Thursday, September 13, 2018

Wiro Sableng (2018)


Ketika akhirnya Wiro Sableng tayang di bioskop setelah lama dipromosikan saya masih nggak tau apa yang seharusnya saya harapkan. Konon ini produksi yang sangat epik dengan dukungan studio Hollywood, Cing! Soal cerita Wiro Sableng sendiri saya pun tidak begitu familiar. Serial televisinya saya hanya ingat samar-samar. Waktu itu rasanya hampir tidak mungkin untuk tidak menonton paling tidak 1-2 episodenya di televisi karena waktu itu kan belum ada netflix. Selain dari itu, seorang teman yang sudah menonton duluan terdengar tidak begitu terkesan dengan filmnya dan mengatakan ia bosan ketika sampai di tengah film.

Demi mengetahui sendiri dan demi agar tidak ketinggalan film yang epik ini, akhirnya menontonlah saya film Wiro Sableng ini di bioskop dengan mood nggak jelas dan harapan yang nggak jelas juga.

Ternyata, cukup mengejutkan bahwa saya benar-benar menikmati film ini dari awal sampai akhir. Salah satu faktor penting yang berperan membuat saya bisa asik padahal teman saya bosan adalah berkat keterlibatan saya dalam sebuah pojokan fandom Game of Thrones yang suka membuat analisa-analisa terhadap serial tersebut. Gara-gara sering membaca analisa mendalam terhadap adegan-adegan di GoT saya jadi terbiasa untuk menonton film dengan super atentif dan dengan lensa pembesar 1000x. Setiap adegan saya memperhatikan benar dialog, setting, musik, kostum dan lain sebagainya, dan hasilnya ternyata saya sangat asik menonton Wiro Sableng. Meskipun banyak kekurangannya tapi film ini betul-betul indah. Ini adalah apa yang saya harapkan untuk bisa dilakukan terhadap materi-materi dongeng, cerita dan sejarah milik nusantara, yaitu memproduksi film atau serial televisi dengan nilai produksi yang tinggi. Untuk membahas apa yang saya maksud, di sini saya akan membuat catatan-catatan tentang hal-hal yang saya sukai dan hal yang saya kurang sukai dari film tersebut.

Hal-hal yang saya suka

  • Soundtrack. Soundtrack. Soundtrack. Mungkin saya emang tipe yang gampang dibikin seneng sama soundtrack kali yah. Contohnya film King Arthur yang dihina dina semua orang saya suka banget dan salah satunya adalah karena soundtracknya keren. Begitupun di film Wiro Sableng ini, soundtracknya sungguh keren dan bikin adegan perkelahiannya jadi sangat nikmat ditonton.

  • Tim penjahat. Saya amat sangat suka bahwa tim penjahat terdiri dari jago-jago silat dengan bentuk dan karakter yang amat berbeda-beda. Si iblis bentuknya beda banget dengan si feminin yang agak mengingatkan pada salah satu jago silat di serial Condor Heroes yang dulu saya suka banget (berambut panjang warna merah dan suka ngisep darah, lupa namanya siapa). Dan tentu saja Kala Ijo. Ya Awloh Kala Ijo! Tidakkah adegan perkelahian dengan Kala Ijo itu paling keren sepanjang film dengan keterampilannya yang unik (sebuah mantra yang hanya mempengaruhi laki-laki) dan kejagoannya yang luar biasa (dia sendirian melawan 4 jagoan kita)? Ya memang sih kita tidak disediakan kisah latar belakang maupun karakterisasi yang matang dari tokoh-tokoh ini. Tapi buat saya itu tidak penting. Bahwa adanya variasi-variasi unik seperti mereka yang hadir di film saja sudah cukup keren buat saya di titik ini.

  • Setting. Perhatikanlah pemilihan setting untuk setiap adegan-adegan perkelahian. Menurut saya settingnya sangat indah dan artistik.

  • Dialog. Menurut saya dialognya menghibur dan dilafalkan dengan sangat natural oleh para pemainnya. Saya nggak peduli soal adanya dialog-dialog yang "kekinian" karena ini bukan film sejarah yang harus tepat akurat. Justru itu adalah suatu bentuk kreativitas yang harus dihargai.

  • Kostum. Mungkin apresiasi saya terhadap kostum di sini ada hubungannya dengan kekecewaan saya terhadap kostum dalam film Sultan Agung yang saya tonton sebelumnya. Kostum di Sultan Agung terlalu amat sederhana dan tidak merepresentasikan keagungan kerajaan Jawa. Padahal Geertz bilang, bagi kerajaan-kerajaan Jawa, power served pomp, not pomp power, maka dari itu kostum kerajaan haruslah super grandeur. Kostum dalam film Wiro Sableng menyampaikan hal itu dengan lebih baik.

Soal editing atau camera angle dan sebagainya saya nggak bisa komentar sih ya karena itu hal teknis banget yang saya nggak tahu. Bagi saya sih kelihatan apik-apik saja. Begitupun dengan koreografi, tampak apik saja di mata saya dan saya cenderung percaya pada keahlian Kakang Mad Dog The Raid. Penggemar-penggemar action coreography mungkin akan jauh lebih fussy daripada saya mengenai ini.

Dari poin-poin di atas terlihat bahwa keindahan film ini baru terasa jika kita memperhatikan benar hal-hal yang terkait dengan nilai produksinya dan jika kita melihat film ini sebagai film silat, dengan tribute-tribute terhadap film-film klasik silat dan kesetiaan terhadap source material yang barangkali memang di mata penonton jaman now bisa dianggap agak "sinetron". Sebagai film silat, bintang utama dari film ini juga adalah adegan-adegan perkelahiannya (padahal saya baru bilang bahwa saya anaknya ga gitu ribet sama koreografi ya hahaha). Maka film ini paling bersinar jika kita melihat dalam potongan-potongan adegan perkelahian silatnya yang bagi saya udah sangat keren meskipun mungkin kurang keren buat para action junky yang fussy soal koreografi (barangkali yah...saya nggak tau sih).

Untuk plot-nya memang ada permasalahan dan buat saya, permasalahan utama datang dari banyaknya Chekov's gun yang tidak ditembakkan dalam cerita film. Ini amat disayangkan karena terbukti plot adalah yang paling utama mempengaruhi kepuasan penonton. Teman saya bosan dan banyak reviewer di luar sana yang mengeluhkan plot bahkan sampai di tingkat mereka merasa film ini nggak ada bagus-bagusnya sama sekali.

Anton Chekov bilang jika ada senapan tergantung di dinding di babak pertama, maka di babak kedua atau ketiga, senapan tersebut tidak boleh tidak harus ditembakkan, kalau nggak, itu namanya ngasih janji palsu. Chekov's gun hampir serupa dengan foreshadowing, yaitu sebuah alat plot yang bertujuan untuk memberi petunjuk terhadap apa yang akan terjadi berikutnya, fungsinya untuk menggoda ketertarikan pembaca/penonton dan selain itu yang penting adalah untuk menjaga agar mereka tidak kecewa nantinya. Intinya, jangan menaruh sebuah foreshadowing jika tidak akan terwujud nantinya. Saya merasa, film Wiro Sableng ini banyak sekali "senapan tergantung di dinding" yang tidak pernah ditembakan, yaitu:

  • Hubungan antara Mahesa Birawa dengan Suci, ibunya Wiro serta Ranaweleng. Ini adalah senapan kaliber terbesar yang tergantung di dinding dan tidak pernah ditembakan. Fakta dari hubungan tersebut tidak mempengaruhi cerita dari segi apapun. Ada sebuah review yang bilang bahwa dia menunggu-nunggu momen seperti "Luke, I am your father" di akhir cerita. Ealah, sama banget mas, aku pun bener-bener terlintas seperti itu persis pas nonton saat-saat terakhir Mahesa Birawa. Selain tidak mempengaruhi cerita, penonton pun tidak diberikan jawaban apapun atas latar belakang cerita Mahesa dengan Suci.

  • Hubungan Wiro dengan Anggini. Di awal pertemuan, guru Anggini langsung menyuruh Wiro dan Anggini untuk menikah. Line ini dinyatakan sampai dua kali. Terlepas dari apa maksud sebenarnya dari penulis naskah (yang mungkin masukin line ini hanya untuk comedic relief), line ini menyetel hubungan antara Wiro dengan Anggini ke arah hubungan percintaan dengan trope yang sangat klasik favorit yaitu hate to love, enemies to lover. Namun kita tidak melihat sama sekali hubungan mereka berjalan ke arah sana, kecuali di beberapa menit pertama. Yang paling konyol, adanya foreshadowing ini jadi mengacaukan plot dengan love interest Wiro yang tersebenarnya yaitu Rara Murni. Rara datang setelah Anggini dan di otak saya yang terpikir adalah apakah akan terjadi cinta segitiga diantara mereka, atau apakah Rara nantinya yang akan membuat Wiro menyadari bahwa Anggini lebih pas untuknya dan lain sebagainya. Adanya foreshadowing ini jadi membuat saya tidak melihat atau tidak mau melihat chemistry diantara Wiro dengan Rara. Apalagi ada shot dimana Wiro dan Rara sedang genit-genitan sedangkan kita melihat ada Anggini di belakangnya, sebuah shot yang menjeritkan cinta segitiga. Akan tetapi saya juga tidak melihat bahwa cerita menuju ke arah hubungan romantis atau seksual antara Wiro dengan Anggini. Entah apakah memang ceritanya tidak menuju arah sana atau ada kegagalan dari para aktor dan sutradara untuk menyampaikan hal tersebut. Tidak ada chemistry, unresolved sexual tension dan ketertarikan diantara mereka dan ini menyebabkan adanya Chekov's gun yang lagi-lagi tidak diletuskan sehingga mengecewakan penonton, atau minimal menghilangkan rasa ketertarikan penonton pada plot.

  • Oke mungkin yang ini amat sangat petty dan pengamatan saya agak keterlaluan, tapi sumpah saya nunggu-nunggu apa yang akan terjadi pada bajunya Wiro Sableng. Soalnya ada pembicaraan yang cukup panjang mengenai baju baru yang putih bersih antara Wiro dengan gurunya ditambah dengan penjelasan simbolik dari baju putih bersih tersebut. Pertama, ada perhatian yang berlebihan diberikan pada baju sebagai simbol padahal yang menjadi foreshadowing semestinya adalah kebersihan hati dan yang lebih penting lagi, hubungan antara kapak naga geni dengan kebersihan hati penggunanya. Jadi semestinya perhatian diberikan pada kapak dan bukan baju sebagai simbol. Kapak naga geni yang tiba-tiba menghilang tidak mau muncul karena Wiro mendendam sama sekali tidak ada foreshadowingnya. Kemampuan kapak menghilang di tengah-tengah perkelahian karena penggunanya mendendam seakan-akan datangnya ujug-ujug saja karena kita tidak diberi tahu sebelumnya mengenai itu. Pun ketika perkelahian terjadi, tidak jelas juga kapan dendam Wiro datang di hatinya dan kapan serta bagaimana ia mampu untuk menghilangkan rasa dendam tersebut sehingga si kapak kembali datang. Selain itu ada juga batu saktinya yang tidak dipakai sama sekali sampai akhir film sebagai tambahan senapan yang tidak ditembakkan.

  • Salah satu foreshadowing yang sebetulnya sudah terjadi tapi kurang sukses buat saya adalah soal "menjadi satu". Ketika ada omongan-omongan soal harus menjadi satu, yang pertama terpikir adalah manunggaling kawula gusti namun ternyata omongan itu adalah soal bersatu dengan teman-teman pendekar lain untuk mengalahkan Mahesa Birawa. Pemelesetan prophecy atau nasihat adalah hal yang lumrah dalam penceritaan dan bukan itu masalah saya. Bagian ini semestinya bisa lebih sukses jika lebih ditekankan dari awal preferensi Wiro untuk sendirian dan keengganannya untuk membentuk tim dengan orang lain. Ini semestinya sudah dieksplorasi dari sejak Wiro masih bersama gurunya, sehingga nasihat dari gurunya tersebut memiliki dasar yang kuat karena gurunya sudah mengamati preferensi Wiro untuk bekerja sendirian.

  • Satu pistol kecil yang tidak tertembak tapi bagi saya cukup mengganggu dan menambah bacaan saya terhadap pola kebiasaan penulis film untuk menggantung Chekov's gun adalah saat sang raja memberikan pedang kepada pangeran dan memintanya untuk menggunakan pedang tersebut meliindungi ibunya. Pedang tersebut dan putra mahkota akhirnya tidak melakukan apa-apa

Mungkin masih ada lagi pistol-pistol lainnnya yang tidak saya perhatikan. Akan tetapi dengan beberapa yang saya identifikasi di atas pun rasanya dinding bangunan plot film ini sudah cukup berat dengan senapan-senapan yang tergantung tersebut. Tidak heran banyak penonton bosan atau tidak puas ketika menonton film ini. Selain hal di atas yang menjadi permasalahan utama, ada beberapa hal lain yang, yah, mungkin tidak esensial dan lebih ke preferensi saya pribadi tentang apa yang ingin saya lihat di film ini tetapi tidak muncul atau muncul secara berbeda.

  • Dialog dan persahabatan antara tokoh-tokoh perempuan. Ketika sebelum ini saya menonton film Sultan Agung, saya sempat meributkan soal bagaimana film tersebut tidak lolos Bechdel test padahal dibiayai oleh seorang perempuan yang mendapatkan kekayaannnya dari perempuan. Tentu saja seorang laki-laki kemudian berkomentar bahwa ya film Sultan Agung ini kan tentang seorang laki-laki, kenapa harus lulus Bechdel test segala. Saya hanya bisa menarik napas. Apakah sang sultan tinggal di sebuah era di mana perempuan tidak ada? Apakah semua perempuan di era sultan bisu? Apakah saat itu para perempuan dilarang untuk berbicara satu sama lain? Apakah dialog antara tokoh-tokoh perempuan begitu tak lazimnya sehingga harus dimaafkan ketika tidak muncul di sebuah film tentang laki-laki?

Bechdel test mungkin terdengar sangat petty dan mungkin saja tidak akurat tapi faktanya begitu banyak film yang tidak lulus terhadap permintaan amat sangat kecil yaitu melihat dua tokoh perempuan saling berbicara satu sama lain. Faktanya adalah ada kelangkaan dialog antara tokoh-tokoh perempuan di dalam film. Entah kenapa para penulis naskah rasanya enggan untuk memberikan dialog bagi tokoh-tokoh perempuan untuk berbicara diantara sesamanya tentang hal-hal yang menjadi concern mereka. Apakah concern-concern perempuan begitu tidak pentingnya sehingga bisa di-dismiss begitu saja? Sebaliknya, apakah ini cara untuk semakin meminggirkan worldview dan concern-concern perempuan agar naratif terhadap dunia tetap dikuasai oleh laki-laki? Yang jelas, Mbak Sheila Timothy sebagai bagian dari tim penulis naskah memiliki kesempatan untuk membenarkan ketidakseimbangan ini namun kesempatan tersebut tidak diambilnya.

Sungguh saya rasanya nggak percaya terhadap bagaimana hubungan antara Anggini dengan Rara diceritakan dialam film ini. Jika seorang perempuan mengembara dalam sebuah kelompok, percayalah ia kemungkinan besar akan terdorong untuk menjalin persahabatan dengan sesama perempuan di kelompok tersebut. Atau paling tidak akan ada masa-masa di mana perempuan-perempuan dalam kelompok yang ada laki-lakinya "terpaksa" untuk melakukan beberapa hal bersama-sama dan maka dari itu akan menciptakan bonding yang berbeda diantara mereka dibandingkan dengan antara mereka dengan laki-lakinya. Di sini kita hanya melihat Rara semakin dekat genit-genitan dengan Wiro semetara Anggini terdorong ke latar belakang. Bahkan Anggini harus disuruh oleh Wiro untuk melindungi Rara di dalam perkelahian. Saya merasa ini sulit dipercaya. Saya lebih percaya bahwa sesama perempuan selalu ada solidaritas tak terucap, selalu ada dorongan tak nampak untuk saling mencari satu sama lain dan menjaga satu sama lain. Kalau saya harus naik bus di malam hari yang banyak penumpang laki-lakinya, percayalah saya akan duduk di sebelah penumpang perempuan lainnya. Percayalah bahwa kehadiran seorang penumpang perempuan lain di dalam bus tersebut meskipun saya tidak duduk di sampingnya akan membuat hati saya lebih tenang. Maka bagaimana saya bisa percaya atas tidak adanya hubungan persahabatan dan solidaritas antara Rara dengan Anggini?

Tentu saja tokoh-tokoh perempuan yang memiliki kedalaman karakter bisa saja saling berkonflik satu sama lain dan dengan demikian tidak menjalin persahabatan. Akan tetapi apakah begitu kasusnya di sini? Sepertinya tidak. Anggini dan Rara tidak punya alasan untuk saling berkonflik (karena plot cinta segitiganya toh nggak jalan). Hubungan emosional diantara mereka berdua simply does not exist karena dialog diantara mereka berdua simply does not exist.

  • Ini mungkin tidak terlampau penting namun saya merasa setting perkelahian antara Raja Kamandaka dengan Werku Alit seharusnya terjadi di ruang tahta istana. Mungkin ini pilihan yang bersifat praktis saja, karena perkelahian antara geng Wiro dengan Mahesa Birawa yang melibatkan lebih banyak orang butuh ruangan yang lebih besar, namun secara simbolis tidak tepat. Sebab Kamandaka dengan Werku Alit berkelahi memperebutkan tahta, sedangkan perkelahian Wiro dengan Mahesa adalah soal hal lain. Dengan demikian secara simbolis sebetulnya lebih tepat kalau perkelahian memperebutkan tahta, terjadi di ruang tahta.

  • Ini juga sama sekali nggak penting tapi saya merasa perawakan tubuh Kamandaka dengan Werku Alit tertukar jika kita mengikut pakem penokohan wayang (meskipun iya sih ini bukan cerita wayang). Ksatria atau geng baik biasanya perawakannya lebih kecil dan halus dibandingkan raksasa atau geng jahat.

  • Ini juga hal kecil yang tidak penting, namun saya sempat memerhatikan keris yang dipakai Kamandaka (lurus) dan Werku Alit (berluk). Belakangan saya suka membaca tentang keris dan ternyata bentuk bilah keris baik yang lurus maupun berlekuk ada artinya dan ada peruntukkannya. Misalnya keris lurus artinya soal pemujaan terhadap Tuhan pencipta, sedangkan keris berluk 5 memiliki makna kekuasaan. Saya nggak tahu apakah ini sudah menjadi perhatian pembuat film atau belum tapi akan sangat menarik jika simbolisasi tradisional seperti ini dipakai dan dieksplorasi di dalam film.


  • Saya juga akan lebih senang kalau kostum Bidadari Angin Timur adalah kostum tradisional Jawa. Menurut saya kostum red carpet ballgown sang bidadari kelihatan nggak masuk ke dalam estetika film secara keseluruhan (meskipun konon katanya kostum ini referensinya adalah Dewi Kwan In). Ditambah kostumnya juga kelihatan nggak istimewa di mata saya.

Maka demikianlah ulasan panjang tentang apa yang menurut saya berhasil dan tidak berhasil dari film Wiro Sableng. Semoga ulasan panjang ini tidak membuat saya terdengar seperti complete psycho yang teramat lebay dalam menonton film. Yang jelas, film Wiro Sableng ini sukses kok membuat saya senang karena keindahan visualnya dan juga mampu menginsipirasi analisis mendalam terhadapnya. Tapi mungkin review saya ini nggak bisa dipercaya juga karena saya nggak terlalu rewel soal adegan action hehehe. Kelemahan plot adalah alasan utama film ini tidak dapat mencapai potensi masksimalnya. Tiga dari lima bintang deh untuk Wiro Sableng.


No comments:

Post a Comment