal-hal sederhana seperti karakter fandom. Semua pembelajaran-pembelajaran ini tidak bisa nampak ketika terkubur dalam jargon-jargon akademis. Kita melakukan lompatan besar dari sekolah dasar dan menengah ke strata 1. Di sekolah dasar dan menengah tidak terbiasa diminta menganalisa, berargumen dan menulis, mendadak di strata 1 langsung diminta melakukannya dalam jargon keilmuan masing-masing. Tentu saja babak belur. Yang kita diajarkan di sekolah dasar dan menengah dalam hal menulis itu hanya “mengarang”, yang sama sekali berbeda dari menulis essay.

Kemudian belum lama saya juga mendapatkan buku PAUD keluaran Amrik. Selama pandemi ini si Kentul menerima tugas-tugas sekolah untuk dilakukan di rumah, dan sebetulnya di luar pekerjaan non-produktif seperti menulis berulang-ulang di buku bergaris, tugas sekolah TK dia gak jelek-jelek amat. Ada kegiatan fisik motorik seperti main bola dan prakarya, lalu berhitung, mengenal buah-buahan dan tumbuhan, menanam biji, alfabet dan angka. Dan ini kurang lebih sama kok dengan tugas-tugas di buku PAUD Amrik. Tapi ada satu hal yang sama sekali nggak ada di TK sini yaitu tugas membaca buku, dan bukan hanya membaca, tapi juga membahas buku tersebut. Rupanya sejak TK anak di Amrik dibiasakan untuk membaca buku (atau dibacakan buku) dan kemudian ia diminta untuk mengekspresikan pikirannya tentang apa yang dia baca tersebut. Dia diminta menjelaskan ini cerita karakter utamanya siapa, bagaimana sifatnya, apa masalah yang dia hadapi dan bagaimana solusinya, serta apa pelajaran yang bisa diambil dari tulisan itu. Ini lagi-lagi adalah langkah penting dalam membentuk pikiran yang analitis dan pembiasaan untuk mau dan mampu mengekspresikannya. Nggak heran lah kalau fandom luar negeri bisa menghasilkan ribuan essay.

Kemudian sejak saya mulai melakukannya dengan anak saya, saya pun terkagum-kagum dengan banyaknya pembelajaran yang bisa diperoleh dengan kegiatan “sederhana” tersebut. Sebetulnya saya merasa bodoh banget bisa missed kegiatan ini dari awal. Dengan membahas bacaan banyak detail-detail yang terbahas dan menjadi pelajaran bagi si anak. Misalnya saat membahas cerita Kancil saya jadi harus menjelaskan secara detail apa itu artinya “cerdik” dan kemudian membahas perilaku cerdik seperti apa yang etis dan apakah perilaku si Kancil masih bisa diterima atau tidak secara etika. That’s from one story.

That being said, bukan berarti orang Indonesia semuanya nggak bisa nulis lho. Banyak banget yang jago meskipun sistem pendidikan kita nggak kayak di Amrik. Dan itu membuat saya semakin terkagum-kagum pada mereka. Lagian siapa tau ada esai 5.000 kata tentang Dilan yang saya nggak tau kan? Jangan-jangan ada?

Tuesday, August 4, 2020

Nagini: Di mana menurut saya Acha Septriasa lolos dari lubang maut rasisme menjijikan JKR meskipun sayangnya nama Indonesia enggak

Ini adalah postingan teramat kesiangan sebagai lanjutan dari postingan sebelumnya mengenai tokoh Nagini di dalam franchise Harry Potter, khususnya dalam film Fantastic Beasts 2: Crimes of Grindelwald di tahun 2018. Saya membuat postingan yang lalu sebelum saya menonton filmnya dan postingan lanjutan ini adalah semacam tanggapan saya (2 tahun kemudian hahaha) setelah menonton filmnya.

Di postingan terdahulu, saya menyampaikan beberapa kekuatiran terkait adaptasi tokoh Nagini yang diklaim oleh penulis JK Rowling sebagai adaptasi dari mitologi naga Indonesia:

1.) Penggunaan negara-bangsa "Indonesia" sebagai istilah yang memayungi asal-usul mitologi Naga ketika masing-masing suku bangsa di Nusantara memiliki mitologinya masing-masing. Dalam hal ini mitologi yang menggunakan bahasa Sansakerta "naga" secara khusus adalah mitologi yang diadaptasi oleh suku Jawa/Bali dari India melalui Hinduisme.

2) Kalaupun memang Nagini diadaptasi dari naga dari Jawa/Bali, semestinya ada kekhususan tertentu yang tampil. Dalam hal ini, naga Jawa/Bali misalnya digambarkan selalu memakai mahkota, termasuk tokoh-tokoh naga perempuan seperti Nyi Blorong maupun  Dewi Nagagini. Di trailer pun telah terlihat bahwa Nagini tidak menampilkan kekhususan seperti ini. Satu-satunya penanda adalah etnisitas pemeran yang sudah menimbulkan kontroversi habis-habisan, apakah semestinya dia boleh diperankan oleh aktris Korea Selatan, atau harus aktris India, atau aktris Indonesia, atau spesifik aktris Jawa.

3) Kemudian dari sini saya membahas masalah otoritas terhadap representasi tersebut. Nagini yang diklaim sebagai adaptasi dari naga Indonesia, ada sepenuhnya di bawah kuasa kreativitas pembuat film dan cerita yang bukan berasal dari pemilik mitologi tersebut. Tidak ada pelibatan pemilik kebudayaan untuk turut menentukan seperti apa representasi yang mereka (kita) inginkan di dalam film tersebut.

Melihat poin ketiga, sudah jelas jawabannya ketika akhirnya menonton filmnya bahwa hasilnya adalah bencana, yang entah disadari oleh siapapun atau tidak.

Sebelum masuk ke bagian yang paling kacau menurut saya, saya akan bahas dulu seuatu terkait dengan poin no. 1. Kekuatiran saya tersebut semakin tersorot di dalam film. Di postingan sebelumnya saya tidak ingat bahwa film bersetting di tahun 1927, 18 tahun sebelum Indonesia merdeka. Ketika Nagini hendak muncul di sirkus, pembawa acara sirkus mengumumkan bahwa ini adalah mahluk yang berasal dari hutan di Indonesia.

Yep. "Indonesia", belum ada di saat itu. Nusantara masih barangkali disebut sebagai East Indies, atau Hindia Belanda. Mungkin lebih pas kalau disebut Nagini diambil dari hutan di Jawa atau Kalimantan atau Sumatera dsb. Kesalahan yang simpel? Ignorance terhadap sejarah? Keputusan komersial? We'll never know.

Kemudian hal teramat penting lain yang mengganggu saya adalah kutukan maledictus, dan bagaimana Nagini menjadi tontonan sirkus gara-gara kutukan itu. Oke, jadi pertanyaannya adalah kenapa Nagini menjadi tontonan sirkus?

Dari sejarah kita tahu bahwa freak show adalah memang semacam hiburan di Inggris di pertengahan abad ke-16, di mana mereka akan menonton mahluk dengan kelainan yang langka seperti kembar siam. Baik, jadi Nagini adalah semacam freak show? Kelainan apa yang dihasilkan dari kutukan maledictus? Bahwa Nagini bisa berubah menjadi ular. Tetapi bukankah banyak penyihir di dunia Harry Potter yang bisa menjadi hewan dan mereka disebut animagus? Jadi apa menariknya melihat seseorang berubah menjadi ular?

Well, selain freak show, di masa itu orang Eropa juga rupanya senang menonton human zoo. That's right, human zoo. Di mana manusia-manusia yang bukan orang Eropa berkebudayaan Barat dipamerkan sebagai tontonan. Seperti hewan (although for the record, saya juga merasa hewan harusnya juga tidak dipamerkan sebagai tontonan, but we are talking about humans here, not just any humans, but us!). Dan guess what, salah satu pionir human zoo di Jerman waktu itu adalah pedagang hewan liar, yang merasa kegiatan perdagangan hewannya kurang menguntungkan sehingga ia menambahkan manusia ke dalamnya.


Jadi saya menyimpulkan bahwa Nagini dipamerkan bukan karena dia bisa berubah menjadi ular. Apa anehnya buat para penyihir di dunia Harry Potter? Animagus juga bisa berubah menjadi hewan. Tetapi karena dia berasal dari "Indonesia" dengan kutukan eksotis maledictus yang semacam animagus versi KW (karena kita selalu lebih rendah dari bangsa Eropa tampaknya), dia menjadi menarik bagi para penonton Eropa. She's both a freak show and a human zoo object. Dengan demikian sedikitnya representasi orang-orang non kulit putih dalam kisah fantasi Harry Potter, untuk satu-satunya representasi orang dan/atau mitologi Asia Tenggara dia menampilkannya dalam sejarah tergelapnya, sebagai orang yang dianggap hewan tontonan oleh orang kulit putih. Menurut saya ini cukup jelas karena:

- Sebelum munculnya Nagini, pembawa acara harus mengumumkan asal-usul Nagini dari tempat eksotis "Indonesia" yang menandakan bahwa itulah yang membuatnya menjadi menarik dilihat
- Maledictus adalah kutukan yang tidak setara dengan sihir animagus, melainkan seperti yang sudah saya bilang di atas adalah versi KW nya. Maledictus adalah kutukan yang jatuh ke seseorang tanpa dia bisa memilihnya dan kutukan ini merupakan bencana bagi dia  karena dia akan berubah menjadi ular selama-lamanya. Human zoo memang dimaksudkan untuk memamerkan kebudayaan yang dianggap lebih "primitif" daripada kebudayaan bangsa kulit putih Eropa
- Nagini memang akan menjadi hewan untuk selama-lamanya
- Yang kemudian menjadi piaraan Voldemort....

Guys?....

Kesimpulannya, orang Indonesia tidak seharusnya bangga sama sekali dengan tokoh Nagini, malah seharusnya tersinggung. Sebab dasar dari penokohan Nagini teramat rasis dan merendahkan manusia lain yang seharusnya tidak muncul lagi di tahun 2018. Kalau saya bilang, kita semua harusnya bersyukur Acha Septriasa tidak jadi memerankan tokoh tersebut. She dodged a f***in bullet!