Sunday, October 6, 2013

Seri Kawinan #1: Konsep

Pernikahan impian saya dan (waktu itu) calon suami adalah pergi ke KUA di suatu hari (hari kerja bukan akhir pekan), bersama hanya orang tua dan saksi kemudian selesai. Kita pulang lalu mungkin makan bersama di restoran, atau makan bersama di rumah. Betapa simpelnya dan bebas tektek bengek. Nggak romantis? Emang. Kami orangnya emang santai dua-duanya, dan kami tidak merasa memerlukan syahdu-syahdu-an. Tapi tentunya ide kami ini HOROR buat orang tua. Saat saya bilang ke nyokap, doski langsung mem-veto dan mau mengadakan acara akad nikah di rumah. Waktu kakak saya yang perempuan menikah, seluruh acara diadakan di rumah dan disiapkan dalam waktu 2 minggu saja. Terburu-buru karena calon suaminya yang orang Spanyol nggak bisa lama-lama di sini dan kakak saya mau diboyong ke Spanyol setelah menikah (ya iyalaaah). Nyokap janji bikin acara di rumah itu “gampang” kok.

Ya, gampang kalau setelahnya tidak ada resepsi lagi di gedung. Masalahnya karena kakak perempuan saya tidak resepsi di gedung, dan kakak saya yang satu lagi laki-laki, nyokap sangat ingin agar saya punya pesta pernikahan di gedung. Nah, barangkali kalau dari awal saya bersedia akad nikah di gedung, rencana akad di rumah itu tidak akan muncul. Mungkin ada beberapa hal mengenai ide menikah di KUA yang harus saya ceritakan. Terus terang saja, kami ingin berusaha menghentikan “ritual” korupsi, dengan meng-“cut the crap” acara akad nikah nan syahdu yang membuat penghulu merasa sok penting dan berhak meminta tip banyak-banyak. Kalau kami yang nyamper ke kantornya dan semua administrasi dilakukan di kantor si penghulu, harusnya celah untuk korupsi semakin sempit daripada seluruh upacara pernikahan syahdu-syahdu-an di gedung. Lalu kedua, saya ingin nikahnya di KUA Tangerang saja, yang harapan saya “biaya”nya tidak setinggi KUA Jakarta Selatan. Sepupu saya dapet penghulu yang paling cunihin sejagat waktu menikah di Jakarta Selatan (rasanya tidak perlu saya ceritakan secara detail) dan membuat saya merasa alergi dengan KUA Jakarta Selatan. Jadi itulah latar belakang cerita mengapa awalnya saya tidak mau akad nikah di gedung.

Akan tetapi, dengan adanya dua acara (rumah dan gedung), membuat semua orang merasa repot harus datang dua kali. Apalagi acara akad direncanakan hari Jum’at dan rumah saya jauh. Akhirnya, rasa empet dengan korupsi harus ditekan dan perjuangan memeranginya harus disalurkan dengan cara lain dan kami memutuskan untuk melangsungkan akad nikah di gedung saja. Syukurlah, laporan dari abang saya yang survei ke KUA Jaksel mengatakan bahwa pelayanan di sana baik sekali. Mungkin gara-gara Jokowi-Ahok! Maka saya juga berhutang terima kasih untuk Pak Jokowi dan Pak Ahok. Makasih ya Pak! J

Lalu bagaimana dengan pestanya sendiri? Kalaupun harus pesta…. Hmm.. idealnya sih buat kami nggak usah ada pesta dan uangnya buat DP rumah aja, hehehe. Tapi let’s face it, orang-orang yang kami kedua mempelai, dan orang tua sayangi ada banyak sekali dan kami ingin berbagi kebahagiaan dengan orang-orang tersebut. Jadi…pesta yang saya inginkan (ya, saya…bukan kami, hwekekek) idealnya sebetulnya garden party. Karena semuanya sangat santai dan juga secara estetika, sesuai dengan selera saya. Awalnya saya sempet survei venue-venue garden party. Hanya saja memang kebanyakan tempat-tempat seperti itu hanya menampung sedikit orang. Lalu ketika saya menghadiri beberapa pernikahan teman dengan konsep itu…astajiiim, panasnya udara dan betapa tidak nyamannya. Sementara buat kami, yang amat sangat terpenting adalah kenyamanan para tamu. Kami memang secara umum tidak begitu bersemangat menghadiri pesta-pesta pernikahan, jadi kami hanya ingin agar tamu kami nyaman. Itu adalah gol nomer satu!

Lalu bagaimana dengan ide dari calon mempelai pria? Lagi-lagi inspirasi didapatkan ketika menghadiri pernikahan teman di Gedung Granadi. Aula Granadi memiliki balkon tempat penonton seperti aula untuk menonton opera, dan memang ada panggungnya. Ide dari CPP yang seorang film maker dan juga anak teater adalah, konsep “menonton pertunjukan”. Jadi tamu datang seperti untuk menonton teater. Pertunjukkannya inginnya wayang orang, karena CPP punya hubungan baik dengan kelompok wayang orang dari Muntilan. Akan tetapi konsep ini eksekusinya mahal, karena aula seperti Granadi begitu sewanya mahal, dan juga kami harus membayar honor dan ongkos para pemain yang pasti mahal, begitupun segala macam ongkos produksi yang lain. Tentunya makanan juga tetap harus kami sediakan. Bayangkan berapa total biaya untuk produksinya. Sementara budget kami sebetulnya adalah 0, dan semua biaya adalah hasil korek-korek sana sini. Tapi meskipun ide ini tidak jadi, kami setuju bahwa a good show atau hiburan yang bagus merupakan salah satu servis yang penting untuk membuat tamu nyaman dan merasa worth it untuk menghadiri pesta pernikahan.

Kemudian, hal lain yang juga kami tidak sukai adalah betapa seringkali (tidak semuanya), pengantin menjadi zombie di hari pernikahannya, di atas pelaminan, karena harus menghadapi antrian tamu yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan itu. Kami mengundang tamu atas rasa sayang dan ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka. Maka kami sangat ingin tetap “terkoneksi” dengan tamu-tamu kami dan dengan tulus menyambut mereka dan berbagi cerita juga. Jadi saya tidak ingin konsep duduk di pelaminan. Buat saya jadi manten itu bukan menjadi raja dan ratu sehari dan diperlakukan sebagai raja dan ratu yang berjarak dengan si rakyat jelata. Saya ingin tetap menjadi diri saya sendiri dan saya ingin bisa mengekspresikan kebahagiaan dan rasa sayang saya pada tamu-tamu saya.

Apa lagi? Jarak antara akad dengan resepsi dan mengganti baju setelah akad nikah untuk resepsinya. Saya tidak merasa perlu punya dua baju yang berbeda. Saya ingin praktis, satu baju saja, satu dandanan saja. Jadi saya ingin agar setelah akad nikah berlangsung, habis itu langsung resepsi saja. Tidak perlu balik ke ruang make-up dan kemudian masuk lagi dengan kirab yang formal. Resepsi yang saya maksud juga santai, menyapa tamu-tamu, menerima ucapan selamat dan foto bersama yang sifatnya spontan. Kami juga paling benci acara foto bersama yang terkesan sebuah kewajiban dengan MC memanggil-manggil macam di terminal bus saja.

Kemudian pemilihan waktu pun juga senyaman mungkin untuk tamu. Minggu siang kami anggap paling cocok, karena lalu lintas tidak sepadat Sabtu dan malam harinya orang masih bisa istirahat untuk berangkat kerja di hari Senin.

Jadi pendeknya, konsep acara santai, cut-the-crap, dan banyak hiburan dan sosialisasi. KISS = Keep It Simple Stupid. Urutannya: akad nikah kemudian langsung bablas resepsi santai, dan foto-foto spontan.

Untuk detail eksekusi dari konsep ini, ikutilah terus blog ini.

No comments:

Post a Comment