Thursday, July 18, 2013

Bolehkah saya menyalahkan penjajah Belanda atas kurangnya partner Tango?

Menyukai dunia dansa-dansi kalau kamu perempuan, orang Jakarta dan bukan sosialita, dan ditambah kere sangatlah problematik.

Wait, sebetulnya menjadi atau menyukai apapun kalau kamu kere ya pasti problematik sih. Anyway, moving on.

Saya jatuh cinta pada dunia dansa, terus terang karena pengaruh mantan sahabat saya (yes, mantan and I don’t want to talk about it), yang suka nonton film  dansa  terutama Salsa. However, I always take obsession to the next level, dan saya berakhir menjadi junkie film dansa yang lebih akut dari dia. Apalagi dengan kemahiran ber-torrent, lengkaplah sudah. I’ve probably watch any dance movie (from Hollywood) there is in this world. Kami memulai obsesi dengan salsa, dan mempelajarinya selama beberapa bulan, akan tetapi obsesi saya yang paling akut adalah Argentine Tango.

Tidak, jangan berani-berani Anda mengira bahwa Antonio Banderas (Take the Lead, blah over dramatic)



atau Richard Gere (Shall We Dance, blah over dramatic)



yang menampar saya dengan Argentine Tango. Bahkan bukan pun Al Pacino (yang adegan tango dalam film Scent of a Woman-nya orang-orang hebohkan, not dramatic but he was blind in the story).



Sebuah film yang mungkin unremarkable, tapi sungguh membuat saya terobsesi dengan Argentine Tango adalah film Robert Duvall berjudul Assassination Tango. Mr. Robert Duvall dan terutama keanggunan isterinya Luciana Pedreza lah yang benar-benar memukau saya. Tidak ada dramatisasi berlebihan, hanya keeleganan yang memukau dan memicu rasa penarasaran dan gemas. Buat saya, film itu menampilkan Argentine Tango yang sesungguhnya, gerakan-gerakan sederhana yang tetapi menggelitik, bukan dramatisasi berlebihan. (bahkan stunt-stunt andalan memukau ala Argentine Tango pun nggak terlalu ditampilkan, tidak ada gancho, planeo, barridas, volcadas, colgadas, hanya basics, dengan embellishments dan SOUL).

Robert Duvall dan Luciana Pedreza dalam Assassination Tango


Kenapa dari tadi saya terus-terusan bilang “Argentine” Tango. Karena, bagi Anda yang belum tahu, Tango itu ada Ballroom Tango dan Argentine Tango dan keduanya sangat-sangat berbeda.Tapi saya tidak akan membahas sejarah, latar belakang dan perbedaan mendasar antara keduanya. Saya pikir sudah cukup banyak sumber internet mengenai itu.

Jadi setelah Salsa, tentu saja saya harus belajar Argentine Tango. Tapi berhubung saya kuper, pemalu dan enggak pernah dugem (maklum kere), susah banget ya cari guru. Sumber internet nggak membantu, dan satu-satunya petunjuk dari internet ke salah satu sanggar, setelah si sanggar ditelepon nggak membuahkan hasil. Entah itu sanggar bohong bahwa dia punya guru, nggak butuh duit, nggak butuh murid apa gimana, saya nggak ngerti deh. Sampai akhirnya setelah bertahun-tahun nggak nemu petunjuk, akhirnya internet mempertemukan saya dengan guru Argentine Tango saya sampai sekarang. Nggak, bukan bule, bukan Filipino, tapi pria Ambon. Yang hebat adalah, sama dengan saya, beliau tertarik belajar Argentine Tango gara-gara filmnya Duvall.

Masalah pertama selesai, dapat guru, mulai belajar. Masalah kedua, masalah yang sama dengan ketika belajar Salsa adalah cari partner.

FYI

Di Jakarta, kalau Anda pergi ke club pada untuk berdansa Salsa atau Tango, jangan harap ada laki-laki yang mau ngajak Anda dansa secara sosial (kecuali Anda ke sana sama teman laki-laki yang bisa dansa). Cowok-cowok yang ada di sana dan bisa dansa kebanyakan adalah apa yang disebut “Dance Instructor” alias cowok (atau cewek) bayaran yang disewa oleh club atau dibawa oleh pengunjung sendiri. Yes… jadi selain transport, minuman dan keberanian, Anda harus ngeluarin duit buat fee atau tip si dance instructor (plus transport, makan dan minum dia kalau Anda yang bawa dia). Welcome to a world where kere-ness is just unacceptable.

Faktanya adalah, begitu banyak perempuan yang senang dansa, tetapi begitu sedikit laki-laki yang senang dansa. Setidaknya di Indonesia. Atau mungkin juga di dunia. Terus terang, tugas cowok di lantai dansa itu cukup berat, sedangkan si perempuan cukup senang-senang dibawa dansa and act pretty.

Guru Tango saya, si spesies endemik langka itu, pernah bilang “pria Indonesia Timur itu harus bisa dua hal: perang dan berdansa”.

Cakalele, tarian perang dari Maluku
Sumber: http://id.m.wikipedia.org/wiki/Tari_Cakalele


Hmm…setelah saya pikir-pikir, not that I know much about it, tapi saya merasa lumrah mendengar pria Ambon, NTT, Timor-Timur, Papua, Manado bisa dansa (atau menari. Saya pernah lihat pria Papua menari secara live di depan kelas antropologi, and he was magnificent.). Tapi kalau pria dari Jawa, Sunda, Padang, Batak….not so much.

Fakta lain adalah, banyaaaak sekali dance instructor di Jakarta ini, berasal dari Filipina.

OK can I blame the Dutch on this one?  Really, it’s either they don’t have much dancing culture but even if they do, they won’t teach us inlanders, right? Pola penjajahan Belanda adalah memisahkan antara mereka penjajah dengan pribumi, atau mengutip Wikipedia “Mereka hidup terkait dengan subyek asli mereka, namun secara terpisah di bagian atas kasta rasial dan sosial yang kaku mereka mendirikan masyarakat Hindia.”  


Sementara Indonesia timur (dan Filipina), cukup “beruntung” mendapatkan lebih banyak pengaruh Portugis dan Spanyol I guess. Maka barangkaliiii, kultur berdansa dan menari lebih lekat bagi mereka daripada pria-pria di Indonesia bagian barat. I actually don't really know. Anybody have any thought about this?

No comments:

Post a Comment