Thursday, September 6, 2018

Komentar terhadap Film Sultan Agung (2018): Skandal Jari Telunjuk di Kerajaan Mataram


Sebagai fans berat serial Game of Thrones, sebetulnya sudah lama saya gatal soal kenapa kita orang Indonesia nggak bisa bikin cerita, film dan serial televisi sebagus GoT. Dengan sejarah nusantara yang panjang, dengan kerajaan-kerajaan kunonya, baik yang Hindu-Buddha maupun Islam, materi yang kita punya pasti begitu banyaknya. Selain banyak, materi tersebut juga unik karena pasti berbeda dengan sejarah orang Barat yang sudah banyak dieksploitasi dalam karya-karya populer mereka. Game of Thrones diinsipirasi oleh War of the Roses, yaitu sejarah nyata kerajaan Inggris tentang dimulainya dinasti Tudor . Maka semestinya kita juga bisa membuat cerita yang sama menariknya dengan inspirasi dari sejarah kerajaan-kerajaan nusantara yang penuh intrik dan drama, peperangan dan pengkhianatan. Salah satu yang paling populer misalnya cerita tentang Ken Arok dan kisah naiknya ia menjadi Raja Singasari. Saya ingin sekali melihat cerita-cerita ini dibuat lagi dengan nilai produksi yang tinggi.
Ketika ada film tentang Sultan Agung di bioskop, saya cukup bersemangat. Selain yang main adalah aktor Indonesia yang teramat ganteng, cerita tentang raja Jawa pun terasa cukup dekat di hati saya. Belum lama Bapak saya meninggal dan dalam kesedihan saya berusaha mendekatkan diri kembali dengan kebudayaan Jawa, dalam usaha untuk memahami Bapak saya tersebut. Beliau tetap memiliki kepercayaan kejawen, meskipun dalam kesehariannya dia sangat tidak Jawa. Di masa kuliah saya mengambil satu kelas yang mengharuskan saya membaca tentang filosofi mendasar yang tipikal bagi kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Beberapa tulisan yang dapat menjelaskan ini mengambil kerajaan Jawa sebagai contoh. Salah satu yang amat membantu saya memahami filosofi mendasar tersebut adalah esai klasik oleh Benedict Anderson berjudul “The Idea of Power in Javanese Culture (Anderson 1990). Membaca esai tersebut saya jadi menyadari betapa berbedanya konsepsi orang Jawa terhadap dunia ini, khususnya tentang politik, serta bagaimana karakteristik Raja dan cara ia berkuasa, serta apa artinya benda-benda pusaka yang biasanya dikumpulkan oleh orang Jawa. Sewaktu Bapak saya meninggal, dan ada beberapa benda pusaka yang harus diurus oleh anak-anaknya, saya memutuskan untuk membaca kembali esai tersebut.
Soal benda pusaka Bapak saya, itu adalah cerita untuk lain waktu, namun yang jelas esai Anderson berbicara utamanya mengenai raja dan kekuasaannya. Sunggu relevan dengan film Sultan Agung, yang menceritakan sang raja Jawa di jaman keemasan Kerajaan Mataram. Maka ketika saya melangkah ke bioskop untuk menonton film ini, tentu saya sudah berbekal sedikit pengetahuan dan ekspektasi yang barangkali sedikit keterlaluan untuk diterapkan bagi film ini. Barangkali, penonton umum tidak akan segalak saya dalam mengamati dan menikmati film ini. Mas-mas yang duduk di samping saya, yang bisa ikut bernyanyi tembang Jawa saat ada di film, sepertinya senang-senang saja (FYI, saya nggak bisa bahasa Jawa). Sementara mata elang saya yang bersenjatakan esai Anderson menangkap momen-momen yang menunjukkan ketidakselarasan tampilan di film dengan filosofi mendasar tentang kekuasaan di Jawa.
Konsep Kekuasaan Jawa
Kekuasaan, dalam hal ini yang disebut oleh orang Barat sebagai “power” memiliki konsepsi  yang sangat berbeda. Power dalam pengertian Jawa lebih tepat disebut sebagai “kesaktian” atau “wahyu” yang sifatnya material, mungkin seperti “the Force” dalam jagat Star Wars. Ia bersifat material dan seringkali memiliki wadah (dan di sinilah benda pusaka berperan). Kesaktian dapat diperoleh dengan mempraktikkan pertapaan; menahan diri dari berbagai nafsu, melakukan semedi, menjauhkan diri dari hal-hal yang sifatnya duniawi dan tidak boleh pamrih, atau melakukan segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri. Sifat halus adalah hasil dari pertapaan ini. Jika seseorang menunjukkan nafsunya, termasuk nafsu amarah, maka ia lemah.
Seorang raja Jawa adalah orang yang memegang kesaktian tertinggi, maka dari itu sifat raja adalah sifat terhalus, jauh lebih halus dari abdi-abdinya apalagi musuhnya. Cara ia memerintah dan berkuasa pun sangat halus dan kehalusan ini yang membuat ia menjadi powerful. Dalam kata-kata Anderson:
"The slightest lifting of his finger should be able to set a chain of actions in motion. The man of real Power does not have to raise his voice nor give overt orders. The halusness of his command is the external expression of his authority" (Anderson 1990, 54).

Bukan hanya perintah, namun dalam menghadapi pertengkaran dengan musuh pun, raja akan menunjukkan kesaktiannya dengan kehalusannya. Kita dapat melihat ini dalam tarian-tarian wayang dalam adegan pertempuran antara ksatria dengan raksasa. Ksatria akan berpose dengan anggun dan diam, tak terganggu dengan gerak-gerik kasar raksasa, kemudian dia akan mengalahkan raksasa dengan satu gerakan elegan yang tampak sama sekali tidak menguras tenaganya. Maka demikian pula semestinya gerak-gerik sang raja Jawa dan orang-orang Jawa pada umumnya di masa itu. Pembawaannya halus, bicaranya halus, sopan santun dan merendah. Suami saya pun cerita bahwa ia pernah menyaksikan pertengkaran lalu lintas di Jogja. Semakin bertengkar bahasa yang dipakai semakin halus; “njenengan” bukan “kowe” yang dipakai. Lalu apakah karakteristik ini termanifestasi di film? Jawabannya adalah tidak.

Pengamatan Gerak Tubuh dan Dialog dalam Film

Ada pengalaman yang menarik ketika saya menonton film Star Trek Beyond yang di dalamnya bermainlah aktor Indonesia Joe Taslim.

Setelah Star Wars, sekarang Star Trek. Apakah hubungannya dua film tentang peperangan di luar angkasa dengan cerita seorang Raja di Bumi tanah Jawa?

Saat nonton Star Trek Beyond, saya tidak mengetahui bahwa Joe Taslim turut bermain di film itu sebagai karakter Manas. Karakter Manas adalah karakter alien, sehingga aktor pemainnya ditutupi dengan make up sehingga ketika Joe muncul, saya sama sekali tidak tahu bahwa itu Joe. Namun ketika Manas menganggukan kepala sambal memejamkan mata saat bersiap untuk bertempur, saya merasa agak tercolek sedikit dengan gestur tersebut. Saya nggak tahu apa yang “salah” dengan gestur itu dan sampai sekarang pun saya tidak dapat menjelaskannya. Yang jelas, begitu tahu itu Joe, saya tiba-tiba memahami dan memaklumi gestur tersebut. Barangkali saya tidak pernah melihat orang bule melakukan gestur seperti itu dan itu adalah gestur khas orang Indonesia.

Lalu bagaimana dengan gestur karakter-karakter dalam film Sultan Agung yang semestinya sangat Jawa? Ada beberapa yang saya perhatikan kurang sesuai dengan ekspektasi.

Yang pertama, beberapa karakter (termasuk karakter Sultan) menggunakan jari telunjuk untuk menunjuk, kemanapun, dan terutama ke orang. Ini dianggap sangat tidak sopan bagi orang Jawa dan saya sungguh tidak dapat membayangkan orang Jawa di masa itu akan pernah menggunakan telunjuknya untuk menunjuk. Di masa kini pun di Jogja tempat saya tinggal atau di kota-kota lain di Jawa jika kita meminta penunjuk arah kepada orang lokal, selain menerima petunjuk arah utara, selatan, timur atau barat (yang akan membuat orang Jakarta sangat frustrasi karena mengharapkan petunjuk kanan kiri), orang tersebut mungkin akan menggunakan jempolnya untuk menunjuk. Demikian juga ketika mempersilakan. Orang Jawa akan menggunakan jempolnya.

Ada seorang ahli politik yang menganalisa kepemimpinan Obama dan mengatakan bahwa gaya kepemimpinan Obama ternyata sangat Jawa. Hipotesis dia dimulai ketika memperhatikan cara Obama menggunakan jempolnya seperti orang Jawa di dalam sebuah acara debat (Fox 2013). Dan begitulah pentingnya jari jempol vs telunjuk dalam gestur Jawa yang sayangnya tidak diperhatikan dalam film ini.

Selain hal kecil seperti penggunaan jari telunjuk, secara umum sifat kehalusan orang Jawa kurang diperhatikan di film ini. Banyak adegan Sultan serta karakter-karakter lain mengeluarkan emosi kemarahan, suara naik, membentak, bahkan menggebrak meja. Barangkali ini bagus untuk menampilkan drama dalam film akan tetapi sebagai karakterisasi kurang tepat. Ditambah lagi dalam hubungan kekuasaan antara Sultan dengan abdinya, ada dialog-dialog yang kurang pantas diutarakan oleh seorang abdi. Seperti misalnya “Sultan harus segera membuat keputusan” yang merupakan sebuah kalimat perintah langsung yang sangat keras. Orang Jawa dikenal dengan bahasanya yang “muter-muter” karena ia tidak akan menyampaikan maksudnya secara langsung agar maksud tersebut sampai secara halus. Raja sendiri pun tidak akan membuat perintah langsung, akan tetapi ia akan membuat perintah dalam Bahasa yang halus, tidak terkesan seperti perintah, lebih seperti permintaan, namun bobot dari perintah dengan bahasa halus tersebut janganlah diremehkan. Sesuai dengan karakteristik kesaktian dalam budaya Jawa, perintah yang diutarakan dalam kehalusan justru memiliki kekuatan yang lebih besar.

Namun, jika karakterisasi tepat dan semua karakter harus berdialog dengan halus, tidakkah film akan terasa membosankan? Justru di sinilah menurut saya tantangan bagi kreativitas dan kejagoan pembuat film dan juga untuk aktor. Dan juga di sinilah kita bisa bermain dengan identitas dan karakter unik dari budaya asli nusantara daripada bermain aman dengan karakterisasi dan dialog populer. Salah satu pesona dari serial televisi Downton Abbey yang membuatnya sangat disukai misalnya, adalah logat British yang posh dan dialog-dialog dengan kalimat Inggris yang njelimet, muter-muter dan penuh sopan santun seperti di Inggris masa lalu. Dan itu pula yang membuat Pride and Prejudice karya Jane Austen diadaptasi berulang-ulang dan ditonton (serta dibaca) berulang-ulang oleh para fansnya. Salah satu alasan mengapa  Mr. Darcy membuat cewek-cewek klepek-klepek adalah karakternya yang stoic. Mengapa seniman-seniman Indonesia tidak coba bereksperimen dengan bahasa Jawa kromo yang asli nusantara dan karakter-karakter halus bak ksatria dalam wayang?

Tentang Lembayung dan Representasi Perempuan

Membicarakan film Sultan Agung tentu harus membicarakan tentang tokoh utama perempuannnya yang cukup mengambil porsi plot. Tokoh ini bernama Lembayung yang tidak nongol di halaman sejarah tentang Sultan Agung dan memang merupakan tokoh fiktif (Daryono 2018). Ceritanya Lembayung yang jagoan silat adalah pacar Sri Sultan saat ia muda dan belum menjadi raja.

Saya memiliki pendapat personal mengenai cewek-cewek jagoan yang sangat memengaruhi perasaan saya tentang tambahan plot Lembayung di film ini.

Seperti semua gadis-gadis kecil di luar sana, saya selalu ingin menjadi cewek jagoan. Toh saya tumbuh dengan serial Wonder Woman dan Xena Warrior Princess. Jangan salah, sampai sekarang pun saya masih suka banget dengan cewek jagoan dan saya akan nonton film apapun yang ada cewek jagoannya dan saya sangat mendukung cewek-cewek yang suka dan mau jadi jagoan silat. Tentu saja perempuan sebaiknya boleh memilih apa yang disukainya dan perkembangan yang sangat bagus bahwa di masa sekarang perempuan bebas jika mau melakukan aktivitas-aktivitas dan sifat yang bernuansa maskulin. Akan tetapi saya belakangan menyadari betapa budaya dan/atau media kita sekarang sangat memberi penghargaan tinggi terhadap hal-hal yang “berkode” maskulin dan tidak menghargai hal-hal yang berkode feminin. Mengenai hal ini saya sempat bahas di postingan terdahulu yang merupakan review film Tomb Raider. Tokoh perempuan baru dianggap menarik jika iya menampilkan kekuatan bersifat maskulin; kuat secara fisik misalnya, bisa silat, berilmu yang bukan ilmu kerumahtanggaan dan domestik, berani melawan dan sebagainya. Sifat-sifat feminin dianggap kelemahan, misalnya lembut dalam berbicara, nurturing, memakai rok, penurut dan sebagainya. Tokoh dengan sifat feminin yang digambarkan positif biasanya dalam bentuk ibu, dan semakin jarang sebagai perempuan muda yang menjadi pahlawan utama dalam cerita atau love interest si pahlawan. Kalaupun ada tokoh feminin yang dianggap “kuat” maka biasanya ia adalah tokoh feminin yang memanfaatkan seksualitasnya untuk mengontrol orang lain.

Coba tanyakan pada fandom Game of Thrones, tokoh mana yang lebih mereka suka, Sansa Stark atau Arya Stark? Pasti sebagian besar akan menjawab Arya, dan bahkan akan mengatakan mereka benci Sansa. Sansa adalah gadis feminin, sedangkan Arya adalah adiknya yang lebih berkode maskulin. Padahal di dalam cerita, Sansa diceritakan dapat bertahan hidup sebagai prisoner of war dengan soft power yang dimilikinya, yaitu ketabahan, kebaikan hati dan kemampuannya untuk bersopan santun, mengatakan hal-hal yang tepat di saat yang tepat. Jika salah bicara, maka ia bisa saja mendapatkan hukuman dari penangkapnya. Namun tetap saja sebagian besar penonton GoT membenci Sansa dan mengatakan Sansa adalah tokoh yang paling tak berguna.

Kembali ke Sultan Agung, saya hanya bisa berspekulasi mengenai penambahan tokoh Lembayung ke dalam cerita ini (karena ia fiksi). Karena jujur, plot dengan Lembayung bagi saya sangat terasa ketidaksinambungannya dengan sisa cerita, yaitu mengenai naiknya Sultan ke tahta dan kampanyenya melawan VOC. Ini adalah alasan utama cerita film tidak terasa bulat bagi saya.
Apakah tokoh Lembayung ditambahkan karena film ingin memiliki tokoh utama perempuan yang “kuat”?

Film Sultan Agung dibiayai oleh seorang perempuan (Mooryati Soedibyo) yang mendapatkan kekayaannya dengan menjual kosmetik (Mustika Ratu) pada perempuan. Maka apakah penambahan tokoh perempuan adalah untuk kepentingan penonton perempuan?

Ada dua hal yang ironis jika ini memang benar. Pertama film ini tidak lolos Bechdel test. Bechdel tes adalah sebuah tes untuk menilai representasi perempuan dalam karya fiksi dengan melihat apakah ada tokoh-tokoh perempuan yang berbicara satu sama lain tentang hal selain laki-laki (Wikipedia 2018). Tes ini mungkin bukan tes yang paling akurat untuk menilai representasi perempuan dalam sebuah karya akan tetapi yang menarik dari tes ini adalah betapa gampangnya hal yang dimintanya, hanya dua atau lebih tokoh perempuan yang memiliki nama, saling berbicara satu sama lain tentang hal selain laki-laki. Ada beberapa tokoh perempuan dalam film ini dan tidak sekalipun kita melihat dialog diantara mereka. Barangkali yang paling gawat adalah antara Gusti Ratu Banowati (ibu Sultan Agung) dengan Gusti Ratu Tulung Ayu (ibu Pangeran Martopuro) ketika jelas ada rivalitas diantara mereka untuk menaikan anak masing-masing ke tahta Mataram, namun tak ada satupun dialog diantara mereka. Begitupun tokoh Lembayung dengan Ratu Batang, kedua tokoh perempuan ini tidak berbicara satu sama lain, melainkan Ratu Batang hanya mengintip Lembayung berbicara dengan suaminya dengan curiga dan kesedihan. Apakah ini terjadi karena sebagian besar tim pembuat film merupakan laki-laki?

Hal ironis kedua, sebetulnya tokoh Lembayung tidak perlu ditambahkan, karena sudah ada tokoh-tokoh perempuan di dalam hidup Sultan. Apakah pembuat film enggan mengeksplorasi tokoh-tokoh ini karena femininitas mereka? Lalu kenapa pada akhirnya Lembayung mengubah keputusan Sultan dengan soft power of persuasion? Apakah Lembayung harus jago silat dulu agar Sultan bisa jatuh cinta padanya sehingga akhirnya baru mampu mempengaruhi keputusan-keputusannya? Ini tuduhan serius yang tidak mau saya tuduhkan dengan serius, toh ini cuma spekulasi saya saja.

Salah satu period drama yang saya tonton dalam rangka lebih memahami War of the Roses berjudul The White Queen. Serial TV tersebut memiliki satu quote yaitu “men go to battle, women wage war”. Peran perempuan dalam sejarah seringkali dikecilkan karena barangkali sejarah ditulis oleh laki-laki. Padahal naik turunnya raja tidak lepas dari peran ibunya dan siapa ratunya. Di dalam The White Queen dan sequelnya, The White Princess, naiknya Henry Tudor diceritakan tidak lepas dari perjuangan sang ibu, Margaret deBeaufort dan menikahnya ia dengan Elizabeth of York yang menyegel bersatunya keluarga Lancaster dengan York menjadi dinasti Tudor. Begitupun jatuh bangunnya Edward IV dan Richard III sebelum Henry Tudor, tidak lepas dari peran Elizabeth Woodville yang merupakan isteri Edward IV.

Seperti Gusti Ratu Banowati dan Gusti Ratu Tulung Ayu, siapa yang tahu langkah politik apa yang mereka lakukan untuk menaikkan anaknya ke tahta? Lalu dukungan dan kesetiaan macam apa yang diberikan Kesultanan Cirebon pada Sultan Agung karena Ratu Mataram berasal dari Kesultanan Cirebon? Apakah perempuan-perempuan yang sedang kita bicarakan ini jago silat? Kayaknya tidak. Apakah perempuan-perempuan yang kita bicarakan ini kuat? Pasti. Bayangkan jadi seorang putri, harus menikah dengan laki-laki yang dijodohkan oleh keluarga untuk alasan politik. Ketabahan dan kesetiaan ia dalam menghadapi nasib tersebut bisa menentukan kejayaan atau kejatuhan politik seorang raja.

Renungan untuk Lain Hari

Anyway, semua yang saya omongkan di atas adalah renungan untuk lain hari. Saya hanya bisa berharap apa yang saya tulis di sini ada manfaatnya untuk membantu menaikan nilai karya-karya selanjutnya. Saya hanya seorang penikmat karya yang meminta terlalu banyak, hehehe. Dalam hal ini, kedalaman pemahaman terhadap konteks budaya yang ditampilkan dapat membantu menghasilkan visualisasi yang bukan hanya akurat namun juga memiliki pesonanya sendiri. Pemahaman ini dapat dengan mudah didapat dengan melakukan riset bacaan. Tulisan-tulisan yang dibuat oleh antropolog yang telah melakukan riset bertahun-tahun mengenai topiknya bisa dapat sangat membantu.

Atau, dalam kasus kerajaan Jawa, bayangkan, kita masih punya kerajaan Jawa beneran di masa sekarang ini! Apabila pihak kerajaan berkenan, barangkali riset pun bisa dilakukan di sana, dengan banyak ngobrol dengan keluarga kerajaan, mengamati dan meniru gerak-geriknya dan mempelajari protokolnya.

Lalu mengenai representasi perempuan, saya akan sangat senang sekali jika ada karya-karya yang dapat mengeksplorasi politik, atau apapun dari sudut pandang perempuan. Tren di Barat saat ini adalah karya-karya yang berpusat pada perempuan, seperti misalnya The White Queen yang sudah saya sebut di atas dan juga Big Little Lies, atau re-make beberapa franchise dengan mengganti karakternya menjadi perempuan seperti Ocean’s 8 atau Miss Sherlock. Ini sangat menyenangkan buat saya yang perempuan dan akan lebih menyenangkan lagi kalau ada karya-karya Indonesia yang seperti ini.

Works Cited

Anderson, Benedict R. O'G. 1990. “The Idea of Power in Javanese Culture.” Dalam Languange and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia, oleh Benedict R. O'G Anderson, 17-77. Ithaca: Cornell University Press.
Daryono, Iqbal Aji. 2018. Sultan Agung, Kebenaran Sejarah vs 'Kebenaran Film'. 31 August. Diakses September 8, 2018. https://hot.detik.com/premiere/4192003/sultan-agung-kebenaran-sejarah-vs-kebenaran-film.
Fox, Edward L. 2013. No drama, King Obama. 7 February. Diakses September 9, 2018. https://aeon.co/essays/is-obama-the-first-javanese-president-of-the-us.
Wikipedia. 2018. Bechdel test. 29 August. Diakses September 9, 2018. https://en.wikipedia.org/wiki/Bechdel_test.



No comments:

Post a Comment