Monday, October 15, 2018

Apakah Nagini bener-bener dari Indonesia?


Kalau ada yang bilang bahwa rendang itu dari Malaysia, orang Indonesia pasti cepet untuk ngejawab bahwa rendang itu sebetulnya asalnya dari Minangkabau yang letaknya di Indonesia. Nah sekarang bagaimana kalau penulis terkenal asal Inggris yang bikin Harry Potter bilang bahwa mitologi Naga adalah mitologi Indonesia?

Orang India cepat menjawab bahwa mitologi Naga adalah mitologi India, tapi kemudian orang Indonesia cepat juga menjawab bahwa mitologi Naga adalah juga mitologi Indonesia.
Persoalan naga ini belakangan kontroversial banget dan sebetulnya tulisan saya di sini rada-rada kesiangan sih. Tapi nggak apa-apa lah ya, namanya juga cuma blog pribadi, yang baca juga siapa. 

Sebagai ringkasan, jadi gini, trailer  untuk film terbaru dari Harry Potter universe yang berjudul Fantastic Beast: Crimes of Grindelwald mengungkap bahwa Nagini, ular yang selama ini jadi sekutunya Voldemort adalah seorang cewek yang terkena kutukan yang menyebabkan dia bisa berubah bentuk menjadi ular, tapi nantinya lama kelamaan dia akan menjadi ular untuk selama-lamanya. Tokoh Nagini dimainkan oleh seorang aktris Korea Selatan bernama Claudia Kim. Nah pengungkapan ini mengundang banyak kritik dari para netizen di seluruh dunia. Kritiknya antara lain:
  • Kenapa ular yang menjadi peliharaan dan bawahan seorang tokoh pria jahat yang terobsesi dengan kemurnian ras penyihir dibikin menjadi seorang perempuan Asia. Itu rasis banget.
  • Kalaupun emang gitu, Nagini itu kan bahasa Sansakerta, harusnya pun yang meranin bukan aktris dari Asia Timur, tapi Asia Selatan alias ras India. Itu kan rasis banget, nganggep semua orang Asia sama aja dan bisa dituker-tuker.

Belum cukup kontroversi kayak gitu, sang penulis JK Rowling lebih jauh lagi membuat pernyataan bahwa Naga adalah mitologi Indonesia dan Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa. Kontroversi yang ditimbulkan antara lain:
  • Naga itu asalnya dari India kaliii, gila ngasal banget bikin pernyataan Naga itu Indonesia
  • Lalu orang Indonesia ngejawab, yah Naga kan meskipun emang asal-usulnya dari India tapi juga udah jadi bagian dari kebudayaan Indonesia selama ratusan tahun. Jadi JK Rowling ga salah dong bikin pernyataan gitu, kok dengki amat sih Indonesia disebut-sebut, sekali-sekali kita kek yang dapet perhatian.
  • Iya terus tetep aja yang mainin perannya aktris Korea. Orang Korea kan bukan Indonesia
  • Tapi bisa aja lah, orang Indonesia kan emang bervariasi, termasuk yang tampangnya kayak orang Asia Timur. Claudia Kim bisa aja kok dibilang tampangnya kayak orang Indonesia. Lagian sebelum dikasih ke dia, perannya tadinya udah jatuh ke aktris Indonesia yaitu Acha Septriasa, Cuma doski hamil jadi mundur dari peran itu.

Kontroversi yang cukup kompleks dan menarik untuk diurai. Saya akan mulai dengan mengurai "peran" Indonesia di dalam drama ini.

Tanpa bermaksud menuduh apa-apa, menekankan bahwa Naga adalah mitologi Indonesia adalah hal yang teramat menguntungkan bagi JKR. Pertama, memang benar pembelaan netizen Indonesia bahwa Naga adalah juga mitologi Indonesia. Tidak salah juga netizen Indonesia bereaksi memberikan pembelaan karena beberapa pernyataan yang ada cukup ignorant dengan kenyataan tersebut dengan mengatakan bahwa hal tersebut salah dan bahwa mitologi Naga adalah dari India dan bukan dari Indonesia tanpa mengetahui bahwa Indonesia sudah menyerap mitologi naga sejak ratusan tahun yang lalu. Kedua, keputusan casting dapat dibela dengan menyatakan bahwa orang Indonesia sangat bervariasi dan termasuk di dalamnya adalah orang-orang dengan tampang seperti Asia Timur dan keturunan Asia Timur. Apakah ini maksud JKR ketika memasukan dalam tweetnya bahwa Naga adalah mitologi Indonesia dan Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa? Sehingga pemilihan casting aktris berwajah Asia Timur menjadi masuk akal atau fine-fine aja untuk memainkan sebuah peran yang didasarkan pada "mitologi Indonesia"?

Ada beberapa permasalahan dengan hal tersebut yaitu "Indonesia" sebagai negara-bangsa yang baru dibentuk secara resmi di tahun 1945 tidak tepat untuk mewakili kebudayaan etnis-etnis Nusantara. Dalam hal ini mitologi Naga dari India diadopsi dan diasimilasi oleh etnis Jawa/Bali. Motif perempuan ular bisa jadi ada di dalam mitologi-mitologi kebudayaan asli Nusantara yang tidak diadaptasi dari kebudayaan India melalui Hinduisme. Akan tetapi dalam kasus ini, nama Nagini secara spesifik diambil dari bahasa Sansakerta yang diadopsi dan diserap dari India dan maka dari itu mitologi Naga nusantara yang menjadi referensi semestinya adalah yang berasal dari India yang secara spesifik ada pada kebudayaan Jawa/Bali?

Jadi bisakah seseorang dengan penampilan fisik khas Asia Timur menjadi representasi kebudayaan Jawa/Bali? Kita hidup di masa dimana negara-bangsa adalah norma yang dianggap patut dan seharusnya dan orang jaman sekarang mengidentifikasikan diri dengan sangat lekat pada konsep negara-bangsa. Dan demikian, etnis Tionghoa yang tinggal di nusantara masa kini pun sudah mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia dan etnis-etnis asli nusantara pun sudah menerima mereka sebagai sesama "Indonesia". Tapi sudahkah Indonesia menjadi melting pot yang teramat dahsyat sehingga mitologi khas Jawa/Bali dapat direpresentasikan oleh wajah Asia Timur? Dapat dimajukan di sini contoh orang-orang beretnis Tionghoa yang diterima menjadi bagian dari keluarga Keraton Yogyakarta dan adanya orang-orang beretnis tersebut yang mengadopsi dan melestarikan budaya Jawa jauh lebih baik dari orang-orang benar-benar berketurunan dan berwajah Jawa. "Orang Cina tapi Jawa banget" itu memang ada di Indonesia.

Persoalannya di sini adalah, kalaupun Nagini dapat dianggap representasi Jawa, ini adalah representasi yang hanya teramat seuprit saja dari luasnya media Hollywood yang sudah didominasi kulit putih. Orang-orang Asia Timur sedikit demi sedikit sudah mendapat representasi, maka adilkah jika setitik kecil karakter yang (konon) dianggap berasal dari mitologi Jawa direpresentasikan oleh orang Asia Timur? Tanyakan pada orang Indonesia manapun, jika mereka dapat membuat satu tokoh pewayangan Jawa di film Harry Potter, maka mereka pasti akan memilih aktris berwajah Jawa sebagai pemainnya. Race bending mungkin menarik untuk dilakukan jika sudah ada puluhan representasi wajah Jawa di film Hollywood namun ketika tidak ada satupun dan ini adalah representasi pertama, maka mengapa tidak memilih aktris dengan tampilan fisik yang sesuai?

Sekarang kita masuk ke persoalan berikutnya yakni apakah Nagini memang benar-benar merupakan representasi kebudayaan Jawa di luar klaim JK Rowling sebagai penulis, dan di dalam penceritaan Fantastic Beast itu sendiri. Menurut saya, meskipun JK Rowling mengklaim telah mengadopsi Naga dari mitologi Indonesia, namun tokoh Nagini buatannya sama sekali tidak memiliki karakteristik mitologi Naga dalam kebudayaan Jawa.
Pertama tokoh mitologi naga mana persisnya yang menjadi dasar insipirasi bagi Nagini? Beberapa netizen Indonesia berspekulasi apakah Dewi Nagagini ataukah Nyi Blorong yang menjadi inspirasi untuk Nagini. Keduanya adalah merupakan perempuan yang bisa berubah menjadi ular.


Mitologi memiliki motif-motif umum yang serupa di seluruh dunia, hanya ada versi-versi yang berbeda saja dimanapun di seluruh dunia. Motif-motif ini dituliskan dalam katalog oleh ahli-ahli folklor. Contoh untuk menggambarkan motif-motif ini misalnya, Indonesia memiliki versi Oedipus tersendiri yaitu Kisah Tangkuban Perahu, Indonesia memiliki versi Cinderella sendiri yaitu Bawang Merah Bawang Putih, Indonesia juga memiliki versi Beauty and the Beast sendiri yaitu Lutung Kasarung. Motif perempuan ular juga merupakan mitologi yang ada di seluruh dunia termasuk Jepang dan Korea, darimana Claudia Kim berasal. Ada dua teori yang berusaha menjelaskan terjadinya persamaan-persamaan motif ini yaitu monogenesis yang penjelasannnya adalah sebuah motif ditemukan di satu tempat lalu disebarkan dan poligenesis yaitu bahwa motif-motif yang serupa ini ditemukan sendiri-sendiri di tempat-tempat yang berbeda (Danandjaja 56). Versi paling ekstrem dari monogenesis adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh mitologi yang ada di dunia berasal dari India. Sementara poligenesis antara lain dijelaskan dengan psikoanalisa yang mengatakan bahwa mite adalah perlambangan dari kesadaran bersama yang terpendam dari manusia (collective unconscious) maka dari itu muncul mite-mite yang serupa di seluruh dunia (Danandjaja 57, 59).

Dalam hal ini cukup jelas bahwa mitologi Naga orang Jawa/Bali datang dari India namun dalam proses adaptasinya muncul detail-detail yang membedakannya dari versi India. Ini terjadi terhadap setiap mite dan variannya. Tentu saja kisah Dayang Sumbi dan Sangkuriang memiliki kekhasan jika dibandingkan dengan kisah Jocasta dan Oedipus. Maka untuk mengklaim bahwa insipirasi datang dari versi tertentu dan bukan yang lain tentu detail yang membedakan ini harus muncul. Apa yang membuat rendang menjadi rendang dan bukan kari India?

Saya harus menunggu filmnya keluar dulu sih untuk mendapatkan kisah lengkap Nagini, namun dari apa yang kita ketahui sementara ini, tidak ada satupun elemen dari Nagini yang menunjukan ciri khas Jawa/Bali. Dari tampilan saja ia tidak mengenakan mahkota yang merupakan tampilan spesifik dan selalu ada dalam naga khas Indonesia. Lihat saja di ukiran-ukiran yang ada di gamelan, ukiran di candi dan ilustrasi-ilustrasi tokoh naga di pewayangan seperti Antaboga. Lihat juga ilustrasi-ilustrasi terhadap Dewi Nagagini dan Nyi Blorong, keduanya selalu mengenakan mahkota. Dari segi cerita, kutukan maledictus tidak sesuai dengan karakter Dewi Nagagini maupun Nyi Blorong. Kutukan maledictus adalah kutukan yang menurun dari ibu ke anak perempuan, yang menyebabkan anak perempuan tersebut dapat berubah menjadi binatang, dalam kasus Nagini binatannya ular, namun nantinya ia akan berubah menjadi binatang tersebut untuk selama-lamanya dan tidak dapat berubah menjadi manusia lagi. Dewi Nagagini adalah perempuan yang bisa berubah menjadi ular jika marah besar, sedangkan Nyi Blorong adalah panglimanya Nyi Roro Kidul, berbentuk setengah perempuan, setengah ular, dapat berubah menjadi perempuan dan akan berubah menjadi ular sepenuhnya di bulan purnama. Kisah Nagini tidak cocok sama sekali dengan kisah Dewi Nagagini maupun Nyi Blorong.

Bisa aja sih saya yang kurang pengetahuan dan ternyata ada tokoh perempuan ular Indonesia yang pas dengan Nagini namun yang jelas JK Rowling sendiri tidak menyebut tokoh mitologi yang spesifik sebagai inspirasinya. Ia hanya mengatakan adopsi nama yaitu Naga (yang sebetulnya adalah bahasa Sansakerta) dan kemudian mengambil wajah "Asia" yaitu Claudia Kim. Saya sempat berpikir mungkin ia tidak mau menyebut secara spesifik karena takut dituduh cultural appropriation. Apa yang ia lakukan sekarang pun sudah bisa banget membuat dia dituduh cultural appropriation, apalagi kalau ia jelas-jelas menyebut tokoh "Nyi Blorong" misalnya. Saya ingin berbicara sedikit soal cultural appropriation ini karena persoalan ini sering menjadi subyek kontroversi. Kapan suatu karya masuk ke dalam ranah "cultural appropriation" dan kapan suatu karya hanya "diinspirasi" atau "diadopsi". Jika kita orang Jawa dan memakai jeans dan t-shirt seperti orang Barat apakah kita melakukan cultural appropriation? Jika orang Barat menciptakan desain fashion dengan kain sari India, atau batik atau tenun ikat apakah itu cultural appropriation? Apakah orang Jawa yang mengadopsi kebudayaan dan mitologi Hindu ratusan tahun lalu melakukan cultural appropriation?

Satu hal yang selalu tertinggal dalam diskusi saat orang membicarakan ini adalah power relations diantara pihak-pihak yang dituduh melakukan atau terkena cultural appropriation dan seringkali juga keterlibatan ekonomi kapitalis dalam hal ini. Apakah ada power imbalance yang signfikan diantara keduanya? Ketika sebuah pihak yang jauh lebih powerful mengambil elemen-elemen kebudayaan dari pihak yang jauh lebih lemah dan mengambil profit atau benefit daripadanya, maka kemungkinan besar itu adalah cultural appropriation. Dalam hal ini misalnya, orang-orang Jawa yang "mengambil" kebudayaan India ratusan tahun yang lalu kemungkinan akan sulit untuk masuk ke kategori cultural appropriation, karena pertama tidak ada power imbalance yang signifikan diantara keduanya, yang satu tidak menguasai yang lainnya dan orang Jawa tidak mengambil kebudayaan India untuk membuat profit bagi dirinya sendiri atau komunitasnya.

Bagaimana dengan Rowling yang mengambil elemen-elemen kebudayaan lain untuk memperkaya kisah franchise Harry Potter yang dimilikinya? Saya rasa pembaca bisa mengambil kesimpulan sendiri dengan mempertimbangkan betapa dominannya persebaran kebudayaan Eropa dan kulit putih dalam media dan berapa banyak profit yang dapat diraup Rowling dari konsumsi media tersebut.

Baiklah, jadi apa yang semestinya dilakukan JKR? Apakah kreativitas harus dibelenggu, dan bukankah dengan memasukan budaya-budaya lain ke dalam franchise yang sudah begitu powerful pengaruhnya seperti Harry Potter merupakan kesempatan untuk budaya-budaya lain itu memperoleh kehadiran di dalam dunia mainstream dan menyebarkan pengaruhnya sendiri? Masalahnya begini, representasi budaya lain yang ditulis oleh orang kulit putih dibandingan dengan yang ditulis sendiri oleh pemilik budaya tersebut biasanya terasa bedanya.

Belakangan mulai muncul film mengenai orang Asia yang ditulis orang Asia sendiri di media mainstream Hollywood. Sebagai penyuka rom-com Hollywood saya sangat menikmati To All The Boys I've Loved Before dan juga Crazy Rich Asians. Tak lama setelah saya menonton kedua film tersebut saya menonton serial Iron Fist dan jujur terasa banget jumplangnya bagaimana orang Asia ditulis di kedua media itu. Okay, mungkin perbandingannya agak nggak adil ya, tapi poin saya di sini adalah sangat penting untuk mempertimbangkan bagaimana orang Asia (atau orang apapun) ingin direpresentasikan di media. Crazy Rich Asians menunjukkan bahwa ia ingin dunia tau bahwa orang Asia tidak melulu orang miskin, ada juga orang yang kaya gila-gilaan, juga bahwa tidak semua cowok Asia itu adalah kutu buku yang tidak seksi, ada juga cowok-cowok Asia yang ganteng dan seksi, dan di saat yang sama juga film tersebut menceritakan konflik kekeluargaan yang khas Asia.

 "Solusi" yang ingin saya ajukan di sini terinspirasi dari sebuah postingan Tumblr yang tidak dapat saya temukan lagi (biasa lah) tentang museum-museum Eropa atau Amerika yang menyimpan artefak-artefak kebudayaan lain. Bukan rahasia lagi bahwa mereka menyimpan banyak sekali harta artefak dari berbagai belahan dunia. Lalu di masa pascakolonialisme dan bangkitnya political correctness dalam berperilaku, apa yang semestinya mereka lakukan terhadap artefak-artefak tersebut? Apakah mereka harus mengembalikan semua artefak tersebut? Apakah negara pemilik artefak memiliki cukup sumber daya untuk menyimpan dan memanfaatkan artefak-artefak tersebut? Apa nanti nggak malah rusak? Jadi yang mereka lakukan adalah mengundang orang-orang pemilik kebudayaan darimana artefak tersebut berasal untuk mengkurasi dan memamerkan artefak tersebut, sesuai keinginan mereka, sesuai dengan bagaimana mereka ingin diri mereka direpresentasikan.
Ini adalah sebuah bentuk kolaborasi, dimana pemilik power menyediakan space bagi mereka yang less powerful untuk dapat hadir dan membentuk narasi mereka sendiri. Ini adalah sharing of power dalam bentuk yang lebih tulus. Saat orang kulit putih memasukan kebudayaan Other ke dalam medianya namun tetap memegang power terhadap narasi, ini bukanlah sharing of power yang tulus namun merupakan bentuk ko-optasi. Namun dengan kolaborasi seperti contoh di atas, power terhadap narasi dibagi terhadap mereka yang berhak.

Bayangkan misalnya seperti ini. Anggaplah JKR betul-betul kepengen ada "naga dari Indonesia" di dalam cerita Harry Potter-nya sebagai tokoh Nagini. Maka ia bisa berkolaborasi dengan seniman Indonesia yang kompeten untuk menulis seperti apa Nagini kalau dia memang benar-benar tokoh ular mistis dari Indonesia, apa latar belakang ceritanya, seperti apa tampilannya dan apa yang mungkin akan dilakukannya? Saya ragu hasilnya akan sama dengan Nagini yang sekarang ditampilkan oleh JKR.
That being said, saya malah jadi penasaran ingin membuktikan seperti apa tokoh Nagini dalam film Fantastic Beast dan sejauh apa klaim "keIndonesiaan"nya bertahan di dalam film :)


Works Cited

Danandjaja, James. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994.






No comments:

Post a Comment