Monday, April 28, 2014

Kalau bukan lagi 4 sehat 5 sempurna jadi apa dong?

Hai teman-teman, pada tau nggak kalau 4 sehat 5 sempurna udah diganti? Pasti enggak. Hehehe. Saya pun nggak akan pernah mendengar bahwa pendekatan itu sudah diganti kalau nggak punya teman dokter gizi. Saat ini dengan mudahnya akses terhadap informasi, kita para manusia urban modern bergantung pada sumber-sumber selain daripada penyuluhan pemerentah. Sekian banyak buku-buku tentang diet di toko buku, majalah kesehatan dan kecantikan dan juga trend aktris-aktris Hollywood bisa kita akses dengan mudah. Kayaknya kita akan lebih tertarik mendengar soal diet Atkins yang dilakukan oleh Renee Zellweger daripada Pedoman Gizi Seimbang (PGS) yang dikeluarkan pemerintah untuk menggantikan 4 sehat 5 sempurna.


Saya teringat teman saya Anki yang menolak mencoba pecel lele dengan alasan “pokoknya gua sih makan apa yang diajarin ama Ibu gua aja deh!”. Hmm, bayangkan bertahun-tahun setelahnya, saat lagi belajar S2 saya membaca artikel dari Michael Pollan, seorang professor jurnalisme yang ahli di bidang makanan yang menyarankan hal yang sama persis dengan yang dibilang teman saya itu. Juga, membaca artikel beliau, saya semakin menghargai betapa briliannya slogan 4 sehat 5 sempurna itu (ok, ini bukan karena suami saya adalah cucunya dr. Purwo yang membuat slogan itu ya…. Tapi ini berdasarkan artikel serius dan pertimbangan intelektual.. caelah).


Kenapa makan itu menjadi sangatlah kompleks dijawab oleh Prof. Pollan dengan menceritakan berpindahnya fokus dari makanan menjadi nutrisi. Pada awal abad 19, seorang dokter dan ahli kimia bernama William Prout menemukan apa yang disebut makronutrien, yaitu protein, lemak dan karbohidrat. Lalu pada akhir abad 19, seorang ahli kimia bernama Casimir Funk menemukan mikronutrien pertama yaitu vitamin. Berpindahnya fokus dari makanan ke nutrisi itu ternyata gara-gara seorang senator AS yang ogah kehilangan dukungan dari industri daging dan susu pada saat beliau harus membuat rekomendasi gizi untuk rakyat AS. Rekomendasi yang harus dibuat saat itu adalah untuk mengurangi konsumsi daging merah dan susu untuk mengurangi resiko sakit jantung. Tentunya bisa dibayangkan ketakutan para pelaku industri daging dan susu di AS jika rekomendasi itu benar-benar dibuat. Akhirnya, rekomendasi “diperhalus” dengan menyarankan untuk “mengurangi asupan lemak jenuh”. Ketika rekomendasi ini dibuat di Washington pada tahun 1977, pada saat itulah dimulainya “Era Nutrisionisme”.


Ini menjadi penting karena sejak fokus pada makanan berganti pada nutrisi yang “tidak terlihat” bagi mata awam, kita semakin dan semakin bergantung pada ilmuwan untuk tahu apa yang sehat untuk dimakan dan apa yang tidak. Menyusahkan buat konsumen, tapi sangat menguntungkan buat industri makanan. Coba aja bacain semua kemasan makanan yang dibuat pabrik: ada klaim gizinya nggak? Pasti ada. Mengandung vitamin A, serat, omega-3, dan semua istilah-istilah nutrisi yang mungkin kita bacanya aja nggak bisa. Dan kita pun terjual dengan semua klaim tersebut, percaya bahwa asupan nutrisi-nutrisi itu baik buat tubuh kita dan makanya kita membeli semua makanan itu.


Secara ilmiah pun, fokus pada nutrisi menyebabkan apa yang disebut sebagai “reductionist science”. Nutrient diamati secara terisolasi dari interaksinya dengan nutrient lain dalam makanan, interaksi makanan dengan makanan lain dalam sebuah hidangan dan juga gaya hidup orang dalam mengkonsumsi makanan tersebut (Marion Nestle, dikutip oleh Pollan).Contoh yang diambil oleh Pollan adalah diet Mediterania (sama populernya sama diet Atkins), yang mengacu pada pola makan “orang Mediterania” yang mengandung banyak minyak zaitun (berkontribusi pada kepopuleran minyak zaitun). Padahal kesimpulan bahwa diet Mediterania itu sehat adalah berdasarkan studi pada masyarakat di pulau Kreta, Yunani pada tahun 1950. Ya memang, mungkin benar mereka makan banyak minyak zaitun dan juga benar bahwa resiko penyakit mereka lebih rendah dibanding orang AS pada umumnya, tapi harus diingat mereka punya gaya hidup yang berbeda secara keseluruhan, bukan hanya dietnya. Mereka banyak melakukan pekerjaan fisik, banyak makan sayur, punya kebiasaan berpuasa dan juga total kalori yang mereka konsumsi juga jauh lebih sedikit.


Pada akhirnya dengan segala kekompleksan nutrisi, rakyat AS tidaklah menjadi lebih sehat. Bahkan yang ada, sekarang orang semakin bingung dengan saran gizi yang berbeda-beda bahkan bertentangan. Jangan makan daging, makan daging, hindari karbohidrat, karbohidrat dibutuhkan oleh tubuh, susu bagus, susu nggak bagus, vitamin C penting, vitamin C nggak penting. Akhirnya, Pollan memberikan saran yang sederhana: “makan apa yang diajarin sama nenek buyut lo”. Kenapa nenek buyut, soalnya beliau belum terekspos sama makanan bikinan pabrik dan juga segala ilmu-ilmu pergizian. Ada alasan kenapa diet tertentu diteruskan dari generasi ke generasi: karena berhasil. Selain itu juga setiap masyarakat memiliki metabolisme dan keadaan lingkungan yang berbeda-beda. Tentunya nenek buyut kita memiliki kebiasaan makan yang sudah teruji sesuai dengan metabolisme dan lingkungan beliau. Pollan memberikan banyak saran lain, tapi silakan saja baca sendiri ya.


Tidakkah 4 sehat 5 sempurna adalah konsep yang brilian? Pertama, konsepnya berfokus pada makanan dan meskipun berdasarkan nutrisi, tapi mudah dikaitkan dengan makanan tertentu, hanya istilah awam. 4 sehat: makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah-buahan, ditambah susu. Kedua, tentunya ini jargon yang mudah diingat dan amat sangat mudah diikuti. Bandingkan sama piramida makanan yang sekarang digunakan sebagai penggantinya. Nggak heran jarang ada orang yang ngeh bahwa udah diganti.  Ketiga, susu hanya sebagai pelengkap. Soal apakah susu harusnya direkomendasikan sama sekali adalah hal lain, tapi setidaknya ini jauh mendingan daripada kampanye susu gila-gilaan yang terjadi di amrik.


4 sehat 5 sempurna



Pedoman gizi seimbang (PGS)

Ya betul, jaman sudah berubah dan 4 sehat 5 sempurna mungkin sudah ketinggalan jaman. Tapi sulit menyaingi kepraktisannya sementara piramida makanan yang baru bikin pusing euy! Untuk sekarang, saya mau sebisa mungkin mengikuti saran Michael Pollan saja dulu meskipun tidak mau terlalu strict (nenek buyut saya kayaknya nggak makan spaghetti bolognaise deh… L). 

No comments:

Post a Comment